Bukannya memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat, proyek food estate ini justru mendatangkan bencana.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan Penulis Riak Literasi)
NarasiPost.Com-Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Inilah gambaran Indonesia menurut Koes Plus dalam lagunya Kolam Susu. Saking suburnya negeri ini, tongkat kayu dan batu pun bisa jadi tanaman. Sayangnya, hal ini tidak berhasil diwujudkan melalui food estate.
Proyek food estate merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Apa proyek food estate itu? Mengapa proyek ini dinilai gagal? Bagaimana pula gambaran food estate dalam Islam?
Food Estate dari Masa ke Masa
Food estate merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menghadapi ancaman krisis pangan global. Sayangnya, proyek ini belum bisa dikatakan berhasil. Bahkan, disebut telah mengalami kegagalan.
Proyek ini telah tiga kali dilaksanakan. Yang pertama dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Proyek yang bernama Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare ini dimulai pada tahun 1995 dan dinyatakan gagal oleh Presiden B.J. Habibie pada tahun 1998.
Proyek food estate yang kedua dilakukan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada tahun 2010, SBY membuat proyek Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE). Untuk proyek ini, 1,2 juta hektare lahan dibuka untuk dijadikan sawah. Proyek ini pun mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya.
Yang ketiga adalah proyek food estate yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. Proyek yang dimulai pada tahun 2020 ini menggunakan 30 ribu hektare lahan di Kalimantan. Sebanyak 20 ribu hektare menggunakan lahan bekas PLG Sejuta Hektare di Gunung Mas. Sisanya, yakni 10 ribu hektare berada di Kabupaten Pulang Pisau.
Proyek food estate ini menjadikan 600 hektare lahan untuk perkebunan singkong. Setelah dua tahun berjalan, kebun singkong ini pun mangkrak. Proyek yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pertahanan ini pun gagal total.
Setelah gagal dengan singkong, lahan tersebut ditanami jagung. Jagung dipilih karena dianggap lebih mudah beradaptasi dengan lahan yang minim unsur haranya. Jagung-jagung ini sebagian ditanam langsung di lahan. Sebagian lagi di polybag. Namun, proyek yang menghabiskan dana Rp54 miliar ini tampaknya juga tidak berhasil. (bbc.com, 30/12/2023)
Penyebab Kegagalan Proyek Food Estate
Proyek food estate yang digadang-gadang dapat mengatasi krisis pangan ternyata masih jauh dari harapan. Faktor utama penyebab kegagalan ini adalah tidak adanya kajian yang mendalam tentang wilayah terhadap lahan yang hendak dipakai. Seperti PLG Sejuta Hektare di Kalimantan Tengah yang dilakukan pada masa Presiden Soeharto. Tujuan proyek tersebut adalah untuk mengubah lahan gambut menjadi sawah untuk menanam padi. Proyek ini mengalami kegagalan karena tidak adanya kajian yang mendalam tentang lahan gambut.
Jenis lahan ini sebenarnya tidak cocok untuk pertanian karena minim unsur hara. Lahan gambut terbentuk dari penumpukan material organik, seperti rumput, lumut, sisa-sisa pohon, serta jasad binatang yang setengah membusuk. Pembentukan lahan gambut ini membutuhkan waktu puluhan ribu tahun.
Selain itu, paradigma yang digunakan oleh pemerintah adalah paradigma kapitalis. Yaitu, menjadikan pangan sebagai komoditas bisnis para pemilik modal. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan produksi pangan hanya untuk kepentingan bisnis korporasi.
Hal ini terbukti dengan diberikannya proyek ini kepada para pengusaha. Para petani berstatus sebagai pegawai perusahaan. Mereka harus menanam tanaman seperti yang diminta oleh perusahaan, kemudian menyetor hasil panen ke perusahaan tersebut. Dengan demikian, yang mendapatkan keuntungan dari proyek ini adalah para pengusaha.
Padahal, pangan merupakan hajat hidup rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Mestinya, proyek food estate ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Paradigma yang digunakan oleh pemerintah ini muncul dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam sistem ini, yang menjadi fokus pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi negara, bukan kesejahteraan tiap orang. Oleh karena itu, pemerintah hanya berusaha menaikkan pendapatan nasional secara umum, tanpa memperhatikan pendapatan tiap individu masyarakat.
Padahal, pendapatan nasional tidak otomatis menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Hal itu karena pendapatan nasional merupakan rata-rata dari pendapatan seluruh penduduk, baik kaya maupun miskin. Padahal, di satu sisi ada segelintir penduduk yang menguasai sebagian besar kekayaan tersebut. Sedangkan mayoritas penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dampak Negatif Food Estate
Bukannya memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat, proyek food estate ini justru mendatangkan bencana. Proyek food estate menggunakan lahan gambut. Lahan ini mempunyai fungsi dalam pengaturan iklim. Hal itu karena lahan gambut menyimpan karbon. Jika lahan ini dibuka, lahan ini akan mengeluarkan karbon yang sangat besar. Demikian pula jika lahan gambut ini dibakar.
Pembukaan lahan gambut ini terbukti merusak lingkungan dan ekosistem. Seperti yang dialami oleh masyarakat di Gunung Mas. Wilayah yang dijadikan perkebunan singkong awalnya merupakan hutan. Masyarakat sekitar biasa berburu binatang serta mencari ramuan tradisional di sana. Selain itu, mereka juga menanam sayuran dan pohon karet di sana. Setelah hutan dibuka, mereka pun kehilangan mata pencaharian mereka. Pembukaan area hutan ini juga memperluas daerah yang terkena banjir.
Food Estate dalam Islam
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap manusia. Ia merupakan kebutuhan fisik yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, dapat mengantarkan seseorang pada kematiannya. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan terhadap pangan ini menjadi tanggung jawab negara. Salah satunya dengan memastikan ketersediaan pangan.
Di sinilah pentingnya mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi di mana kebutuhan gizi setiap orang terpenuhi, baik dari sisi jumlah, kualitas, serta kemudahan dalam mendapatkannya. Negara yang memiliki ketahanan pangan akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas karena gizi mereka terpenuhi.
Dalam memenuhi kebutuhan terhadap pangan, Islam memiliki solusi yang tepat. Hal itu karena syariat Islam berasal dari Allah Swt. yang telah menciptakan manusia. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh penguasa dalam kebijakan pangan ini.
Pertama, memanfaatkan setiap jengkal tanah. Jika tanah tidak diurus atau diolah lebih dari tiga tahun, tanah tersebut berubah statusnya menjadi tanah mati. Dalam kondisi seperti ini, tanah tersebut dapat diolah oleh orang lain seperti hadis riwayat Imam Bukhari,
مَنْ اَحْيَا أرْضًا مَيْتًا فَهِيَ لَهُ
Artinya: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”
Kedua, membagikan tanah milik negara kepada mereka yang tidak mempunyai lahan untuk diolah. Rasulullah saw. pernah membagikan tanah kepada Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Zubair bin Awwam, dan sebagainya.
Beliau juga memberikan lembah kepada Bilal Al-Mazani. Namun, saat Khalifah Umar bin Khaththab berkuasa, ia meminta kepada Bilal untuk mengembalikan tanah yang tidak mampu dikelolanya. Dengan demikian, tanah itu dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Ketiga, mengolah tanah berawa, lahan gambut, dan sebagainya agar siap ditanami. Keempat, memberikan bantuan modal kepada petani yang tidak mampu. Bantuan ini dapat berupa pupuk, keterampilan, bibit, maupun bantuan lainnya. Bantuan ini dapat menggunakan dana yang diambilkan dari baitulmal.
Demikianlah konsep food estate dalam sistem Islam. Dengan konsep seperti ini, kebutuhan pangan akan terpenuhi karena tidak ada lahan yang ditelantarkan. Semua dimanfaatkan dengan maksimal. Di samping itu, lingkungan akan tetap terjaga kelestariannya.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.[]
Mewujudkan ketahanan pangan merupakan tugas dan tanggung jawab negara, tanpa ini semua maka rakyat akan kesusahan memenuhi kebutuhan pangannya,, Lalu akan berpengaruh terhadap kualitas SDM negeri ini
Betul, Mbak
Merindukan naungan Islam dalam bingkai Khilafah yg akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat secara hakiki...
Semoga segera tegak. Aamiin
Jadi teringat sebuah peribahasa nasi sudah jadi bubur. Namun kalau bubur, masih bisa di buat bubur spesial dengan tambahan. Nah, ini sudah hilang hutan, hilang dana, hasil pun tak ada. Sungguh Menyedihkan.
Kalau dalam bahasa Jawa ada ungkapan 'mburu ucèng kélangan dèlèg'. Maknanya, memburu sesuatu yang sangat kecil nilainya tetapi malah kehilangan sesuatu yang nilainya jauh lebih besar.
Miris sekali. Program yang sudah memakan biaya banyak dan mengorbankan lahan gambut gagal total karena tidak dipertimbangkan dengan matang dengan konsep yang jelas dan benar
Betul, Mbak. Kesannya asal jalan saja, kayak coba-coba, begitu. Kalau berhasil ya alhamdulilah, kalau tidak ya gpp
Ini proyek memang gagal total. Dengan dalih mewujudkan lumbung pangan nasional dan menghabiskan banyak anggaran plus merusak ribuan hektare hutan, sayangnya hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oh, ada apa dengan negeriku ...
Menyedihkan sekali memang
tulisan yang mencerahkan. Ternyata food estate sudah ada sejak zaman Pak Harto dan terus berganti nama sampai era Jokowi.
Barakallah, Mba
Aamiin yaa rabbal 'aalamiin
Barakallah mba Mariyah, emang nih negeri kapitalisme hanya ilusi wujudkan ketahanan pangan. Beda banget dengan Islam. Kalau dalam Islam pasti sejahtera ini rakyat Indo. Soalnya tanahnya subur
Betul, Mbak. Potensi alam Indonesia sebenarnya luar biasa. Semestinya bisa menjadi modal untuk menyejahterakan rakyat. Sayangnya, salah dalam pengelolaan.
Rindu ketahanan pangan yang ada dalam naungan Islam. Tentu petani tak akan kejer-kejer seperti sekarang.
Barokallah Mbak
Semoga segera terwujud, Mbak