"Utang luar negeri sebenarnya menyimpan potensi bahaya yang besar yang mengancam kedaulatan negara. Utang Luar Negeri bukan sekadar urusan pinjam-meminjam biasa yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain. Namun, mengandung konsekuensi, terutama bagi pengutang. Negara pemberi utang akan menjadi pengendali bagi negara pengutang, baik dari sisi eksploitasi kekayaan SDA maupun ikut campur dalam menentukan kebijakan."
Oleh. Elfia Prihastuti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lirik lagu anak "Naik-Naik ke Puncak Gunung" mengibaratkan kondisi utang pemerintah sepanjang tahun 2022 yang terus meninggi. Berbagai kekhawatiran dan peringatan banyak terlontar agar pemerintah waspada dengan lonjakan utang tersebut. Begitu pula dengan bunga yang harus dibayar di masa depan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah bertambah Rp635 triliun dalam kurun waktu hampir satu tahun atau sejak Januari-November 2022 (year-to-date). Posisi utang pemerintah pada Januari 2022 tercatat Rp6.919,1 triliun. Sementara posisi utang pada akhir November 2022 tembus Rp7.554,2 triliun. (Detik.com, 04/01/2023)
Padahal Tahun 2014 pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) jumlah utang hanya sekitar Rp2.600 triliun. Namun, SBY mendapat kritikan pedas dalam kampanye hingga di hari-hari biasanya
Masih Merasa Aman?
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah selalu mengeklaim bahwa utang luar negeri yang sudah tembus Rp7.554,2 triliun masih terkategori aman. Jumlah itu membuat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 38,65% per November 2022. (Detik.com, 09/01/2023)
Bahkan dalam buku APBN kita tertulis "Rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal". APBN saat ini lebih sehat terlihat dari defisit APBN yang sudah kembali di bawah 3%. Sepanjang 2022, APBN mengalami defisit Rp464,3 triliun atau 2,38% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Utang luar negeri aman sebab masih di bawah 60% rasio terhadap PDB yang masih diperbolehkan menurut UU nomor 17 tahun 2013 tentang keuangan negara. Narasi tersebut senantiasa menjadi pemanis penguasa untuk membuat lengah kewaspadaan rakyat. Padahal utang negara yang terus bertambah setiap tahunnya sebenarnya bukan hal yang rasional jika dibandingkan dengan PDB. Faktanya kemampuan untuk membayar utang akan selalu dimasukkan ke dalam APBN setiap negara.https://narasipost.com/2022/08/25/utang-menggunung-akibat-terkungkung-sistem-kapitalisme/opini/
Sementara kondisi APBN, sering menunjukkan defisit daripada surplus. Bahkan di era pandemi, APBN mengalami defisit Rp6,8 triliun. Untuk menutup anggaran yang defisit tersebut negara kembali mengambil utang. Jelas, menyatakan utang masih aman tidaklah rasional.
Pengelolaan Ekonomi yang Buruk
Dalam sistem kapitalisme utang negara dianggap sesuatu yang wajar, karena dipergunakan untuk biaya pembangunan. Sesungguhnya utang sebagai pemasukan utama negara menunjukkan pengaturan ekonomi yang keliru. Hal ini menggambarkan bahwa negara tidak mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya alam yang melimpah menjadi pemasukan negara. Padahal jumlahnya sangat besar, sehingga pemasukan negara hanya diambil dari utang dan pajak. Sedang SDA diprivatisasi ke kantung-kantung para pemilik modal asing.
Utang luar negeri dalam kondisi seperti ini adalah beban bagi rakyat. Beban ini terwujud dalam penarikan pajak yang semakin besar. Sebab realitasnya pajak merupakan satu-satunya pemasukan untuk membayar utang negara. Artinya, ketika negara berutang maka rakyat harus beriap-siap dengan kenaikan pajak yang harus dibayar.
Bahaya Utang, Menggulung Kedaulatan
Utang luar negeri sebenarnya menyimpan potensi bahaya yang besar yang mengancam kedaulatan negara. Utang luar negeri bukan sekadar urusan pinjam-meminjam biasa yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain. Namun, mengandung konsekuensi, terutama bagi pengutang. Negara pemberi utang akan menjadi pengendali bagi negara pengutang, baik dari sisi eksploitasi kekayaan SDA maupun ikut campur dalam menentukan kebijakan.
Hal ini dinyatakan oleh Abdurahman Al Maliki bahwa utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara. Bahaya jangka pendek, adalah dapat menghancurkan mata uang negara debitur dengan membuat kekacauan moneter. Jika utang jatuh tempo, maka negara pengutang tidak bisa membayar dengan mata uang negaranya. Negara tersebut harus membayar dengan mata uang dolar AS. Sedangkan dolar AS adalah 'hard currency'. Akibatnya mata uang negara pengutang akan hancur lebur dan nilainya akan turun drastis.
Bahaya jangka panjang utang luar negeri akan mengacaukan dan merusak kedaulatan negara pengutang. Utang yang tidak segera dilunasi akan melibatkan aset- aset strategis sebagai pelunasannya. Seperti peristiwa akuisisi Cina atas pelabuhan Hambantota.https://narasipost.com/2020/12/03/utang-luar-negeri-solusi-atau-ancaman/opini/
Bahaya-bahaya itu muncul akibat negara-negara pengutang merasa aman dengan utangnya. Oleh karena itu, tidak seharusnya negara-negara pengutang merasa aman dengan utangnya. Masyarakat pun harus menyadari tentang bahaya atas belenggu hutang negara dan mencari solusi alternatif untuk mengatasi hal itu.
Mekanisme Khilafah agar Negara Terbebas dari Utang
Solusi paling solutif yang berkaitan dengan masalah utang luar negeri adalah solusi Islam yang diterapkan oleh negara bernama Khilafah. Sebab dalam Negara Khilafah aturan berasal dari pembuat manusia. Allah Swt mengetahui betul tentang ciptaan-Nya. Berikut kelemahan dan kelebihannya.
Khilafah memiliki mekanisme untuk menjadikan sebuah negara yang terbebas dari utang luar negeri ribawi. Kebijakan utang luar negeri bukan orientasi khilafah untuk memenuhi keuangan negara. Utang negara hanya akan membuka peluang penjajahan kepada kaum muslimin. Hal ini dilarang oleh Islam.
Sistem politik ekonomi Islam akan menjadikan negara Islam kuat, berdaulat dan tidak tunduk kepada asing. Hal ini didukung oleh sistem keuangan negara khilafah yang tidak bertumpu pada utang dan pajak. Sistem keuangan dalam Islam berbasis Baitulmal.
Baitulmal merupakan sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan khilafah. Terdapat tiga pos di dalam Baitulmal. Pos zakat, pos kemilikan umum dan pos kepemilikan negara. Masing-masing pos memiliki sumber penerimaan dan pengalokasian dana. Dengan sistem keuangan tanpa ribawi ini menjadikan negara Khilafah terbebas dari jeratan bunga dan menjadi negara yang kuat dan mandiri. Kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan utang luar negeri dapat dihindari.
Negara Khilafah juga akan menyelesaikan berbagai masalah keuangan yang mengakibatkan anggaran defisit, seperti korupsi dan anggaran yang menggemukkan kantong-kantong para pejabat lainnya. Negara juga mencegah pembangunan yang tidak dibutuhkan publik. Negara hanya berorientasi pada pembangunan sarana publik yang sangat dibutuhkan rakyat. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran negara. Negara Khilafah juga melakukan pengembangan kemandirian dan ketahanan pangan sehingga terjaga dari ketergantungan impor.
Gambaran sistem di atas pernah diterapkan selama 1300 tahun. Bahkan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, negara kesulitan untuk menemukan penerima zakat dikarenakan kesejahteraan rakyat pada masa itu. Dengan demikian maka jelas bahwa problematika utang yang menjerat negara-negara berkembang pada saat ini hanya bisa diselesaikan dengan penerapan sistem Khilafah.
Wallahu a'lam bishsawab[]