"Mendorong kaum ibu untuk produktif dan berdaya akan sulit direalisasikan oleh sistem ini. Sebaliknya, keberadaan kapitalisme hanya akan menghambat peran ibu dan memasung hak-hak ibu tertunaikan, yakni hak untuk menjadi manajer rumah tangga, hak sebagai madrasatul ' ula, dan hak untuk mendidik generasi Islam secara umum."
Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti Narasi.Post.Com)
NarasiPost.Com-Dalam Islam ibu memiliki tugas utama yakni berperan sebagai ummu warabatul bait, yakni pengurus rumah tangga dan pendidik generasi penerus estafet kepemimpinan. Sayangnya, di alam kapitalisme para ibu dipaksa keluar rumah untuk mencari nafkah. Hal ini tentu menghambat peran utamanya yakni mempersiapkan generasi terbaik.
Setali tiga uang, negara pun mengakui peran ibu sebagai tulang punggung rumah tangga, juga negara. Karenanya, negara berupaya mendorong kaum ibu untuk terlibat dalam program UKM dan ekonomi digital. Hal ini senada dengan tema perayaan Hari Ibu yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada 22 Desember ini, "Perempuan Berdaya, Indonesia Maju." (Detik.com, 21/12/2022)
Tentu saja kita paham bahwasanya makna "berdaya" menurut kapitalisme tak jauh dari perolehan materi, tanpa peduli apakah slogan pemberdayaan tersebut merepresentasikan cita-cita kaum ibu, atau apakah para ibu bahagia menjalani peran ganda ini?
Nyatanya, Palsu!
Menurut kaum feminis, kebahagiaan para ibu akan terpenuhi apabila terciptanya keadilan gender antara laki-laki dan wanita. Wanita dan laki-laki harus berada di kancah kehidupan yang sama untuk bersaing menentukan status sosialnya. Demikian feminis mendorong kaum ibu memiliki kemandirian ekonomi, tanpa harus bergantung pada nafkah suaminya. Kaum sekuler ini beranggapan ibu produktif dan mandiri secara ekonomi adalah solusi dari berbagai problem yang menimpa perempuan.
Pandangan ini, sungguh sangat keliru dan penuh janji palsu. Memberdayakan ibu namun dengan cara mendorong mereka keluar dari rumah, justru telah menghambat tugas utama para ibu mendidik generasi rabbani. Di tengah budaya liberalisme yang kian diaruskan, peran negara minim dalam menjamin terlindunginya akidah umat, ditambah dengan kurangnya perhatian ibu karena sibuk bekerja, hanya akan melahirkan generasi bobrok penyumbang berbagai masalah dekadensi moral.
Lantas, apakah para ibu senang melihat anak dan masa depan generasinya hancur karena tidak terdidik dan jauh dari pola asuh orang tua?
Lalu, apakah para ibu bahagia menjalani perannya yang tidak sesuai kodrat, dari pagi sampai malam gulita mengais rezeki demi keluarga?
Tak jarang para ibu harus bangun di pagi buta untuk bersiap ke kantor dan bekerja, tak sempat ia menatap wajah buah hatinya yang diserahkan pengasuhan pada pembantu rumah tangga, sementara saat kembali sang anak sudah terlelap di alam mimpinya. Tak jarang pula kaum ibu harus berpisah dari buah hati dan keluarga tercinta, karena mengadu nasib menjadi TKW di negeri orang. Miris!
Jika kaum ibu bisa memilih, tentunya tak ingin meninggalkan peran utamanya sebagai ummu warabatul bait. Jika ibu bisa memilih, tentu ia ingin fokus mendidik generasi dan mengurus rumah tangga tercinta. Itulah fitrah seorang ibu, berada di tengah keluarganya. Karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak untuk belajar makna kehidupan, 'rumah' bagi suami kembali setelah seharian bekerja. Itulah kebahagiaan utama para ibu. Ladang pahala itu ada di rumahnya.
Kapitalisme Memasung Hak Ibu
Perlu dicamkan! Kapitalismelah yang ada di balik eksploitasi tenaga kerja kaum wanita, akar masalah krisis ekonomi global, penyumbang pengangguran dan PHK. Kapitalisme inilah yang mendorong remaja terlibat prostitusi, yakni cara instan meraih materi yang berujung penyebaran HIV-AIDS dan maraknya aborsi ilegal. Kapitalisme inilah akar masalah dari kemiskinan yang melahirkan kebodohan, hingga munculnya dekadensi moral.
Karena itu, mendorong kaum ibu untuk produktif dan berdaya akan sulit direalisasikan oleh sistem ini. Sebaliknya, keberadaan kapitalisme hanya akan menghambat peran ibu dan memasung hak-hak ibu tertunaikan, yakni hak untuk menjadi manajer rumah tangga, hak sebagai madrasatul ' ula, dan hak untuk mendidik generasi Islam secara umum.
Jika negara ingin kaum ibu berdaya dan produktif menjalankan perannya, negara harus mencampakkan sistem kapitalisme yang saat ini mengatur kehidupan. Sistem kapitalisme hanya berorientasikan materi, di mana kebahagiaan diukur saat pribadi tertentu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tak peduli apakah itu sesuai syariat atau tidak, melanggar fitrah manusia, atau menyalahi kodrat seorang ibu.
Berkaca dari kegagalan kapitalisme, kita bisa melihat bahwa apa pun ide yang lahir dari paham sekularisme, yakni ide pemisahan agama dari kehidupan, tak pantas dijadikan sebagai asas dalam kehidupan. Sebaliknya, malah semakin membawa umat manusia berada di dasar kehancuran.
Kembali pada Islam
Hal ini berbeda dalam perspektif Islam, yang melihat kaum ibu sebagai sosok penting dalam mencetak generasi masa depan. Islam takkan membiarkan kaum ibu dieksploitasi dan dijadikan objek bisnis bagi kaum kapital. Islam juga tidak akan membebankan tanggung jawab nafkah pada kaum ibu, apalagi menjadikan para ibu sebagai 'tulang punggung' devisa.
Tidak seperti kapitalisme yang menjadikan materi sebagai orientasi kebahagiaan. Sumber kebahagiaan Islam justru datang saat seluruh elemen masyarakat terpenuhi hak-haknya secara keseluruhan. Seperti hak sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Tak terkecuali hak-hak para ibu, akan dikembalikan sesuai fitrahnya sebagai pengurus rumah tangga.
Tentu Islam mampu merealisasikan itu semua. Dengan landasan ekonomi Islam yang mengharamkan kebijakan privatisasi SDA oleh asing dan swasta, melainkan wajib dikelola secara mandiri oleh negara, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk menjamin kesejahteraan mereka, termasuk kesejahteraan para ibu.
Suasana hidup penuh rahmat inilah yang dibutuhkan kaum ibu untuk berdaya, mendorong para ibu produktif dan menunaikan tugas-tugasnya dengan sempurna. Sehingga ibu mampu mempersembahkan kontribusi terbaiknya bagi umat berbangsa, mencetak generasi masa depan yang mampu membawa umat menuju masa depan yang gemilang. Tentu saja, implementasi hukum Islam yang sempurna ini hanya bisa diaktualisasikan oleh bangunan kepemimpinan Islam yang menerapkan syariat secara kaffah dalam bingkai bernegara. Hanya Islam yang mampu mewujudkan kehidupan umat yang sejahtera, terpenuhi segenap hak-haknya, baik hak atas individu, maupun hak masyarakat secara keseluruhan. Wallahu 'alam![]