Sungguh keterlaluan jika persoalan pangan sebagai kebutuhan dasar rakyat lagi dan lagi tidak diselesaikan dengan benar. Alih-alih menolong rakyat, impor beras di negara agraris makin gencar dilakukan.
Oleh. Ledy Ummu Zaid
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tinggal di daerah tropis membuat kita terbiasa dengan makan makanan berat yang mengandung karbohidrat tinggi, misalnya nasi. Bahkan ada pernyataan yang sering kita dengar bahwasanya belum makan rasanya kalau kita belum makan nasi. Jadi keberadaan beras di negeri ini amatlah penting dan wajib, tidak boleh tidak. Kita bersyukur negeri ini kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Terkenal sebagai negara agraris, Indonesia memang memiliki lahan pertanian yang tersebar luas di seluruh negeri. Tak heran, mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Namun sayangnya, mereka tidak sejahtera, bahkan kesannya seperti dikhianati di tanah air sendiri.
Berita mengenai impor beras tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Salah satu program pemerintah ini selalu mengundang polemik di masyarakat, khususnya di kalangan petani sendiri. Dilansir dari laman ekonomi.bisnis.com (09/01/24), Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih tengah merencanakan aksi unjuk rasa menolak rencana pemerintah mengimpor tiga juta ton beras pada tahun ini. Aksi unjuk rasa sebagai bentuk penolakan dari kalangan serikat petani ini direncanakan bakal digelar dalam waktu dekat. Adapun aksi unjuk rasa dijadwalkan bersama Partai Buruh dalam sepuluh hari mendatang dan tersebar di berbagai wilayah.
Dilansir dari laman finance.detik.com (08/01/24), impor beras yang direncanakan pada tahun 2024 ini masih akan terus dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Badan Pangan Nasional (BPN) menyebut impor tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang mana diketahui hasil panen dari petani masih rendah di semester pertama atau awal tahun ini. Kepala BPN, Arief Prasetyo Adi mengatakan dalam keterangannya pada Senin (08/01), "Kita tidak bisa menunggu stok habis sehingga perlu antisipasi agar stabilitas pangan tetap terjaga. Jadi kita perlu siapkan beberapa bulan ke depan. Apalagi dampak El Nino terhadap penurunan produksi itu baru terasa dua atau tiga bulan berikutnya. Nah, pada saat yang sama kita juga terus menggulirkan bantuan pangan beras sebagai bantalan sosial bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk mengendalikan inflasi.” Akhirnya dengan dalih memenuhi stok pangan, menjadikan impor beras halal dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari asing.
Ironis, negeri dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani malah menjadikan impor beras hal yang biasa. Dilansir dari laman nasional.tempo.com (13/01/2024), Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo melakukan perjalanan dinas ke Hanoi, Vietnam pada Jumat (12/01). Dalam kunjungan kerja tersebut, beliau meminta Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh untuk melancarkan impor beras dari negaranya ke Indonesia. Kemudian, kedua pemimpin tersebut juga menetapkan target baru perdagangan Indonesia-Vietnam di atas USD 15 miliar atau Rp233 triliun untuk 2028 dengan perluasan akses pasar dan pengurangan hambatan perdagangan.
Sungguh keterlaluan jika persoalan pangan sebagai kebutuhan dasar rakyat lagi dan lagi tidak diselesaikan dengan benar. Alih-alih menolong rakyat, impor beras di negara agraris makin gencar dilakukan. Pasalnya, para petani terancam kehilangan mata pencahariannya jika pemerintah tidak berada di pihak mereka dalam mendukung hasil panen atau produksi beras dalam negeri. Inilah gambaran sistem ekonomi kapitalisme. Negara yang hanya mencari keuntungan belaka bisa bebas membuat kebijakan yang ternyata justru menyengsarakan rakyat. Sebaliknya, pihak asing juga diuntungkan atas kerja sama dua belah pihak tersebut. Adapun impor beras akhirnya dipilih sebagai solusi pragmatis guna menstabilkan stok beras dalam negeri yang belum memenuhi target.
Berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara atau Daulah Islam, Khilafah Islamiah. Negara akan bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan pertanian, yaitu dengan cara memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, penghidupan tanah mati, dan pelarangan terbengkalainya tanah.Kemudian, sebagai proteksi ketersediaan pangan, negara juga akan melakukan pelarangan praktik penimbunan barang yang menyebabkan kelangkaan dan mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok. Di sisi lain, negara juga sangat memperhatikan pengelolaan dan distribusinya supaya tidak ada tangan-tangan asing yang berani meraup keuntungannya sendiri.
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya dia akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan dalil syariat tersebut, seorang khalifah atau penguasa wajib menjamin kesejahteraan hidup setiap individu rakyatnya. Adapun jika suatu kondisi buruk terjadi, misalnya terdapat kesulitan dalam pendistribusian pangan, negara akan mencarikan solusi terbaik, yaitu memberikan harta negara yang menjadi miliknya kepada rakyatnya. Dengan diberikan secara mudah dan cepat, rakyat akan segera keluar dari bayang-bayang masalah pangan dan memperoleh kesejahteraannya. Tidak seperti hari ini, dalam sistem kapitalisme, impor beras menjadi andalan negara dan kedaulatan negara dalam pengelolaan pangan pun tidak tercapai. Impor beras di negeri mayoritas petani terjadi lagi, negara belum serius mencari solusi. Wallahua’lam bishawab. []
Padahal negeri ini terkenal akan negara agraris ya. Sawah terbentang luas, tp kelola yg salah mengakibatkan rusaknya mekanisme distribusi
Berbagai alasan diberikan agar bisa tetap impor. Sangat disayangkan
Miris negeriku..mayoritas penduduknya petani padi tp impor beras masih terus terjadi
dalam kapitalisme, Kebijakan ekspor dan impor (distribusi pangan) dilakukan semata-mata untuk meraih keuntungan para kapitalis, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Ini topik yang nggak kunjung selesai. Dari tahun kemarin, beras mahal, sampai hari ini nggak kunjung harganya ramah di kantong. Padahal kita negara agraris.