Pemilu Demokrasi, Ajang Politik Akomodatif para Elite dan Oligarki

Pemilu Demokrasi

Praktik politik demokrasi berbiaya mahal menjadi celah masuk dan tumbuh suburnya para oligarki.

Oleh. Rany S. N., S.Pd.
(Kontributor NarasiPost.Com) 

NarasiPost.Com-Dalam sistem demokrasi, uang dan kekuasaan sulit dipisahkan, seperti dua sisi mata uang yang berkaitan dan saling menguatkan. Dibutuhkan kekuatan uang untuk menuju kekuasaan. Demikian sebaliknya, apabila kekuasaan sudah dalam genggaman, uang yang akan dikejar. Oleh karenanya, unsur pendanaan merupakan hal mutlak bagi kinerja parpol, baik untuk biaya operasional maupun modal pesta lima tahunan. Maklum, ongkos berlaga dalam kontes politik demokrasi sangat mahal, terutama biaya kampanye dan konsolidasi partai.

Praktik politik demokrasi berbiaya mahal ini menjadi celah masuk dan tumbuh suburnya para oligarki. Isu adanya aliran dana kampanye yang masuk ke rekening pengurus parpol mengiringi tiap menjelang pemilu. Pada pemilu 2024 ini ditemukan lonjakan transaksi janggal terkait transaksi aliran dana sebesar Rp195 miliar dibandingkan pemilu 2022 yang hanya Rp83 miliar. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri yang masuk ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Adapun jumlah transaksi dari 21 partai politik pada tahun 2022 ditemukan 8.270 transaksi dan meningkat pada tahun 2023 ada 9.164 transaksi. (cnbcindonesia.com, 12/01/2024)

Politik Akomodatif Harus Diwaspadai

Aliran dana ini memperlihatkan wajah buruk pemilu demokrasi yang sarat dengan berbagai kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Akan tetapi, tidak ada ruang untuk kepentingan rakyat di dalamnya. Dipastikan tiap pelaksanaan pemilu yang mendominasi adalah wealth power dibandingkan participation power. Rakyat hanya sebagai bahan akumulasi perhitungan kemenangan pada perhitungan suara saja. 

Masifnya politik akomodatif parpol atau politisi dengan para pemodal harus diwaspadai, karena akan ada bahaya di balik itu, seperti adanya bancakan proyek-proyek yang membutuhkan legitimasi kekuasaan. Juga persengkongkolan politik dengan bisnis yang memiliki kepentingan untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik. Hal ini akan mengakibatkan tergadaikannya kedaulatan negara. Alih-alih pelaksanaan pemilu untuk mendapatkan pemimpin yang dapat memenuhi harapan rakyat, yang terjadi adalah adanya kesepakatan di bawah meja dengan para elite dan oligarki.

Masyarakat seharusnya sadar kalau pemilu bukanlah ditujukan untuk melahirkan pemimpin yang akan menyejahterakan dan memberikan keadilan pada rakyat. Namun, pemilu adalah tentang bagaimana penguasa nantinya hanya melayani kepentingan para elite dan oligarki. Karena 'tidak ada makan siang gratis' dalam politik demokrasi. Alhasil, keberadaan parpol dalam sistem politik demokrasi sejatinya hanya kuda tunggangan para elite dan oligarki untuk memenuhi kepentingannya, nyaris tidak berfaedah bagi rakyat. Bahkan sebagai alat legitimasi bagi segala bentuk kezaliman yang terjadi. Tersebab absennya agama dalam sistem demokrasi ini sehingga perkara halal haram dan nilai-nilai moral tidak menjadi standar aturan.

Paradigma Politik Islam

Paradigma parpol dalam Islam bukan sebagai kuda tunggangan bagi para pemburu kekuasaan, tetapi erat dengan fungsi kepemimpinan. Keberadaannya tidak terpisah dari masyarakat Islam. Ia akan menjadi salah satu pilar penjaga yang turut memastikan penerapan syariat Islam berjalan sebaik mungkin, mencegah setiap penyimpangan, dan mengoreksi penguasa dengan aktivitas utamanya melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar.

Parpol Islam dan anggotanya hadir sebagai refleksi keimanan karena berdiri di atas fondasi iman dan Islam, serta menjadikan ideologi Islam sebagai kepemimpinan berpikirnya. Alhasil, parpol Islam akan jauh dari ambisi mengeruk kekayaan dan meraup cuan, karena fungsi parpol Islam tidak ada kaitannya dengan penetapan kebijakan yang rawan disalahgunakan. Juga parpol Islam jauh dari ambisi politik kekuasaan karena memilih kepemimpinan ada mekanismenya tersendiri.

Mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan secara sederhana, tanpa prosedur yang rumit dan panjang. Selain itu, wajib untuk memilih khalifah dan membaiatnya dalam jangka waktu tiga hari sesuai ijmak sahabat. Pemilihan dan pengangkatan seorang khalifah melalui tiga tahapan, yakni pembatasan calon kandidat oleh ahlul halli wal ‘aqdi atau majelis syura, proses pemilihan, dan pembaiatan. Ahlul halli wal ‘aqdi atau majelis syura menyeleksi calon yang telah ada sesuai dengan syarat-syarat seorang khalifah yang telah ditetapkan di dalam Islam (syarat in’iqad). Setelah calon diseleksi, selanjutnya diadakan proses pemilihan. Calon yang terpilih diangkat atau dilantik menjadi kepala negara (khalifah) dengan metode baiat. Khalifah terpilih dibaiat oleh seluruh rakyat untuk menjalankan urusan pemerintahan dengan kitabullah dan sunah Rasulullah. (Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam)

Berdasarkan dalil-dalil syarak, tahapan seleksi calon khalifah harus memenuhi 7 syarat in’iqad (syarat legal), yaitu: (1)  laki-laki; (2) muslim; (3) merdeka; (4) balig; (5) berakal; (6) adil, artinya bukan orang fasik; dan (7) mampu mengemban jabatan. Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak ada, maka kepemimpinannya dinyatakan tidak sah. Di luar itu dimungkinkan menjadi syarat afdhaliyyah (syarat keutamaan) jika memang didukung nas-nas sahih atau merupakan derivasi hukum yang ditetapkan berdasarkan nas sahih. (Taqiyyuddin An Nabhani, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah)

Demikianlah mekanisme pemilihan kepala negara (khalifah) dalam Islam yang penyelenggaraannya sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya. Di tengah euforia politik saat ini, umat membutuhkan sistem politik Islam yang sahih sebagai komparasi. Sungguh mustahil akan terwujud individu anggota parpol dan seorang pemimpin yang amanah dan dipercaya umat jika masih berada di dalam sistem demokrasi. Oleh karenanya, menghempaskan demokrasi lalu mengambil Islam akan mengantarkan pada terwujudnya kemaslahatan umat dan juga hubungan yang harmonis antara penguasa dan rakyatnya. Wallahua'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Rany.S.N.Pd Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Apa yang Allah Mau?
Next
Stop Posting Nilai Rapor di Medsos
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

7 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wd Mila
Wd Mila
8 months ago

Pemilu dalam demokrasi sarat akan kepentingan para kapitalis, sebab biaya yang dikeluarkan dari masing2 capres dan cawapres sangat mahal...

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
8 months ago

Sepertinya memang belum ada bukti demokrasi membawa kesejahteraan, keadilan, dan ketenteraman bagi rakyatnya.

Barokallahu fiik, Mbak

Deena
Deena
8 months ago

Pemilu demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan oligarki. Sudah berulang kali pemilu dilaksanakan, tetapi nasib rakyat masih begini-begini saja. Bahkan, makin sulit. Rakyat harus sadar bahwa sistem ini tak layak dipertahankan.

Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan adalah jalan terbesar untuk meraup keuntungan. Padahal dalam pandangan Islam, jabatan adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan penuh keimanan

Atien
Atien
8 months ago

Demokrasi, sistem buatan manusia berwajah manis di muka. Di baliknya tersimpan wajah serigala yang siap memangsa rakyat yang memilihnya. Jadi masihkah kita mendukungnya?
Barakallah mba @Rany.

Yuli Juharini
Yuli Juharini
8 months ago

Pemilu dalam demokrasi memang membutuhkan modal yg banyak, dan di balik para calon ada yang memberi modal itu, dengan harapan ketika calon yg dimodali berhasil menang, dia akan menuntut agar sang calon terpilih itu memuluskan kebijakan yg menguntungkan bagi dirinya. Tidak heran, jika ada pemimpin yg kebijakannya tidak pro pada rakyat kecil. Belum lagi jika sang calon itu pakai modal sendiri, ketika berhasil menang dalam pemilihan, maka hal pertama yg dilakukan adalah berpikir bagaimana agar modal yg sudah dikeluarkan bisa kembali ke kantongnya. Berbeda dgn Islam. Sangat jelas pemaparannya dlm tulisan ini. Islam is the best lah pokoknya.

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
8 months ago

Ya setuju kemaslahatan, kesejahteraan dan keamanan hanya akan terwujud dalam sistem politik dalam Islam

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram