Pemakzulan Jokowi mengindikasikan adanya dua hal, tuntutan atas penyalahgunaan kekuasaan atau upaya untuk menikung lawan politik.
Oleh. Netty al Kayyisa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Wacana pemakzulan Jokowi santer diberitakan. Pasalnya, aroma nepotisme menyeruak ketika presiden ikut cawe-cawe hingga memuluskan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang menjadi jalan tol bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres dari capres Prabowo Subiyanto. Disinyalir Gibran sebenarnya secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai cawapres.
Petisi 100, TPUA dan yang terakhir adalah koalisi masyarakat sipil mulai mewacanakan pemakzulan presiden melalui sarana DPR, MK dan MPR. Sejalan dengan tuntutan ini ketua DPR Puan Maharani, sebagaimana yang dilansir dalam cnnindonesia.com, 11 Januari 2024 menyatakan bahwa wacana pemakzulan adalah aspirasi rakyat yang harus diterima dan diwadahi. Hanya saja perlu menjaga kondusivitas menjelang Pemilu 2024. Menurut Puan, keinginan masyarakat ini sudah diatur dalam UUD 1945.
Pemakzulan Presiden
Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia, pemakzulan terhadap presiden diatur dalam UUD NRI 1945 yaitu pada pasal 7A. Yang menjadi alasan pemakzulan, ketika presiden dan atau wakil presiden melakukan tindak pidana berat, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi dan penyuapan. Juga ketika presiden dan atau wakil presiden melakukan tindak tercela, atau ketika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. Yang menentukan apakah presiden dan atau wakil presiden melakukan salah satu pelanggaran dalam pasal tersebut adalah MK.
Pertanyaan berikutnya, apakah wacana pemakzulan yang banyak digagas akhir-akhir ini termasuk dalam salah satu dari pelanggaran yang ada di pasal 7A UUD NRI 1945 tersebut? Mungkin bisa masuk pada tindakan tercela. Tetapi ini pun perlu dibuktikan dihadapan MK.
Pemakzulan, Jurus Sikut Politik?
Pemakzulan ini disinyalir menjadi upaya dari pihak tertentu untuk menjegal kekuasaan presiden yang sebenarnya tinggal beberapa bulan saja? Karena berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi pada Oktober 2024. Tetapi jika pemakzulan ini bisa terjadi, dan menganulir keputusan MK, maka tak hanya presiden hari ini yang lengser. Anaknya juga tergeser dari cawapres yang akan berkuasa. Politik dinasti tak akan bisa dilanjutkan karenanya.
Apakah ini hanya dagelan politik yang disuguhkan untuk menunjukkan bahwa sistem politik di negara kita masih baik-baik saja? Masih menyisakan para negarawan dan politikus yang peduli pada bangsanya? Karena bisa jadi proses pemakzulan membutuhkan waktu lama. Belum sempat dimakzulkan, sudah terlanjur habis masa tugasnya. Dan pemakzulan hanya sebatas wacana.
Terlepas dari semua alasan wacana pemakzulan, satu yang bisa kita tarik benang merahnya, sistem politik hari ini penuh trik dan intrik yang akan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan yang ada. Meraih kepemimpinan tertinggi demi ambisi duniawinya.
Pemakzulan dalam Khilafah
Hal ini tentu berbeda ketika dalam sistem politik tingkat tinggi Khilafah Islamiah. Pemakzulan terhadap khalifah mungkin terjadi jika memang terjadi kondisi yang mengharuskan untuk diberhentikan.
Kondisi yang mengharuskan khalifah diberhentikan saat itu juga dan tidak ada ketaatan kepadanya yakni:
- Ketika dia murtad dari Islam
- Ketika dia gila total dan tidak bisa sadar
- Ketika dia ditawan oleh musuh yang kuat, tidak mampu membebaskan diri dan tidak ada kesempatan untuk bebas darinya.
Dalam ketiga kondisi ini, khalifah secara langsung kehilangan jabatannya meski tidak ada penetapannya. Tidak ada ketaatan kepadanya, juga tidak wajib melaksanakan perintah bagi orang yang mendapati salah satu dari tiga sifat ini ada dalam diri khalifah. Hanya tetap harus dibuktikan di hadapan Mahkamah Mazhalim.
Juga ada kondisi-kondisi khalifah yang tidak menjadikannya lengser secara langsung dari posisinya sebagai Khalifah, tetapi dia juga tidak boleh melanjutkan untuk menjadi khalifah, yaitu :
- Dia menjadi fasik yang nyata
- Dia berubah menjadi perempuan atau waria
- Dia menjadi gila tetapi tidak total, kadang sembuh kadang kambuh.
- Dia tidak bisa mengemban tugas-tugas kekhilafahan, misalnya karena sakit berat, kehilangan anggota tubuh, dan kondisi lain yang menghalanginya untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai Khalifah
- Adanya tekanan yang menjadikannya tidak mampu bertindak dan memutuskan sesuatu perkara atas inisitifnya sendiri. Tekanan itu bisa dari pembantunya atau orang-orang di sekitarnya. Para konglomerat yang ingin mendapat kemudahan misalnya. Atau bisa juga mendapat tekanan dari pihak lain yang pada hakikatnya tidak ada di sekitarnya tetapi memengaruhinya dalam mengambil keputusan dan menentukan kemaslahatan rakyatnya. Misalnya dia dikuasai oleh asing ataupun aseng yang ada di luar negaranya tetapi memiliki pengaruh menyetir kebijakannya.
Saat itu salah seorang sahabat rasul meminta amanah kepemimpinan, tetapi Rasulullah saw. menolaknya sambil memberikan nasihat:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Abu Dzar, kamu ini lemah, sementara jabatan ini adalah amanah. Pada hari pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim)
Dalam kelima kondisi ini, khalifah wajib diturunkan. Meski harus ada pembuktian di hadapan Mahkamah Mazhalim yang akan memutuskan. Apakah benar terjadi salah satu kondisi ini atau tidak. Saat proses pembuktian, maka khalifah tetap mendapatkan hak ketaatan. Tidak serta-merta mengeluarkannya dari jabatan. Saat keputusan mahkamah keluar, saat itulah menjadi keputusan apakah dia terbukti berada dalam salah satu kondisi tersebut atau tidak. Jika terbukti, maka diberhentikan dan kaum muslimin akan memilih khalifah penggantinya dalam kurun tiga hari lamanya.
Khatimah
Inilah ketentuan dalam sistem politik Islam. Pemakzulan khalifah ditentukan dengan kondisi yang jelas. Bukan kondisi-kondisi yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan pelapor. Tidak ada upaya jegal menjegal atau sikut menyikut yang bisa dilakukan untuk memakzulkan khalifah yang berkuasa. Masyarakat menjadi lembaga yang memonitoring khalifah secara langsung. Dan berhak memberikan koreksinya jika ditemukan kesalahan dalam diri khalifah.
Inilah sistem politik Islam, yang akan kembali tegak tidak lama lagi. Khilafah Islamiah 'ala minhajin nubuwwah yang akan terwujud nyata.
Wallahu ’alam bishowab. []
Sepatu ....
Ah, politik tipu-tipu saat ini memang meragukan. Isu pemakzulan juga sedari kapan mencuat ke permukaan, hingga menjelang akhir jabatan muncul kembali.
Barokallahu fiik, Ustadzah
Sepakat. Sistem politik hari ini penuh trik dan intrik yang akan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan yang ada.
Akankah benar terjadi pemakzulan presiden, sementara waktunya tinggal beberapa bulan saja sebelum lengser dari jabatan???
Belum pasti. Bisa jadi cuman drama politik menjelang pemilu.
Namun, yang pasti adalah sistem ini tak layak dipertahankan.