Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang mampu membawa pada kesejahteraan rakyat, nyatanya di lapangan justru menimbulkan kesenjangan.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai menunjukkan kinerja yang baik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati bahwa Indonesia masuk ke dalam daftar negara G20 dan ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Diprediksi ada 4 negara yang masuk daftar negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Indonesia menempati posisi keempat dengan prediksi 5,2%.
Posisi pertama dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia nantinya akan diraih oleh India dengan prediksi mencapai 6,3%. Kemudian disusul oleh Filipina dengan prediksi 5,9%. Lalu, di bawahnya ada Vietnam dengan prediksi 5,8%.
Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ini didukung oleh data Purchasing Management Indeks (PMI) manufaktur. Ia memaparkan bahwa Indonesia selama tahun 2023 mengalami PMI manufaktur yang positif dan berada di zona ekspansif dengan poin 52,2% (detik.com, 6/1/2024).
Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin baik, bahkan menjadikannya masuk 4 besar dalam daftar negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, apakah benar bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut akan berimbas pada kesejahteraan rakyat?
Mengenal Konsep Pertumbuhan Ekonomi Kapitalisme
Pertumbuhan ekonomi adalah kondisi ekonomi masyarakat dalam suatu negara yang mengalami perbaikan atau peningkatan dari periode sebelumnya. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan pada produksi barang dan jasa di dalam masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang membaik, maka hal ini akan memberikan pengaruh besar dalam pembangunan ekonomi yang nantinya akan berdampak pada kesejahteraan rakyat dalam suatu negara. Artinya, jika pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara meningkat, hal ini juga akan meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Dengan peningkatan pendapatan masyarakat, maka ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat mulai mengalami perbaikan taraf hidup dan masyarakat bisa dikatakan mendapatkan kesejahteraan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dalam negara kapitalisme yakni dengan menggunakan perhitungan pendapatan nasional suatu negara atau lebih dikenal dengan Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) dan juga Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).
Dikutip dari beberapa sumber, Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) adalah suatu indikator yang digunakan untuk mengukur nilai total barang dan jasa yang dihasilkan oleh pendapatan seluruh warga dalam suatu negara, baik pendapatan dari warga dalam negeri maupun luar negeri, dan kemudian dikurangi dengan pendapatan warga asing yang tinggal di negeri tersebut.
Cara menghitung pertumbuhan ekonomi suatu negara melalui pendekatan GNP yakni menghitung pendapatan GNP tahun sekarang, kemudian dikurangi tahun sebelumnya, lalu dibagi dengan tahun sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100%. Dengan demikian akan diketahui apakah suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif ataukah negatif? Semua tergantung dari hasil perhitungan GNP.
Sedangkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur nilai total seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dalam periode tertentu oleh suatu negara yang terbatas pada wilayah negaranya dan batas teritorial. PDB mencakup semua kegiatan ekonomi, mulai dari produksi barang dan jasa oleh perusahaan, pemerintah, rumah tangga, serta nilai ekspor dikurangi dengan nilai impor.
Cara menghitung pertumbuhan ekonomi melalui pendekatan GDP sama dengan perhitungan melalui pendekatan GNP di atas. Yang membedakan hanyalah dari jenis pemasukan atau pendapatan yang diperoleh suatu negara.
Dengan ini disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia ditentukan bukan dari terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat, melainkan menggunakan data presentasi dan rata-rata dari peningkatan pendapatan masyarakat secara keseluruhan, dan dilihat juga dari peningkatan produksi barang dan jasa di masyarakat. Dalam hal ini terjadi kontradiksi dengan pengertian kesejahteraan rakyat itu sendiri. Di mana kesejahteraan masyarakat adalah kondisi di mana setiap individu masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya, yakni sandang, pangan, dan papan, serta mereka dapat menjangkau pendidikan dan biaya kesehatan yang berkualitas.
Kesalahan Konsep Kapitalisme dalam Mengukur Kesejahteraan Rakyat
Inilah kesalahan dari konsep pertumbuhan ekonomi kapitalis dalam mengukur kesejahteraan rakyat. GNP dan GDP yang dijadikan sebagai tolak ukur kesejahteraan rakyat nyatanya tidak cukup reflektif untuk mengukur kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Ia hanya mampu merefleksikan rata-rata pengeluaran dan pendapatan seseorang, namun mengabaikan banyak faktor, seperti faktor lingkungan, tingginya kesenjangan, dan lainnya. Padahal, faktor tersebut juga merupakan faktor pendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Easterlin dalam risetnya yang dilakukan pada tahun 1974 telah membuktikan bahwa kenaikan Gross Domestic Product(GDP) tidak berkorelasi kuat dengan kesejahteraan rakyat. Situasi ini terjadi karena beberapa kemungkinan penyebab, di antaranya kenaikan GDP per kapita berkorelasi negatif terhadap lingkungan hidup rakyat, biaya kesehatan, perbaikan tingkat pendidikan, pemerataan hidup, dan lainnya (Rafael DI Tella and Robert MacCulloch, 2006).
Di sisi lain, besaran GNP dan GDP sering kali tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang mampu membawa pada kesejahteraan rakyat, nyatanya di lapangan justru menimbulkan kesenjangan. Bisa kita melihat di lapangan bahwa kemiskinan masih menjadi PR bagi penguasa negeri ini, angka pengangguran masih tinggi, dan masalah ekonomi lainnya masih menyelimuti rakyat negeri ini.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak berkorelasi pada kesejahteraan rakyat, dikarenakan yang menjadi penikmat peningkatan produksi barang dan jasa, serta investasi hanyalah para pemodal yakni mereka yang memiliki kekayaan atau si kaya, sedangkan yang lainnya yakni si miskin masih tetap dalam kondisinya yakni sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Inilah negeri kapitalisme yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dalam negerinya, kemudian bagaimana meningkatkan produksi barang dan jasa, meningkatkan GNP dan GDP, tanpa mereka memperhatikan kondisi rakyat di lapangan. Kesejahteraan rakyat hanya sebatas angka yang tertoreh di atas kertas.
Islam Memberikan Kesejahteraan Hakiki
Dalam kacamata Islam, parameter yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan rakyat lebih rigid (detail) yakni berdasarkan terpenuhinya kebutuhan dasar per individu masyarakatnya secara berkelanjutan, serta bagaimana perbaikan taraf kehidupannya dalam segala aspek, mulai dari terjangkau biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan terpenuhinya aspek ekonomi lainnya.
Pakar ekonomi Islam, Nida Sa'adah pun mengungkapkan bahwa tolak ukur kesejahteraan dalam Islam yakni terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat per individu. Artinya, jika warga negara ada 1000 jiwa mulai dari berbagai usia, mereka semua wajib terpenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, jika dari 1000 jiwa kemudian ada satu orang saja yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, berarti ada kesalahan dalam ekonomi negaranya, sehingga negara Islam benar-benar memastikan bahwa seluruh masyarakat mendapatkan kesejahteraan, bukan hanya sekadar persentase ataupun data di atas kertas.
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh negara Islam untuk mewujudkan kesejahteraan hakiki pada rakyatnya.
Pertama, seorang khalifah/pemimpin memastikan setiap individu rakyatnya terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai sandang, pangan, dan papan dengan cara mewajibkan setiap kepala keluarga atau pencari nafkah untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam hal ini negara bukan hanya mewajibkan para pencari nafkah untuk bekerja, namun negara memiliki kewajiban menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, termasuk bagi rakyat yang disabilitas.
Kedua, melakukan pengawasan dalam pasar. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik-praktik nakal, seperti monopoli harga, penimbunan, kecurangan, dan praktik nakal lainnya, sehingga harga pasar benar-benar ditentukan terhadap adanya penawaran dan permintaan, bukan permainan para kartel.
Pendistribusian bahan pokok pun diperhatikan oleh negara yang memastikan bahwa seluruh rakyat mampu menjangkau harga bahan pokok. Jika terjadi kelangkaan dalam suatu wilayah, negara pun sigap untuk melakukan pendistribusian dari wilayah lainnya, sehingga masalah kelangkaan segera diatasi.
Ketiga, penerapan sistem ekonomi Islam akan mengatur tentang kepemilikan secara jelas, mana kepemilikan umum, kepemimpinan pribadi, dan kepemimpinan negara. Semua kepemilikan akan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syariat. Seperti kepemilikan pribadi, walaupun harta tersebut merupakan harta pribadi, namun pemilik sesungguhnya adalah Allah. Maka harta tersebut tidak boleh dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti berfoya-foya, apalagi hartanya dibelanjakan pada jalan yang haram. Dalam hal ini negara memberikan pemahaman kepada rakyatnya tentang pengelolaan harta pribadi. Seperti, dalam harta mereka ada hak orang lain, yakni wajib mengeluarkan zakat jika telah memenuhi nisabnya. Hal ini juga sebagai bentuk pendistribusian harta agar harta tidak beredar pada orang kaya saja. Sebagaimana firman Allah, "Demikian agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (TQS. Al-Hasyr : 7).
Kemudian, kepemilikan umum dan negara, semua pengeluaran dan pemasukan baitulmal disesuaikan dengan tuntunan syariat dari perolehan harta di atas. Misalkan, pengaturan tentang harta kepemilikan umum, yakni tambang nikel, emas, batu bara, dan tambang lainnya yang tidak ternilai jumlahnya wajib dikelola oleh negara. Haram diswastanisasi dan privatisasi. Hasil pengelolaan dimasukkan dalam baitulmal. Hasil tersebut hanya boleh digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti pembiayaan sistem kesehatan, pembangunan sarana publik, dan kepentingan rakyat lainnya. Dengan pembiayaan tersebut rakyat dapat menikmati pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis.
Keempat, memaksimalkan produksi pertanian sehingga negara memiliki ketahanan pangan yang kuat. Negara memberikan perhatian besar pada sektor pertanian dengan cara mewajibkan seluruh masyarakat yang memiliki tanah pertanian untuk dikelola. Jika dalam waktu 3 tahun berturut-turut tanah tersebut tidak dikelola, negara berhak mengambilnya dan diberikan kepada siapa saja yang ingin mengelolanya. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Khalifah Umar bin al-Khattab r.a., "Orang yang memagari tanah tidak berkah atas tanah tersebut setelah (menelantarkan) selama tiga tahun."
Di sisi lain, negara juga memberikan modal, bibit unggul, pupuk, dan keperluan pertanian lainnya kepada para petani, modal tersebut diberikan tanpa riba, bahkan diberikan gratis. Selain itu, negara pun membangun infrastruktur untuk menunjang keberhasilan produksi pertanian, mulai dari pembangunan bendungan, saluran irigasi, dan lainnya. Kemudian, negara pun melakukan berbagai riset untuk menemukan berbagai bibit unggul untuk menghasilkan produksi yang melimpah.
Khatimah
Dengan beberapa mekanisme di atas, maka negara Indonesia akan mampu mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, serta membawa rakyat pada kesejahteraan hakiki. Apalagi, diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, serta memiliki tanah yang subur, dan sumber daya manusia yang cerdas. Hanya saja, mekanisme tersebut wajib didukung dengan penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah.
Wallahu a'lam bishawab. []
Jika parameter yang digunakan berbeda maka hasilnya pun akan berbeda. Begitulah perbedaan sistem kapitalisme dan Islam dalam mengukur kesejahteraan.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, jarak antara si miskin dan si kaya sangat jauh. Mirisnya, tolak ukur kesejahteraan rakyatnya dihitung dari hasil rata-rata pendapatan yang miskin dan kaya. Berbeda dengan sistem Islam yang mengukur secara individual
Masya Allah. Hanya ekonomi Islam yang memiliki parameter yang representatif mewakili kondisi rakyat yang sesungguhnya. Sudah seharusnya umat Islam di Indonesia berjuang keras untuk menegakkan sistem Islam agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh masyarakat
Dengan adanya syariat Islam yang mengatur kepemilikan, rakyat menjadi tidak terlantar dan sengsara, dilindungi negara, rindunya sistem ini.
Mengukur keberhasilan negara dalam Islam tidak rumit seperti sistem kapitalis. Bahkan, justru menjadi upaya menutupi kegagalan negara. Akhirnya negara dalam sistem kapitalis makin terpuruk. Rakyat makin susah