"Negara yang esensinya sebagai institusi yang menjamin kesejahteraan dan melayani rakyat telah abai menjalankan fungsinya. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk bisa melangsungkan kehidupannya. Bahkan negara bertindak seolah pedagang yg selalu memikirkan untung dan rugi dalam melayani rakyat."
Oleh. Dyah Rini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hari ini apa yang tidak dipajak? Tanah, rumah, motor, mobil, belanja, parkir, jalan dan lain-lain tidak bebas dari pungutan uang. Bahkan untuk buang air kecil pun harus siap merogok kocek Rp2000 atau lebih. Tepat 1 Januari 2023 pemerintah resmi memberlakukan tarif pajak penghasilan (PPh) yang baru kepada pribadi/karyawan. Kado tahun baru yang harus diterima rakyat dengan hati berat.
Dilansir dari Kontan.co.id, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 56 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Pajak Penghasilan pada Selasa, 20 Desember 2022. Penghasilan adalah salah satu objek pajak. Maka, penghasilan individu rakyat yang dianggap sebagai kemampuan ekonomisnya akan diatur sehingga bisa menambah pendapatan negara. Regulasi yang diberlakukan terdiri dari lima level tarif pajak.
Level 1, penghasilan Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 5%.
Level 2, penghasilan Rp60 juta-Rp250 juta dikenakan tarif PPh 15%.
Level 3, penghasilan Rp250 juta-Rp500 juta dikenakan tarif PPh 25%.
Level 4, penghasilan Rp500 juta-Rp5 miliar dikenakan tarif PPh 30%.
Level 5, penghasilan di atas Rp5 miliar dikenakan tarif PPh 35%.
Dari sini apakah dapat dikatakan rakyat sudah sejahtera jika bisa membayar pajak? Lalu biisakah negara menyejahterakan rakyat tanpa pajak?
Pajak dalam Sistem Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme pajak adalah satu- satunya sumber utama pemasukan negara. Regulasi pajak penghasilan adalah implementasi dari upaya pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak hingga Rp1.718 triliun pada tahun 2022. Sebagaimana yang diungkapkan Direktur Penyuluhan Pelayanan & Hubungan Masyarakat, Neilmaldrin Noor, bahwa ada 4 kebijakan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak. ( Jakarta, CNBC Indonesia)
Kebijakan dan strategi yang digulirkan itu antara lain:
- Optimalisasi perluasan basis pemajakan. Ini adalah implementasi dari integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Penguatan ekstensifikasi pajak dan pengawasan terarah berbasis kewilayahan.
- Percepatan reformasi bidang Sumber Daya Manusia implementasi Core tax System.
- Pemberian insentif fiskal yang terarah dan terukur untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu dan kendala modal.
Alokasi penerimaan pajak oleh negara salah satunya adalah untuk menutup defisit anggaran dan membayar utang yang membengkak. Selain pajak penghasilan, negara juga menetapkan pajak yang lain di antaranya: pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, pajak bea masuk dan cukai, pajak bumi dan bangunan, pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan, dsb. Ada juga pajak daerah, seperti pajak kendaraan bermotor, pajak reklame, retribusi angkutan, parkir, dsb. Jelas hampir tidak ada sektor yang terbebas dari jeratan pajak.
Namun, seandainya negara mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini, maka akan menjadi sumber pemasukan kas negara yang lebih besar dari pada penerimaan pajak. Tapi sayang kekayaan negara yang melimpah ruah itu tidak bisa dinikmati rakyat karena pengelolaannya diserahkan kepada swasta/asing atas nama privatisasi. Rakyat hanyalah mendapat sedikit remah- remah saja. Bahkan kondisi rakyat kebanyakan ibarat peribahasa 'Ayam mati di lumbung padi'.
Penderitaan itu semakin berat ketika rakyat masih harus menanggung beban pajak yang diberlakukan secara merata. Hal ini tidaklah aneh dalam sistem sekuler-kapitalisme. Negara yang esensinya sebagai institusi yang menjamin kesejahteraan dan melayani rakyat telah abai menjalankan fungsinya. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk bisa melangsungkan kehidupannya. Bahkan negara bertindak seolah pedagang yg selalu memikirkan untung dan rugi dalam melayani rakyat.
Islam Sukses Menyejahterakan Rakyat
Berbeda dengan sistem Islam, yakni Khilafah. Selama 13 abad lebih berhasil menorehkan catatan sejarah gemilang terkait pengurusan umat. Terkait masalah pajak, dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah, Syaikh Abdul Qodim Zallum menjelaskan bahwa Islam tidak membolehkan pungutan pajak jika tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Negara tidak boleh mewajibkan pajak untuk biaya di muka dalam urusan administrasi negara, atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung- gedung, timbangan atas barang- barang dagangan, dsb. Maka, jika mewajibkan pungutan tersebut berarti telah berbuat zalim dan dilarang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai." (HR. Ahmad dan ad-Darami dan Abu Ubaid)
Negara Khilafah boleh memberlakukan pajak hanya pada saat kondisi darurat, yakni saat kas negara dalam keadaan kosong. Penarikannya pun hanya bagi kaum muslim yang mampu saja, yakni harta sisa dari kebutuhan primer dan sekundernya. Kaum kafir tidak diwajibkan pajak, tetapi membayar jizyah.
Selain itu, pajak ditarik secara insidental. Artinya, jika kondisi kas negara sudah normal maka penarikan pajak dihentikan. Pajak juga bukan pemasukan tetap negara. Karena pemasukan tetap negara diperoleh dari: jizyah, kharaj, zakat, fai, khumus, dsb. Jadi, pajak hanya sebagai pelengkap saja.
Negara Khilafah senantiasa mengupayakan kepengurusan rakyat, baik ada dana atau tidak. Negara membiayai jihad dan yang berhubungan dengan peralatan militer, memenuhi sarana-sarana umum (sekolah, masjid, jalan raya dsb), menangani keadaan darurat akibat bencana alam, membiayai fakir miskin dari 8 Asnaf dari pos zakat, membayar gaji para pegawai negara (guru, hakim, polisi, dsb).
Jelaslah hanya sistem Khilafah yang mampu mewujudkan harapan rakyat untuk sejahtera dan membebaskan rakyat dari pajak yang menjerat. Negara Khilafah selalu mendorong seluruh rakyat dan aparat untuk senantiasa terikat dengan hukum syarak. Sehingga negara mampu mewujudkan firman Allah yang akan memberi keberkahan kepada negeri yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. "Jikalau sekiranya penduduk negeri- negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat- ayat kami itu, maka Kami siksa mereka karena perbuatannya." (QS Al-A'raaf ayat 96)
Wallahu a'lam[]