"Dengan adanya kartu sebagai penanda dan pembeda antara yang kaya dan miskin, rakyat seolah hendak dipisah-pisahkan sesuai kemampuan keuangannya. Bukannya kemiskinan diberantas, ini malah negara yang melanggengkannya."
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah mengeluarkan wacana untuk membedakan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) sesuai kemampuan keuangan penumpangnya. Alasannya, supaya subsidi bisa dirasakan oleh orang yang tepat. Namun, tampaknya rencana ini tak akan mudah ke depannya.
Sebagaimana diberitakan, Kemenhub berencana mengubah tarif KRL pada tahun 2023 ini. Tarif KRL yang semula Rp3.000,00 sampai Rp5.000,00 akan mengalami penyesuaian mengikuti kriteria penumpangnya. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, menyampaikan bahwa pemerintah akan menerbitkan kartu baru untuk membedakan profil penumpang KRL, termasuk penerapan harga tiket. Mereka yang mampu akan membayar harga lebih mahal dari biasanya. Mereka yang berdasi, yang punya kemampuan finansial tinggi, maka bayarnya pun harus disesuaikan. (nasional.kompas.com, 29/12/2022)
Menyulitkan
Dari pernyataan Menhub tersebut, orang dengan kemampuan keuangan yang tinggi akan dikenakan tarif yang lebih mahal. Untuk itu, pemerintah juga berencana membuat kartu penumpang yang akan membedakan masing-masing golongan. Dengan kartu itu, akan bisa diketahui masyarakat mana yang termasuk kurang mampu dan berhak mendapat tarif murah, dan mana golongan mampu yang harus membayar lebih mahal. Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, menyatakan bahwa saat ini pihaknya tengah mengkaji pilihan-pilihan kartu perjalanan yang dapat dimanfaatkan masyarakat sesuai kemampuan membayar. (ekonomi.bisnis.com, 29/12/2022)
Menanggapi hal ini, Ketua Institut Studi Transportasi, Darmaningtyas, menyatakan bahwa kata dasi sebagai metafora saja untuk menggambarkan golongan mampu. Selanjutnya, akan ada problem bagaimana menentukan indikator dan seleksinya? Tidak jelas berapa batasan penghasilan sehingga bisa dikelompokkan menjadi golongan mampu? Siapa yang akan melakukan verifikasi dan bagaimana verifikasinya juga merupakan masalah tersendiri. Karena itulah, gagasan membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan akan sulit diimplementasikan. Berbeda jika tarif dibuat sama semua. Bagi yang tidak mampu bisa mengajukan permohonan subsidi. (republika.co.id, 29/12/2022)
Belum lagi, harus membuat kartu baru untuk para penumpang KRL jika memang rencana tersebut dijalankan. Pembuatan kartu tentu membutuhkan anggaran. Keluar biaya lagi. Dari mana duitnya? Ya, jelas dari uang rakyat. Lagi-lagi rakyat yang harus menanggung derita, akibat kebijakan yang tidak tepat.
Tidak Tepat dan Bermasalah
Menurut pemerintah, rencana pembedaan tarif KRL ini dilandasi untuk menyesuaikan dengan skema subsidi public service obligation (PSO). Tujuannya adalah agar subsidi bisa tepat sasaran. Menhub mengatakan bahwa subsidi PSO tarif KRL akan lebih diutamakan bagi masyarakat miskin. Artinya, bagi kategori kurang mampu, tarifnya akan tetap sama. Penyesuaian tarif berlaku bagi penumpang kaya dengan membayar lebih mahal dari biasanya. Mereka akan membayar sekitar Rp10.000,00 hingga Rp15.000,00. (ekonomi.bisnis.com, 29/122/2022)
Subsidi yang kurang tepat sasaran sering menjadi alasan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Padahal, pemerintah sendiri yang membuat kebijakan itu semua. Artinya, kebijakan yang dibuat selama ini tidak tepat. Akibatnya, rakyat yang selalu menjadi percobaan sekaligus objek penderita dari setiap kebijakan yang keliru.
Fakta di lapangan juga menunjukkan banyaknya kasus bantuan sosial yang salah sasaran. Bantuan sosial sering kali tidak diterima oleh yang benar-benar membutuhkan. Selain data yang tidak akurat, adanya permainan di balik layar oleh sejumlah oknum menjadikan warga miskin tercabut haknya menerima bantuan.
Penyelewengan dalam kebijakan memang rentan terjadi. Kita tentu belum lupa dengan kasus korupsi bansos yang dilakukan oleh seorang menteri. Sekelas pejabat publik saja bisa tega mengorupsi bantuan untuk rakyat. Ini menunjukkan bagaimana rusaknya sistem yang diterapkan.
Blunder
Jika benar pembedaan tarif antara si kaya dan si miskin dilaksanakan, maka bisa menjadi blunder. Sebagian penumpang KRL yang selama ini setia dengan moda transportasi ini, bisa beralih ke kendaraan pribadi mereka. Transportasi umum yang sejatinya untuk mengurangi kemacetan, akan ditinggalkan sebagian penumpangnya yang kembali memakai kendaraannya sendiri. Ini tak sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong angkutan umum, guna menekan kemacetan jalan. Macet parah akan terjadi lagi.
Para pengguna KRL semestinya diapresiasi, karena telah membantu mengurangi kemacetan dengan lebih memilih memakai transportasi umum, ketimbang kendaraan pribadi. Pencemaran udara pun turut berkurang karenanya. Pemerintah harusnya meningkatkan kualitas fasilitas publik ini, sehingga makin nyaman dan makin banyak yang memakai transportasi umum. Namun, pemerintah justru berwacana melakukan pembedaan tarif KRL antara kalangan mampu dengan yang tidak mampu.
Rencana ini juga bisa menimbulkan keributan tentang siapa yang lebih berhak mendapatkan tempat duduk. Penumpang yang kaya akan merasa lebih berhak, karena telah membayar lebih mahal dari yang lainnya. Penumpang yang kurang mampu pun merasa lebih berhak, karena mendapat subsidi berupa tarif yang murah. Padahal, keduanya sama-sama punya hak untuk menempati tempat duduk di dalam KRL. Situasi semacam ini berpotensi memicu konflik dan bisa memecah belah masyarakat.
Pemerintah harusnya lebih bijaksana dan memikirkan dampak sebuah kebijakan dari berbagai sisi. Jangan hanya dari segi ekonomi. Meskipun juga, sebenarnya masyarakat kecil tetap saja yang paling susah dengan adanya beragam kebijakan yang diterapkan pemerintah selama ini.
Kebijakan Kapitalistik Diskriminatif
Pembedaan tarif ini merupakan bentuk diskriminasi. Pelayanan diberikan sesuai golongannya. Dengan adanya kartu sebagai penanda dan pembeda antara yang kaya dan miskin, rakyat seolah hendak dipisah-pisahkan sesuai kemampuan keuangannya. Bukannya kemiskinan diberantas, ini malah negara yang melanggengkannya.
Kebijakan dalam sistem kapitalisme pada dasarnya mengabaikan kepentingan rakyat. Negara kehilangan perannya sebagai pengurus rakyat dan diarahkan untuk kepentingan segelintir orang. Kebijakan yang dibuat kerap kali lebih berpihak pada para kapitalis. Jadi, tidak heran jika kepentingan rakyat terpinggirkan. Kebijakan tidak bisa menjangkau seluruh rakyat dan memenuhi aspek keadilan sosial untuk semua.
Transportasi untuk Semua
Transportasi publik hakikatnya adalah untuk seluruh rakyat tanpa ada pembedaan. Transportasi umum bukan hanya untuk kalangan tertentu saja, tetapi untuk semua. Penumpang dengan berbagai macam latar belakangnya adalah sama-sama rakyat yang berhak memakai transportasi massal yang disediakan pemerintah.
Negara harus menjamin fasilitas publik bisa diakses semua orang. Setiap orang berhak memanfaatkannya secara mudah dan terjangkau. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pelayanan publik. Mau dia kaya atau miskin, semua berhak menggunakan transportasi publik dengan nyaman. Begitu pula dengan subsidi transportasi yang menjadi hak rakyat. Setiap orang berhak mendapatkan bantuan dari negara tanpa melihat latar belakangnya.
Negara Melayani Seluruh Rakyatnya
Islam memiliki aturan yang lengkap untuk manusia. Islam tentu juga mengatur tentang fasilitas publik. Dalam Islam, fasilitas publik ditujukan untuk kepentingan rakyat.
Negara bertanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas publik. Negara juga harus memastikan bahwa semua orang bisa menikmati fasilitas tersebut. Sebab, tugas negara adalah melayani dan memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan sepenuh hati. Dalam sistem ini, pelayanan rakyat merupakan prioritas yang utama sebagaimana sabda Rasulullah: “Pemerintah adalah raa’in (pengurus) dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Keberadaan transportasi publik adalah untuk melayani hajat publik, bukan untuk mencari keuntungan. Transportasi merupakan pelayanan publik oleh negara, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai bisnis. Apalagi, sampai mengeksploitasi demi kepentingan golongan tertentu. Ini merupakan kezaliman yang dimurkai Allah.
Pengelolaan fasilitas publik seperti halnya transportasi umum akan berjalan dengan prinsip yang baik. Yakni, kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan individu pelaksana yang kapabel. Fasilitas publik tersedia untuk mempermudah aktivitas rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Karena itulah, pelayanan tidak boleh merepotkan atau menyusahkan, apalagi sampai terjadi diskriminasi.
Negara akan menjalankan tugas pelayanan sebaik mungkin berlandaskan takwa pada Sang Pencipta. Pemerintah tidak akan berani bermain-main dengan urusan rakyat sebab pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat kelak. Termasuk dalam membuat kebijakan publik, negara akan benar-benar melihat kepentingan rakyat. Sama sekali tidak tunduk pada kepentingan swasta atau pemilik modal.
Sebelum membuat kebijakan, pemerintah akan melakukan kajian mendalam dan sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan dari segala sisi. Tidak mementingkan ekonomi semata atau demi meraup keuntungan materi. Namun, demi memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat. Dorongan ketakwaan menjadikan setiap langkah sangat berhati-hati agar jangan sampai menzalimi rakyat, walaupun hanya seorang saja.
Dengan begitu, kebijakan yang dibuat juga tidak terburu-buru untuk meraih tujuan yang diinginkan. Kebijakan akan benar-benar matang untuk bisa diterapkan demi memberi kemanfaatan bagi rakyat. Pelayanan terbaik itu hanya bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Negara Khilafah. Dengan begitu, keadilan dan kesejahteraan akan dirasakan secara nyata oleh semua pihak.
Wallahu a’lam bishshawwab[]