”Mereka berinteraksi dengan bebas. Dampaknya lahir pergaulan melewati batas. Berbagai norma agama diterabas. Bisa ditebak, masa depan amblas.”
Oleh. Keni Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Miris. Pengadilan Agama Ponorogo menerima 191 permohonan anak menikah dini selama 2022. Dari total 176 anak yang mendapat izin PA, 125 anak di antaranya menikah karena hamil, sebagian bahkan sudah melahirkan. Sisanya, memilih nikah dini (karena sudah punya pacar) daripada melanjutkan sekolah. (Detikjatim, 13/1/23)
Dikutip dari web Mahkamah Agung RI (30/3/22), Pernikahan dini di Indonesia terus meningkat 30% setiap tahunnya (2019-2021). Tertulis beberapa alasan pernikahan dini di antaranya adalah pengaruh sosial, kurang kasih sayang orang tua, kemudahan akses informasi, mengurangi beban ekonomi keluarga, adat, agama dan hukum. Seperti kita tahu bahwa batas usia minimal seseorang melakukan pernikahan di Indonesia adalah 19 tahun. Jika kurang dari itu, dianggap tidak sesuai hukum dan harus melalui persidangan dispensasi nikah. Tanpa itu, pernikahan hanya berlaku secara agama (nikah siri) alias tidak punya kekuatan di mata hukum.
Mencari Akar Masalah
Bak makan buah simalakama, nikah dini dipersulit tapi pemantik syahwat banyak menjangkit. Berbagai tontonan mengumbar aurat dipersilakan di televisi dan media sosial. Interaksi lawan jenis tidak terbatas. Standar pakaian tidak diatur jelas. Mereka berinteraksi dengan bebas. Dampaknya lahir pergaulan melewati batas. Berbagai norma agama diterabas. Bisa ditebak, masa depan amblas.
Di sekolah, murid tidak ditanamkan terkait jari dirinya. Lihat saja kurikulum terbaru, peserta didik dibiarkan "merdeka" menentukan sendiri jalan hidupnya. Alih-alih menjadi pengendali arah, sistem pendidikan malah melahirkan output siswa penuh gelisah. Mereka tak punya pegangan hidup, minder dengan capaian orang lain, seketika mengikuti tren agar dibilang keren.
Mereka tak punya "rumah" sebagai tempat kembali. Rumah hanyalah bangunan tanpa sifat mengayomi di sana. Ayah dan ibu bekerja. Anak tak punya kawan tempat berbagi keresahan. Lingkungan adalah segalanya pembentuk jati diri.
Inilah gambaran rusaknya sistem sekularisme-kapitalisme. Ia menyasar ke segala sendi kehidupan anak didik kita. Sistem pendidikan sekuler sukses menelanjangi daya kritis anak-anak. Mereka hanyut dalam berbagai program akademik dengan label prestasi tapi minim esensi. Sistem ekonomi kapitalisme berhasil merenggut keharmonisan keluarga. Kebutuhan hidup tinggi mengimpit orang tua untuk bekerja. Ibu terpaksa mengejar gaji dibandingkan merawat anak sendiri. Tak ada payung yang menaungi anak-anak dalam berbagai masalah tumbuh kembangnya.
Islam Hadir Menyelamatkan Anak Bangsa
Islam meniscayakan kesejahteraan setiap individu bernyawa. Sebab, ia adalah pemikiran mendasar yang memancarkan berbagai aturan kehidupan manusia. Islam mengatur individu, masyarakat dan negara dalam rangka menjamin kesejahteraannya. Tiga pilar ini bertanggung jawab atas kualitas masa depan anak bangsa.
Dari Ibn Umar r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang istri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian”. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Individu - Keluarga
Individu saleh adalah langkah awal terbentuknya negara yang kokoh. Ia terbentuk oleh keluarga yang matang, jelas visi misinya, yakni penyokong peradaban Islam. Keluarga berperan sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak-anak. Ayah dan ibu harus siap menjadi teman diskusi anak kapan pun dibutuhkan. Orang tua bekerja sama mempersiapkan anak-anak menjadi calon ayah dan calon ibu sesuai jenis kelaminnya. Anak laki-laki diajari mencari nafkah. Anak perempuan dilatih untuk meriayah rumah dan kerumahtanggaan. Halal haram dijadikan standar pendidikan keluarga. Disiapkan sejak dini bahwa gharizatun nau' hanya disalurkan dalam bingkai pernikahan. - Sekolah - Masyarakat
Sekolah menjadi lingkungan bagi anak-anak dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang telah ditanamkan keluarga. Mereka bertemu dengan teman dan orang-orang (selain keluarga) kemudian belajar berinteraksi dan berlatih menyelesaikan masalah. Guru melanjutkan pendidikan berasaskan Islam yang sebelumnya sudah diajarkan di rumah. Inilah pentingnya kesamaan visi-misi pendidikan antara keluarga dan sekolah. Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah melahirkan anak berkepribadian Islam. Orang tua dan guru harus bersinergi meraih tujuan ini dengan cara yang disepakati.
Pendidikan seksual dalam pendidikan Islam disampaikan pada murid sesuai kebutuhan. Misalnya, penjelasan tentang alat reproduksi hanya yang terkait dengan fikih thoharoh, Sebatas kebutuhan untuk istinja’, tidak lebih dari itu. Terkait ilmu pernikahan disampaikan nanti hanya di fase saat dibutuhkan.
Sayangnya, sistem pendidikan hari ini tidak menjadikan Islam sebagai porosnya. Anak dicetak berorientasi materi, baik dari segi nilai yang bagus atau bercita-cita punya pekerjaan yang mentereng. Orang tua harus bekerja ekstra, mengoreksi kesenjangan pendidikan sekuler di sekolah dengan bagaimana pendidikan Islam seharusnya.
Begitu juga di lingkungan rumah. Teman sepermainan memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Di rumah bisa jadi keluarga telah menanamkan nilai-nilai Islam. Tapi lingkungan sekuler serta merta merusaknya. Hal ini bisa melalui media sosial, lingkungan bebas, dan permainan yang menghabiskan waktu dan biaya. Inilah mengapa kita butuh peran negara untuk mencetak generasi saleh terhindar dari pergaulan bebas.
- Negara
Islam hadir tidak hanya bagi individu, melainkan juga untuk masyarakat. Negara di dalam Islam memiliki peran yang sangat besar untuk mencetak generasi hebat, mencegah lahirnya ahli maksiat. Dalam sistem pendidikan, negara menjadikan Islam sebagai asas dalam tujuan pendidikan, materi, evaluasi, bahan ajar, kualifikasi guru dan lain-lain. Melalui sistem ekonomi, negara menjamin kebutuhan setiap individu. Ayah disediakan lapangan pekerjaan agar semua anggota keluarga terpenuhi kebutuhan dasar, sandang; pangan; dan papan. Perkara ekonomi dan anak, ibu tidak lagi gelisah. Ia tenang berada di rumah, meriayah anak juga berdakwah.
Di sisi lain, negara melahirkan sistem sosial berasaskan Islam. Ditegakkan aturan larangan khalwat, ikhtilat, dan berpakaian membuka aurat. Semua akses porno ditutup. Untuk melengkapi ketakwaan rakyat, negara Islam menegakkan takzir bagi pelaku maksiat, seperti zina, riba, pencurian, perundungan, dsb. Hukuman diberlakukan jika pelaku sudah akil balig, bukan dilihat dari segi usia.
Betapa indah Islam ketika kita hadirkan dalam setiap lini kehidupan. Keluarga, masyarakat, dan negara bersinergi menegakkan Islam secara sempurna. Tidak hanya mengobati, Islam juga menjadi perisai bagi pemeluknya. Itulah sebuah negara yang menerapkan Islam kaffah. Sebut saja Khilafah.
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, dia akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]