"Terjadinya pembakaran Al-Qur'an, retorika rasial antimuslim di beberapa negara di Eropa adalah representasi dari sistem pendidikan dan politik di negara-negara Eropa dan sekitarnya yang mengarah pada kebencian terhadap Islam."
Oleh. Trisna Abdillah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Di tengah gencarnya narasi radikalisme, ekstremisme dan intoleransi yang ditujukan kepada Islam, dunia justru digemparkan aksi pembakaran Al-Qur’an oleh politikus Partai Sayap Kanan Ekstremis Denmark, Ramus Paludan. Atas nama kebebasan berekspresi, Swedia memberikan izin kepada politikus rasis ini untuk membakar salinan kitab suci Al-Qur’an di depan gedung kedutaan Turki di Stockholm pada Sabtu (21/1).
Sontak, insiden tersebut menuai kecaman keras dunia terlebih negara-negara Islam. Pasalnya, selain sebagai tindakan penistaan terhadap agama Islam aksi ini juga dinilai telah menodai toleransi antarumat beragama di seluruh dunia.
Wujud Kebencian terhadap Islam
Dilansir dari Republika.com (25/1/2023), tindakan berbau islamofobia telah berulang terjadi di Eropa, khususnya Swedia. Pada tahun 2003 dan 2005 terjadi pembakaran terhadap Masjid Malmo yang juga menghanguskan Islamic Center di dekatnya. Sepanjang akhir 2014 terjadi penyerangan pembakaran beberapa masjid di Swedia.
Kemudian pada tahun 2022, Paludan merencanakan "tur" pembakaran Al-Qur'an pada bulan April dan Agustus yang memicu kerusuhan hebat di Swedia. Pada November 2022, pemerintah Swedia melakukan penutupan terhadap sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh komunitas muslim di negara itu.
Berlanjut pada Desember 2022, Masjid Jami Stockholm melaporkan terjadinya pelecehan Al-Qur'an. Seorang yang tak dikenal merusak Al-Qur'an dan merantainya di gerbang masjid. Yang terbaru pembakaran Al-Qur'an di depan kedutaan Turki di Stockholm, pada Sabtu lalu (21/1).
Cendikiawan Swedia, Masoud Kamali mengatakan, mengizinkan pembakaran kitab suci umat Islam di depan kedutaan Turki dan menghina Presiden Recep Tayyib Erdogan berkaitan dengan anti-Muslimisme yang lazim di Swedia dan seluruh Eropa sejak Perang Salib. Di mana antimuslim selalu menjadi bagian dari kebijakan negara-negara, termasuk Swedia (Republika,24/01/2023).
Dalam buku Kamali yang berjudul "Racial Discrimination: Institutional patterns and politics", Kamali membeberkan bagaimana umat Islam digambarkan secara negatif dalam buku sekolah di Swedia, Inggris, Jerman, Prancis, Polandia, Austria, dan pemerintahan Siprus Yunani. Di samping itu menurutnya partai-partai rasialis Eropa pada intinya memiliki satu kesamaan, yaitu islamofobia atau yang disebutnya anti-Muslimisme.
Mengutip dari kitab "Ad-Daulah Al-Islamiyah" karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa permusuhan salib terpendam dalam jiwa Barat, terlebih Eropa. Permusuhan yang mengakar dan dendam yang begitu hina membuat mereka melakukan strategi jahanam untuk melenyapkan Islam dan kaum muslimin. Permusuhan itu pula yang menyebabkan kehinaan menimpa kita di negeri kita sendiri.
Dengan adanya fakta ini tidak heran jika terjadinya pembakaran Al-Qur'an, retorika rasial antimuslim di beberapa negara di Eropa adalah representasi dari sistem pendidikan dan politik di negara-negara Eropa dan sekitarnya yang mengarah pada kebencian terhadap Islam.
Pun dengan sistem kufur seperti demokrasi sekularisme misalnya, yang ditanamkan Barat pada negeri-negeri muslim tidak lain adalah sebagai alat untuk menjauhkan Islam dari benak kaum muslimin. Di mana Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang harus diterapkan secara menyeluruh, karena dengannya umat Islam akan bangkit dan kembali menjadi mercusuar peradaban dunia. Bukan kaum yang membebek pada Barat seperti halnya saat ini.
Umat Islam Tak Boleh Diam
Tindakan islamofobia yang semakin marak dan provokatif tidak hanya melukai miliaran muslim di seluruh dunia, lebih jauh juga menunjukkan bahwa pertarungan orang-orang kafir terhadap Islam itu nyata. Mereka dengan dalih kebebasan berekspresi terus berusaha menghina, merendahkan, dan menyerang Islam. Namun pada saat muslim membela haknya, mempertahankan kehormatan, dan memegang teguh ajaran agamanya justru dicap sebagai radikal intoleran.
Umat Islam seharusnya sadar bahwa kecaman dan kutukan saja tidak cukup untuk menghentikan penistaan terhadap Al-Qur'an. Lihat saja, meskipun seluruh dunia mengecam keras namun tindakan yang serupa tetap terjadi. Tak hanya dibakar, Al-Qur’an juga dirobek dalam insiden di Belanda, konon aksi ini juga atas izin dari otoritas Kota Den Haag (Republika.com 25/1/2023).
Jika ditelisik lebih dalam, semua berakar dari pemahaman sekuler yang diusung oleh Barat. Ketika Barat berlindung dengan tameng ide pemisahan agama dari kehidupan maka pada saat yang sama Barat telah memberikan otoritas penuh untuk membuat undang-undang yang berasaskan kebebasan. Mereka memandang bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat mengatur manusia kecuali dirinya sendiri. Sehingga manusia berhak menjalani kehidupannya dengan bebas sesuka hati.
Adapun asas kebebasan yang diagungkan oleh Barat di antaranya adalah kebebasan berakidah, kebebasan memiliki, kebebasan bertingkah laku, dan kebebasan berpendapat. Sama halnya apa yang sedang gempar saat ini, dengan dalih kebebasan berpendapat semua orang boleh mengatakan apa saja, termasuk menghina ajaran Islam. Kita bisa dengan mudah dapati berita tentang hujatan kepada Rasulullah saw. dan agama yang dibawanya tanpa ada satu pun undang-undang yang melarang hal tersebut.
Kita juga dapat melihat bagaimana reaksi negeri-negeri Islam terhadap penghinaan yang menimpanya. Umat hanya bisa mengecam dan mengutuk, tidak lebih. Ketiadaan junnah (perisai) kaum muslimin menjadikan musuh dan pembenci Islam leluasa menghina simbol-simbol Islam.
Benar sebagaimana pernyataan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali yang menyebutkan bahwa agama dan kekuasaan seperti saudara kembar. Agama adalah pokok dan kekuasaan adalah penjaga. Apa saja yang tidak memiliki penjaga maka akan binasa.
Perlu juga kembali kita renungi sabda Rasulullah saw.,
"Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas hidangan". Seorang bertanya, "Apakah karena jumlah kami yang sedikit saat itu?" Rasulullah saw. bersabda, "Bahkan jumlah kalian saat itu banyak sekali, tetapi seperti buih di lautan. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian, serta menjangkitkan di hatimu penyakit wahn". Seorang bertanya, "Apakah wahn itu?" Beliau pun menjawab, "cinta dunia dan takut mati." (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)
Inilah gambaran kondisi saat ini, jumlah umat Islam sangat banyak namun tidak memiliki kemuliaan yang dipandang hormat oleh umat lain. Pun dengan pemimpin negeri-negeri muslim, mereka lebih peduli dengan kekuasaan dibanding harus membela dan melawan musuh-musuh Islam.
Lebih parahnya lagi, mereka tega mengkhianati umat Islam dan bergandeng tangan dengan pihak yang menghendaki keburukan terhadap Islam. Terbukti dengan berbagai program yang diterapkan di negeri muslim seperti program moderasi agama dan sejenisnya yang justru semakin membuat umat jauh dari pemahaman Islam yang benar.
Padahal, sepanjang sejarah kekhilafahan Islam, seorang pemimpin akan selalu menjaga dengan baik kemuliaan Islam dan umatnya. Tidak ada satu pun musuh yang berani melecehkan melainkan pemimpin Islam akan mengangkat senjata untuk memerangi. Lantas, tidakkah kita, umat Muhammad saw. yang disebutkan sebagai khayru ummah (umat terbaik) menginginkan kembalinya kewibawaan Islam dan kaum muslimin? Wallahu a’lam bishowab.[]