”RUU ini jelas akan mengancam keselamatan dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia kesehatan di Indonesia kembali riuh. Draf RUU (Rancangan Undang-Undang) Kesehatan Omnibus Law mendapat respons negatif oleh berbagai Organisasi Profesi (OP) kesehatan. Tidak hanya satu, RUU Kesehatan tersebut mendapat penolakan dari 5 organisasi profesi sekaligus, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Pasalnya, penyusunan RUU tersebut cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil, dan organisasi profesi.
Anehnya, meski banyak mendapat penolakan, RUU Kesehatan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2023. Selanjutnya Baleg DPR (Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat) tinggal menyerahkan Proglenas Prioritas 2023 ke pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna. (CNN Indonesia, 30/12/2022)
Hal ini jelas menimbulkan kecurigaan, jika memang RUU Kesehatan ini dibuat untuk kepentingan rakyat, mengapa justru banyak mendapat penolakan? Selain itu, mestinya draf RUU disebar luas dari awal agar masyarakat tahu dan bisa memberi masukan. Artinya, publik berhadapan dengan RUU misterius yang akan segera disahkan. Hal ini jelas bertentangan dengan salah satu asas krusial pembentukan UU, yaitu keterbukaan atau transparan.
Alasan Penolakan
Secara terpisah, dr. Mahesa Pranadipa Maikel, selaku Juru Bicara Pengurus Besar IDI, menyatakan bahwa alasan pertama penolakan mereka terhadap RUU Kesehatan karena pembahasannya tidak dilakukan secara terbuka, terkesan sembunyi-sembunyi, tertutup, dan terburu-buru. Hal inilah yang membuat Mahesa menilai bahwa sikap pemerintah membuat masyarakat tidak mengetahui apa agenda utama dalam pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law. Alasan kedua, Organisasi Profesi kedokteran melihat adanya upaya kapitalisasi dan liberalisasi kesehatan melalui RUU Kesehatan ini.
Bila hanya menelisik pasalnya saja, RUU ini sepertinya bernuansa positif, misalnya pasal 231 tentang STR (Surat Tanda Registrasi) yang berlaku seumur hidup. Sekilas pasal ini terkesan tepat dan bagus sebab tidak perlu adanya renewal lagi. Namun jika dicermati lebih dalam, pasal ini seolah ada upaya penghapusan peran OP dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi STR. Artinya, pasal ini bisa menghambat para dokter untuk meningkatkan kualitasnya.
Padahal STR seluruh tenaga kesehatan harus didaftarkan pada konsil masing-masing dan seharusnya dilakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali. Hal ini sangat berbahaya, karena jika pelayanan kesehatan dibebaskan tanpa kendali maka akan menjadi ancaman terhadap seluruh rakyat Indonesia. RUU ini jelas akan mengancam keselamatan dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu. Bukankah rakyat berhak mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan yang memiliki moral dan etik yang tinggi?
Sebagian pihak menilai, jika pasal-pasal dalam RUU ini tidak ada aspek urgensinya, sehingga mengapa terburu-buru untuk disahkan? Terlebih banyak pasal-pasal krusial yang justru menimbulkan penolakan sengit dari berbagai pihak. Jika memang pemerintah menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, seharusnya setiap pasal-pasal didesain secara kredibel dengan melibatkan tim profesional dibidang Public Health Policy dan para stakeholder. Kemudian, pembahasannya dilakukan secara terbuka dan dikaji secara luas dengan melibatkan institusi ilmiah seperti perguruan tinggi.
Akibat Kapitalisasi Kesehatan dan Pendidikan
Menkes Budi Gunadi Sadikin, menyatakan bahwa saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 140.000 dokter yang aktif dengan jumlah penduduk sebanyak 270 juta orang. Perbandingan tersebut ternyata masih jauh di bawah standar yang ditetapkan WHO, di mana perbandingan jumlah dokter dan penduduk seharusnya 1: 1.000. Jika jumlah lulusan kedokteran sejumlah 12 ribu orang per tahun, maka butuh 10 tahun agar sesuai standar versi WHO.
Banyaknya pemberitaan media tentang jutaan nyawa yang melayang sia-sia akibat buruknya pelayanan kesehatan di negeri ini, telah ditegaskan oleh WHO dalam halaman resminya. Di mana 15% dari seluruh kematian, atau sekitar 5,7 sampai 8,7 juta jiwa setiap tahun di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia salah satunya) diakibatkan buruknya kualitas layanan kesehatan.
Padahal, masalah minimnya kualitas layanan kesehatan berawal dari kurangnya tenaga kesehatan, misalnya para dokter. Sedangkan kurangnya para dokter akibat mahalnya biaya pendidikan jurusan kedokteran, dan semua ini diatur oleh universitas atau pihak kampus itu sendiri. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak sanggup untuk melanjutkan pendidikan di jurusan kedokteran akibat terkendala biaya. Sehingga, paradoks cita-cita negara yang ingin menghasilkan jumlah dokter maupun tenaga kesehatan dengan jumlah banyak dan berkualitas, menimbulkan kelucuan oleh publik. Sebab, semua universitas berada di bawah pengawasan Dikti, Kemendiknas, dan dikendalikan oleh pemerintah.
Sedangkan masalah terkait distribusi dokter yang tidak merata, merupakan tugas Kemenkes bersama dengan pemerintah daerah. Urusan dokter lulusan luar negeri diatur oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Sehingga, penyebab susahnya pengurusan izin praktik, semua merupakan tanggung jawab Dinas Kesehatan atau Kantor Pelayanan. Oleh karena itu, kekurangan tenaga kesehatan dan permasalahan maldistribusi sebenarnya adalah kegagalan sistem pemerintah, dan bukan kesalahan sebuah organisasi profesi.
Dapat disimpulkan bahwa semua permasalahan layanan kesehatan dari dulu hingga saat ini akibat kelalaian negara dalam menjamin pendidikan dan kesehatan tiap individu. Kemudian, semua ini berlangsung sejalan dengan dilegalkannya industrialisasi sistem kesehatan yang berujung pada mahalnya harga layanan kesehatan.
Selama sistem kapitalisme masih menjadi sistem yang mengatur pendidikan, maka kehadiran dokter-dokter dalam jumlah yang cukup akan sulit diwujudkan. Kapitalisme hanya berorientasi pada keuntungan materi, sehingga akan memberi jalan komersialisasi baik pada sektor pendidikan maupun kesehatan. Dua sektor ini masuk dalam 12 sektor investasi GATS (General Agreement on Trade in Services) yang disetujui WTO, pada Januari 1995.
Inilah kenyataan pahit yang harus diterima masyarakat akibat penerapan UU berbasis sekuler kapitalisme di bidang pendidikan dan kesehatan. Kenyataannya, baik peraturan UU sebelumnya dan RUU Kesehatan Omnibus Law hanya akan menimbulkan nestapa di negeri ini.
Sistem Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, tugas utama penguasa adalah sebagai pelayan rakyat yang terfokus dalam dua hal, yakni melindungi agama dan mengatur urusan dunia. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan kacamata Islam, pendidikan (termasuk pendidikan dokter), kesehatan, dan keamanan adalah hak seluruh rakyat yang wajib diupayakan pemenuhannya oleh negara. Oleh karena itu, negara akan memberikan subsidi agar setiap individu dapat mengakses pendidikan dan kesehatan dengan mudah, gratis, dan berkualitas.
Misalnya pada abad pertengahan, hampir semua kota besar dalam Daulah Islam telah memiliki rumah sakit. Di Kairo misalnya, rumah sakit Qalaqun mampu menampung 8.000 pasien, dan sering digunakan universitas pendidikan untuk melakukan penelitian. Rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para turis asing untuk menikmati sedikit kemewahan tanpa biaya. Bahkan, ada kasus pasien yang berpura-pura sakit. Jika hal ini terbukti, maka para musafir hanya dijamu selama 3 hari saja. Sementara di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib setelah mereka menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah.
Semua rumah sakit dalam Daulah Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan tenaga kesehatan lainnya, seperti aturan minum obat, kebersihan dan kesegaran udara, serta pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. Pada abad ini juga, negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) untuk membuat lebih banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya.
Fakta di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki keunggulan sistem pemerintahan yang terbukti mampu memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan gratis. Demikianlah, semua itu dilakukan sebab kesehatan dan nyawa manusia amat berharga dalam Islam. Sehingga, tenaga kesehatan, termasuk para dokter dan negara bahu-membahu untuk mewujudkan layanan kesehatan yang terbaik bagi setiap rakyat.
Begitulah sejatinya yang akan terjadi jika sistem pemerintahan Islam kaffah diterapkan. Semua itu tidak mustahil diterapkan, sebab secara alamiah, negeri-negeri muslim telah dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah oleh Allah Swt. Hanya saja sekarang, tata kelola perekonomian dan SDA diatur tidak sesuai dengan hukum syariat, sehingga kekayaan alam tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, kehadiran Islam sebagai ideologi menjadi solusi kunci untuk mengakhiri semua masalah dunia kesehatan yang terjadi saat ini.
Khatimah
Sistem produk manusia akan menghasilkan RUU yang sarat kepentingan kelompok-kelompok pembuatnya. Begitu banyak fakta yang memperlihatkan RUU yang tetap disahkan di tengah badai penolakan masyarakat, termasuk RUU Kesehatan Omnibus Law ini. Semua masalah ini disebabkan prinsip dasar terkait asas kesehatan dan pendidikan pada sistem kapitalisme, yakni sebagai sektor komersial.
Sementara Islam, memandang kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan dasar publik yang harus diberikan sebagai jasa sosial secara mutlak oleh negara. Pandangan ini akan menutup celah komersialisasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Kemudian, pemerintah akan mengoptimalkan seluruh SDA dan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan, Khilafah mampu mencetak tenaga kesehatan dengan jumlah banyak dan mampu mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas dan gratis. Wallahu a’lam bishawwab.[]