Konflik Klasik Perburuhan

”Tak hanya soal diskriminasi dan ketimpangan kesejahteraan, masuknya perusahaan asing atas nama investasi juga tak menguntungkan bagi negeri ini.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Bentrok antara pekerja lokal dan tenaga kerja asing (TKA) kembali memakan korban. Bentrokan terjadi di perusahaan tambang nikel, tepatnya area smelter PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) yang terletak di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada Sabtu (14/01/2023) malam. Bentrokan tersebut mengakibatkan dua orang pekerja lokal dan satu TKA meninggal dunia.

Gesekan antara pekerja lokal dan TKA sering kali terjadi dan menimbulkan banyak kerugian materiel hingga korban jiwa. Jika melihat terus berulangnya konflik antarpekerja, lantas apa sejatinya penyebab terjadinya konflik berulang tersebut? Mungkinkah telah terjadi diskriminasi perlakuan terhadap pekerja lokal? Ataukah karena abainya negara dalam menjamin kesejahteraan para pekerja?

Tuntutan Pekerja

Unjuk rasa para pekerja yang menuntut perbaikan nasib di PT GNI berubah menjadi ricuh. Kericuhan antarpekerja berawal di Pull Dump Truck yang berakibat pada penganiayaan terhadap para pekerja lokal (WNI) oleh warga negara asing (WNA). Bentrokan kemudian meluas hingga ke Smelter 2.

Massa yang terlibat bentrok melakukan aksi saling lempar batu dan berlanjut pada pembakaran alat berat dan mobil. Massa juga diduga melakukan penjarahan di mes para pekerja. Bentrok tersebut akhirnya menewaskan dua WNI dan satu WNA. Imbas kerusuhan tersebut, pihak kepolisian pun menahan 69 orang yang diduga melakukan provokasi dan perusakan di area perusahaan. (Tempo.co, 16/01/2023)

Insiden berujung maut tersebut bermula dari aksi unjuk rasa para pekerja yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN). Unjuk rasa yang diikuti oleh sekitar 300 sampai 500 orang tersebut, dilakukan lantaran ada satu dari delapan tuntutan para pekerja yang tidak bisa dipenuhi perusahaan. Diketahui, pada sehari sebelumnya terjadi ketidaksepakatan mediasi antara serikat pekerja dengan PT GNI. Mediasi tersebut dilakukan di Kantor Dinas Ketenagakerjaan (Disnakertrans).

Berdasarkan siaran pers Polda Sulawesi Tengah (Sulteng), disebutkan bahwa ada delapan tuntutan yang diajukan para pekerja. Beberapa tuntutan yang konon sudah disepakati tersebut antara lain, kewajiban penerapan K3, pemberian APD lengkap kepada para pekerja sesuai bidang dan risiko pekerjaan.

Kesepakatan juga terkait peraturan internal perusahaan, yakni menyetop pemotongan upah yang tidak berdasarkan kejelasan, menyetop sistem kerja kontrak untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap, serta memasang sirkulasi udara di setiap gudang dan smelter. Sedangkan satu tuntutan yang tidak bisa dipenuhi adalah agar perusahaan mempekerjakan kembali anggota SPN yang dipecat karena sebelumnya mengikuti aksi mogok kerja. (Republika.co.id, 15/01/2023)

Diskriminasi Kesejahteraan

Kericuhan yang berujung kematian tentu memantik keprihatinan banyak pihak. Namun, persoalan ini seharusnya tidak dinilai dari luarnya saja yang terkesan menyalahkan para pekerja lokal sebagai pembuat keributan. Persoalan ini harus dilihat dari problem utama yang menyebabkan gesekan terus terjadi antara pekerja lokal dan asing. Jika diulik lebih dalam, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait berulangnya bentrokan antarpekerja, yakni terkait diskriminasi perlakuan antara pekerja lokal dan asing.

Pertama, sudah menjadi rahasia umum jika di kawasan-kawasan industri milik Cina, termasuk Morowali Utara, upah TKA Cina jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan tenaga kerja lokal meskipun untuk jenis pekerjaan yang sama. Kondisi ini jelas menimbulkan kecemburuan dari TKI yang hanya digaji rendah, yakni sekitar Rp3,6 juta. Berbagai fasilitas yang lebih bagus pun diberikan kepada TKA dengan alasan mereka adalah orang asing. Maka, tak heran jika pekerja lokal berdemo menuntut jaminan kesehatan, kelayakan upah, serta keselamatan kerja.

Kedua, ada puluhan ribu pekerja asing (TKA) yang notabene tidak berpendidikan layak alias pekerja kasar, tetapi bisa bekerja di kawasan tersebut. Mirisnya lagi, mereka diberikan keistimewaan terkait bahasa. TKA tak wajib berbahasa Indonesia hingga mereka terkesan eksklusif karena tidak berbaur dengan pekerja lokal. Aturan tersebut menghapus kebijakan wajib berbahasa Indonesia yang sudah puluhan tahun berlaku. Padahal, jika hanya untuk mengambil pekerja kasar, bukankah masih banyak rakyat Indonesia yang lebih layak menjadi prioritas?

Negara Tekor

Tak hanya soal diskriminasi dan ketimpangan kesejahteraan, masuknya perusahaan asing atas nama investasi juga tak menguntungkan bagi negeri ini. Sebut saja soal pendirian perusahaan yang semua bahan-bahan pembangunan pabrik serta mesinnya diimpor langsung dari Cina. Belum lagi perusahaan mereka bebas pajak atau tidak bayar pajak (tax holiday) bisa sampai 25 tahun, ditambah pula dengan mengikutsertakan TKA sebagai pekerja kasar dengan gaji berkali lipat dibandingkan dengan upah pekerja lokal. Lantas, di mana letak keuntungannya bagi rakyat?

Satu hal yang pasti, keuntungan sepenuhnya adalah milik perusahaan Cina. Keuntungannya pun terbilang fantastis. Hal ini dapat diketahui dari ucapan Tony Zhou Yuan, pemilik PT GNI, yang menyatakan bahwa produksi nikel mencapai 1,8 juta ton per tahun. Sedangkan kapasitas ekspor perdana fornikel ke Tiongkok pada 20 Januari 2022 lalu mencapai 13.650 ton. Jumlah tersebut setara dengan pendapatan US$23 juta atau Rp333,5 miliar. Jika jumlah tersebut dikalikan 12 bulan, maka totalnya sebesar 4 triliun rupiah lebih. Mirisnya, dengan pendapatan sebesar itu dari merampok kekayaan negeri ini, buruh lokal hanya digaji rendah ditambah dengan standar kesehatan dan keselamatan yang sangat buruk.

Jika investor Cina ibarat mendapat durian runtuh, hal bertolak belakang justru terjadi pada Indonesia. Negeri ini hanya mendapatkan remah-remahnya, yakni jatah sewa tanah dan serapan pekerja, itu pun dengan upah yang sangat murah. Tak sampai di sana, kerugian juga datang dari sisi lingkungan. Ibarat peribahasa "sudah jatuh tertimpa tangga". Sudahlah mengeruk kekayaan yang luar biasa dari negeri ini, ditambah pula dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah, seperti polusi, pencemaran air tanah, kerusakan hutan, dan sungai.

Abainya Negara

Makin hilangnya jaminan kesejahteraan para pekerja tak lepas dari disahkannya UU Cipta Kerja oleh pemerintah. Berkat UU kontroversial tersebut, keran investasi dibuka selebar-lebarnya bersamaan dengan gempuran tenaga kerja asing yang membanjiri negeri ini. Namun, nasib para buruh lokal justru kian suram karena hak-haknya makin dikurangi.

Pemerintah memang tak mampu menyembunyikan obsesinya atas investasi yang masuk ke negeri ini. Obsesi tersebut makin ditampakkan lewat pengesahan UU Ciptaker. Semua demi dalih menciptakan lapangan pekerjaan dan perlindungan tenaga kerja. Walaupun secara fakta bukanlah rakyat sendiri yang diberikan kemudahan dan perlindungan.

Inilah wujud abainya negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di bawah sistem kapitalisme liberal, negara hanya berperan sebagai regulator bagi rakyatnya. Bukti nyata dalam masalah ini adalah pembentukan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus (termasuk di Morowali Utara) yang secara nyata melucuti peran negara dalam melindungi warga negaranya.

Pasalnya, meski secara teoretis kawasan industri tersebut berada di bawah Kementerian Perindustrian, tetapi dalam praktiknya kawasan tersebut justru ibarat "negara dalam negara". Artinya, para pemilik kawasan berkuasa penuh menjalankan bisnisnya tanpa harus direpotkan oleh urusan birokrasi negara. Ini juga menunjukkan bahwa para pekerja berada di bawah kendali perusahaan secara penuh tanpa perlindungan negara.

Solusi Islam

Karut-marut pengaturan ketenagakerjaan tak mungkin mampu diselesaikan dengan solusi tambal sulam ala kapitalisme. Satu-satunya pilihan adalah kembali pada aturan yang lahir dari Sang Pencipta, yakni Islam. Sebab, Islamlah satu-satunya ideologi yang secara paripurna mengatur seluruh urusan manusia termasuk masalah ketenagakerjaan.

Sejatinya problem utama masalah ketenagakerjaan saat ini terletak pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan, seperti kebutuhan akan barang dan jasa. Yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, maka persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat seharusnya juga menjadi fokus perhatian.

Jaminan Kesejahteraan Hakiki

Islam memberikan solusi terhadap masalah ketenagakerjaan dengan adil dan menguntungkan bagi para pekerja dan pengusaha. Kebijakan negara yang berdasarkan syariat Islam akan menghindari kezaliman terhadap kedua belah pihak. Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, masalah-masalah ketenagakerjaan yang sering muncul hakikatnya terbagi dua, yakni:

Pertama, persoalan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan. Contohnya, persoalan ketersediaan lapangan kerja, lemahnya SDM, pengangguran, tuntutan kenaikan upah, tunjangan sosial, problem buruh wanita, dan pekerja di bawah umur. Persoalan ini sejatinya erat hubungannya dengan tugas dan tanggung jawab negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Untuk penyelesaian permasalahan ini seharusnya dilakukan dengan kebijakan negara, bukan diserahkan pada pengusaha dan pekerja semata. Sebagai penanggung jawab urusan rakyat, negara wajib memberikan kemudahan bagi rakyatnya dalam mencari pekerjaan yang layak. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang pernah memberikan uang sebanyak dua dirham untuk dibelikan kapak kepada seseorang yang meminta pekerjaan pada beliau.

Beliau pun memerintahkan untuk mencari kayu dengan menggunakan kapak tersebut. Urusan memberi kemudahan kepada rakyat dalam memperoleh pekerjaan adalah mutlak menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Muslim, "Imam/khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya."

Kedua, masalah ketenagakerjaan yang berhubungan dengan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Permasalahan ini mencakup soal pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya. Permasalan kedua ini dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja tanpa melibatkan negara secara langsung. Negara dalam hal ini hanya menjadi penengah jika terjadi permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh kedua belah pihak tersebut.

Dalam masalah ini, Islam telah menjelaskan secara rinci bagaimana kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut ijarah al-ajir. Dengan mematuhi semua ketentuan hukum-hukum tentang ketenagakerjaan, maka semua permasalahan yang muncul antara pengusaha dan pekerja dapat diselesaikan dengan baik.

Selain itu, di dalam Islam juga tidak dikenal istilah hak mogok sebagaimana lazim terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebab, akad ijarah antara pekerja dan pemberi kerja harus dipenuhi oleh keduanya. Jika pekerja tidak melaksanakan pekerjaannya, maka dia tidak berhak mendapatkan kompensasi. Sebaliknya, jika pemberi kerja mengurangi hak-hak pekerja, maka negaralah yang berkewajiban memberikan sanksi kepada pemberi kerja.

Khatimah

Sengkarut masalah ketenagakerjaan akan terus terjadi di bawah naungan sistem kapitalisme. Ketimpangan dan kesenjangan di antara para pekerja juga menjadi persoalan klasik yang terjadi turun-temurun. Persoalan ini hanya akan menemui titik terang jika Islam dijadikan solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.

Dengan menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka para pekerja dan pengusaha sama-sama mendapatkan keuntungan. Tragedi maut antarpekerja pun bisa dihindarkan. Selain itu, penerapan syariat Islam akan memberikan keberkahan pada seluruh aspek kehidupan, baik individu, masyarakat, maupun negara. Wallahu a'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Indonesia Darurat "Marriage by Accident"
Next
Utang Terus Menggunung, Pajak Terus Melonjak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram