Ramai Dispensasi Nikah Dini, Potret Rusaknya Generasi

”Maraknya dispensasi nikah dini jelas menunjukkan permasalahan besar tengah menjerat remaja negeri ini. Kebebasan yang kebablasan. Berpacaran hingga hamil di luar nikah. Padahal, statusnya masih menjadi pelajar sekolah.”

Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Saat ini tengah marak berita tentang dispensasi nikah dini yang diajukan pelajar. Sebagian besar dengan alasan telah hamil. Hal ini tentu mengiris hati. Pelajar yang harusnya berfokus pada sekolah dan mempersiapkan diri untuk masa depan justru harus berhenti di tengah jalan pendidikannya. Ada apa dengan pelajar kita? Benarkah ini menjadi bukti gagalnya sistem pendidikan? Bagaimana Islam memberi solusi atas permasalahan ini?

Dispensasi Nikah Dini Merebak

Dilansir dari detik.com (13/1), Pengadilan Agama (PA) Ponorogo menerima 191 permohonan anak menikah dini sepanjang tahun 2022 lalu. Pemohon dispensasi nikah tersebut kebanyakan berusia antara 15-19 tahun dengan jumlah 184 perkara. Kemudian, sebanyak 7 pemohon dispensasi nikah berusia di bawah 15 tahun. Dari situ bisa dilihat bahwa jenjang pendidikan terakhir mereka yang mengajukan dispensasi nikah adalah SMP sebanyak 106 perkara. Pemohon dispensasi nikah dengan jenjang pendidikan SMA sebanyak 25 perkara dan jenjang pendidikan terakhir SD sebanyak 54 perkara. Sisanya sebanyak 6 perkara tidak bersekolah. Dari angka itu, yang dikabulkan oleh PA Ponorogo adalah 176, yang ditolak sebanyak 8 perkara, 4 permohonan dicabut, 2 tidak diterima, dan 1 gugur. Dari 176 perkara tersebut, sebanyak 125 pemohon dispensasi nikah dikabulkan dengan alasan sudah hamil dan melahirkan. Sedangkan 51 perkara dikabulkan dengan alasan berpacaran.

Maraknya dispensasi nikah ternyata juga terjadi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kota Mangga ini mencatat angka permohonan dispensasi nikah yang tinggi. Pengadilan Agama Indramayu menerima 572 dispensasi nikah sepanjang tahun 2022. Sebanyak 564 perkara dikabulkan oleh PA, sementara 8 sisanya dicabut oleh pemohon. Rata-rata usia pemohon dispensasi nikah adalah 16, 17, dan 18 tahun yang berstatus pelajar. Sebagian besar permohonan dispensasi nikah dini adalah karena sudah hamil. Angka tersebut memang menurun dari tahun 2021 yang berjumlah 625 kasus dan 761 kasus pada tahun 2020. Namun, jumlah tersebut tetap sangat mengkhawatirkan. (kompas.com, 17/1/2023)

Selain kedua kota tersebut, permohonan dispensasi nikah dini juga terjadi di wilayah lainnya seperti Bandung, Karawang, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Batang, dll. Angkanya pun tinggi. Bahkan, di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tercatat sebanyak 1.434 permohonan dispensasi nikah dini diajukan ke PA selama tahun 2022. Ini menjadi yang tertinggi di Jatim. Rata-rata usia pemohon adalah remaja dengan ijazah terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). (kompas.com, 18/1/2023)

Angka-angka yang muncul di permukaan adalah seperti puncak gunung es. Artinya, yang tidak tercatat sangat mungkin lebih besar lagi jumlahnya. Di Jawa Timur sendiri, menurut data dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, angka permohonan dispensasi nikah dini selama tahun 2022 mencapai 15.212 kasus. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Timur, Maria Ernawati, menyatakan bahwa dari ribuan kasus tersebut, 80% di antaranya karena pemohon telah hamil. (cnnindonesia.com, 17/1/2023)

Maraknya dispensasi nikah dini jelas menunjukkan permasalahan besar tengah menjerat remaja negeri ini. Kebebasan yang kebablasan. Berpacaran hingga hamil di luar nikah. Padahal, statusnya masih menjadi pelajar sekolah.

Gagalnya Pendidikan

Dispensasi nikah dini di kalangan pelajar menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan sekularisme yang diterapkan. Pendidikan ini tak mampu membentuk anak-anak Indonesia menjadi pribadi yang berakhlak baik. Pendidikan tidak mampu mencetak generasi yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.

Asas pendidikan yang sekuler telah memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari para pelajar. Adanya dikotomi pelajaran agama dan pelajaran umum menjadi buktinya. Pelajaran agama yang diajarkan dalam kelas-kelas tertentu dengan jumlah waktu yang sangat minim menjadikan pelajar kurang mendapatkan pengetahuan agama.

Materi pelajaran agama pun tak sampai menyentuh pada akidah. Apa yang diajarkan adalah bagaimana melakukan ibadah dan teori-teori sebatas untuk dihafalkan semata. Namun, tidak diajarkan kenapa kita harus beribadah kepada Allah, kenapa harus salat misalnya. Siswa juga tidak dipahamkan tujuan hidup sebenarnya. Bahwa manusia harus selalu terikat pada aturan-Nya.

Pelajaran umum pun malah makin jauh dari nilai-nilai agama. Pelajaran sama sekali tidak dikaitkan dengan keberadaan Sang Khalik yang menciptakan alam, manusia, dan kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan yang dipelajari. Pengajaran menjadi kering dari nilai-nilai Islam.

Hal-hal mendasar yang menguatkan keimanan pada Allah tidak diajarkan di sekolah. Pelajaran agama sebatas untuk memenuhi ketuntasan materi ajar dan mencapai nilai akademik tertentu. Maka, wajar jika pelajaran agama di sekolah tidak membawa pengaruh dalam diri pelajar. Dengan sendirinya, nilai-nilai agama tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Sekularisme, Akar Masalah

Sekularisme menjadi biang masalah dari semua yang terjadi. Prinsip yang menjauhkan agama dari kehidupan ini telah berhasil membuat manusia dirundung permasalahan tiada henti.

Asas sekularisme menghasilkan dunia yang liberal. Di mana kebebasan menjadi yang utama. Silakan berpikir atau berbuat apa saja selama tidak merugikan orang lain. Perbuatan tidak boleh dibatasi oleh apa pun. Apalagi oleh agama.

HAM menjadi legalitas kebebasan di segala ruang. Anak-anak tidak boleh dibatasi. Biarkan mereka mengeksplorasi segala hal. Pengawasan pun makin longgar. Akibatnya, mereka menjelajah dan mencoba hal yang jelas bertentangan dengan aturan Islam.

Pembentukan kepribadian siswa juga disesuaikan dengan mindset sekularisme kapitalisme yang berfokus pada materi. Tak ayal, kesenangan materi menjadi tujuan hidup yang dikejar begitu rupa. Halal dan haram, baik dan buruk, benar dan salah, standarnya adalah pemikiran sekuler yang menafikan kebenaran dari Allah Swt.

Gaul Bebas

Pemikiran sekuler yang hidup di tengah masyarakat juga menghasilkan pergaulan muda mudi yang bebas. Laki-laki dan perempuan berinteraksi seakan tanpa batasan. Pamer aurat, tabaruj, ikhtilat, dan khalwat marak di kalangan remaja. Pacaran menjadi sesuatu yang lumrah. Justru yang tidak berpacaran dianggap kuper, tidak laku, dan dipandang remeh.

Naluri terhadap lawan jenis pun terdorong dengan sangat kuat di alam yang serba liberal. Tayangan dan konten di berbagai media menyajikan kebebasan tanpa filter. Pornografi dan pornoaksi marak di mana-mana. Remaja dikepung dari berbagai sisi hingga zina pun tak lagi tabu dan malu. Hamil di luar nikah, aborsi, putus sekolah, dan terjerumus kriminalitas lainnya menjadi buah dari gaul bebas.

Remaja muslim benar-benar jauh dari agamanya sendiri. Mereka beragama Islam, tetapi tidak menerapkan apa yang menjadi ajaran Islam. Pemikiran dan perbuatan mereka mengikuti prinsip sekularisme yang menjunjung tinggi kebebasan.

Solusi Tidak Solutif

Dispensasi nikah yang diajukan pelajar tentu menjadi perhatian semua kalangan. Banyak yang menolak pernikahan dini karena akan menimbulkan masalah seperti anak putus sekolah, kesehatan ibu dan bayi yang rentan, kemiskinan ekstrem, hingga stunting.

Terkait hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPAA), Bintang Puspayoga, berencana memperketat dispensasi kawin atau nikah dini. Pemerintah tengah mengatur pengetatan agar dispensasi tak mudah diberikan sebagai upaya menekan jumlah pernikahan anak. Program ini merupakan salah satu dari lima prioritas Kementerian PPPA. Penurunan jumlah perkawinan anak diupayakan dengan penguatan layanan informasi, edukasi, konseling, dan konsultasi melalui layanan PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang sudah terbentuk di 16 provinsi dan 231 kabupaten/kota. Kementerian PPPA juga mendorong pemda untuk menerbitkan kebijakan pencegahan perkawinan anak untuk kasus-kasus tertentu selain juga memberikan penguatan edukasi kepada remaja. (nasional.kompas.com, 14/1/2023)

PUSPAGA sendiri ditujukan sebagai tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera yang dilakukan oleh tenaga profesional seperti tenaga konselor, baik psikolog atau sarjana profesi bidang psikologi. PUSPAGA merupakan wujud kepedulian negara dalam meningkatkan kehidupan dan ketahanan keluarga melalui program pendidikan/pengasuhan, keterampilan menjadi orang tua, keterampilan melindungi anak, meningkatkan partisipasi anak dalam keluarga, maupun penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga. Termasuk dari programnya adalah memberikan penjelasan tentang pernikahan anak dan dampaknya. Tujuannya supaya pernikahan dini bisa dihindari.

Selain itu, ada juga program GenRe atau Generasi Berencana yang menyasar para remaja. Program ini salah satunya bertujuan untuk menghindarkan remaja dari pernikahan dini. Melalui GenRe, remaja diedukasi bahwa usia minimal menikah adalah 25 tahun untuk laki-laki dan 21 tahun untuk perempuan. Pernikahan dini dianggap menghambat masa depan remaja dan akan menimbulkan banyak masalah bagi pasangan muda tersebut.

Namun, semua upaya tersebut hanya menyelesaikan dari cabangnya saja. Program-program yang dilaksanakan berfokus pada ujung-ujung permasalahan yang menimpa remaja. Dispensasi nikah dini adalah buah dari pergaulan yang terjadi di tengah remaja kita. Pernikahan dini yang terjadi akibat ‘kecelakaan’ alias hamil duluan merupakan konsekuensi pacaran yang banyak dilakoni para remaja.

Seharusnya yang menjadi perhatian utama adalah kenapa pacaran dan pergaulan yang bebas merebak di tengah masyarakat. Di satu sisi, pemerintah melakukan berbagai macam sosialisasi, edukasi, dan semacamnya tentang dampak pernikahan dini. Namun, di sisi lain tidak mengatur bagaimana pergaulan yang seharusnya. Gaul bebas justru dibiarkan, bahkan diwadahi.

Sinergisitas Tiga Pilar

Pendidikan sejatinya bertujuan untuk mencetak generasi yang menguasai iptek dan memiliki keimanan dan ketakwaan. Dengan kata lain, pendidikan untuk mencetak generasi yang tidak hanya pintar secara ilmu pengetahuan, tetapi juga berakhlak mulia.

Karena itu, diperlukan sistem yang kondusif untuk bisa mencetak generasi yang unggul. Sebuah sistem yang antara satu komponen dengan komponen lainnya saling terkait dan saling menopang. Sistem ini juga mampu menjangkau seluruh aspek kehidupan. Sistem yang seperti ini hanya ada dalam Islam. Dengan begitu, pendidikan akan menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Pendidikan untuk generasi bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan terutama negara. Keluarga, masyarakat, dan negara menjadi tiga pilar penting dalam pembentukan generasi yang terbaik menurut Islam.

Keluarga harus menjadi tempat mendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak. Keluargalah yang membentuk pertama kali karakter seorang anak. Karena itu, keluarga harus menerapkan aturan-aturan yang sesuai dengan fitrah anak. Yakni, nilai-nilai Islam yang mampu menjaga anak tetap dalam kondisi yang nyaman dan aman dari segala macam gangguan.

Masyarakat mampu menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Ketika terjadi pelanggaran, masyarakat tidak diam saja atau membolehkan. Antara anggota masyarakat harus saling mengingatkan dan saling menasihati untuk kebaikan. Amar makruf nahi mungkar dan dakwah harus terus dihidupkan di tengah masyarakat.

Negara memiliki peran yang sangat penting dalam membina generasi. Dengan perangkat dan kekuatan politisnya, negara akan menerapkan aturan-aturan. Negaralah yang mampu menjalankan syariat Islam secara kaffah, termasuk dalam pendidikan. Begitu pula dengan sistem sanksi bagi setiap pelanggaran terhadap syariat juga ditegakkan oleh negara secara adil dan tegas. Negara juga berkewajiban membasmi segala pemikiran yang merusak Islam dan umatnya. Suasana ketakwaan juga terus dijaga oleh negara agar tetap hidup di tengah masyarakat. Tugas inilah yang diemban negara sebagai pengatur urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah: “Pemerintah adalah raa’in (pengurus) dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Dengan sinergisitas tiga pilar inilah, pendidikan generasi akan berjalan dengan baik sesuai panduan syariat Islam. Generasi terbaik akan terwujud. Generasi yang mampu berpegang teguh pada agamanya di tengah berbagai gencarnya pemikiran asing. Generasi Islam yang bisa mengindra kerusakan dan menemukan solusinya yang hakiki. Generasi yang selalu menjunjung nilai-nilai Islam dan menjadikannya satu-satunya aturan dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Jumlah Muslim Inggris Meningkat, Isyarat Kebangkitan Islam di Benua Biru?
Next
Marriage by Accident Menggila, Inikah Wajah Remaja Indonesia?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram