"Perpanjangan masa jabatan kades dalam sistem demokrasi bukanlah solusi, tetapi justru memberi celah terbukanya korupsi. Sebab, tujuan utama menduduki kepemimpinan bukanlah demi kemaslahatan, melainkan menggapai kekuasaan.”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ribuan kepala desa se-Indonesia mendatangi ibu kota dan melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI, pada Selasa (17/01/2023). Dalam aksi tersebut, mereka terang-terangan meminta agar pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, diganti. Yakni, tentang jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Bahkan, para kepala desa di berbagai daerah sampai mengancam akan menggemboskan suara partai politik di desa pada Pemilu 2024, jika tuntutan tersebut tidak digolkan.
Gayung pun bersambut, wacana perpanjangan jabatan kades banyak diaminkan oleh para politisi negeri ini. Di antaranya, dari politikus PKB yang sekaligus menjabat sebagai Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Toha. Secara pribadi, Toha menyetujui permintaan para kades untuk memperpanjang masa jabatannya. Setali tiga uang, Ketua DPP PDI Perjuangan, Said Abdullah pun mengatakan, partainya memberikan dukungan penuh dan akan mendorong revisi ketentuan yang mengatur masa jabatan kades.
Tak sampai di sana, lampu hijau perpanjangan jabatan kades rupanya juga diberikan oleh orang nomor satu negeri ini, yakni Presiden Joko Widodo. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh politisi PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko. Lantas, benarkah usulan yang terjadi jelang Pemilu 2024 tersebut adalah murni demi memaksimalkan pembangunan desa? Atau hal ini hanya sebuah manuver politik untuk mendukung perpanjangan jabatan para pemilik mandat rakyat? Adakah bahayanya jika jabatan kades lebih lama dari presiden?
Demi Efektifnya Pembangunan?
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar mengatakan bahwa perpanjangan masa jabatan kades akan memberikan manfaat. Dia menyebut, para kades akan memiliki waktu lebih lama untuk menyejahterakan warga. Selain itu, pembangunan di desa akan lebih efektif tanpa harus terpengaruh dinamika politik akibat pemilihan kades. Sedangkan di sisi rakyat, menurutnya hal itu akan lebih menguntungkan. Sebab, masyarakat tidak terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif. (Kompas.com, 22/01/2023)
Namun, argumen Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tersebut dikritisi oleh Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. Ubedilah menyebut, argumen yang mendasari tuntutan perpanjangan jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun, telah merusak demokrasi. Sebut saja, soal masa jabatan kepala desa selama enam tahun yang dianggap tidak cukup untuk mengatasi keterbelahan masyarakat akibat pemilihan kepala desa. Juga demi efektifnya pembangunan sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama.
Argumen tersebut, menurut Ubedilah, tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, enam tahun merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa. Enam tahun juga waktu yang sangat lama bagi kades untuk memerintah desa, di mana jumlah penduduknya hanya sekitar puluhan ribu saja. Karena itu, problem utamanya bukanlah terletak pada kurangnya waktu, tetapi minimnya kemampuan dalam hal kepemimpinan seorang kepala desa. Artinya, meskipun jabatannya diperpanjang sampai sembilan tahun, jika masalah pokoknya tidak diatasi maka kepala desa tetap tidak mampu menjalankan program-programnya dengan baik. Jadi, solusi bagi permasalahan di desa bukanlah dengan memperpanjang jabatan. (Tempo.co, 19/01/2023)
Bahaya Perpanjangan Jabatan
Usulan perpanjangan masa jabatan kades menuai kecurigaan banyak pihak. Apalagi rencana ini muncul menjelang digelarnya pesta demokrasi pada 2024 mendatang. Jika presiden mewujudkan usulan tersebut, bukan tidak mungkin usulan perpanjangan masa jabatan lainnya juga akan diwujudkan. Publik tentu belum lupa, jauh sebelum usulan ini mengemuka, wacana perpanjangan masa jabatan presiden juga pernah digulirkan dengan nama penundaan pemilu. Ini tentu berbahaya dan mencederai demokrasi negeri ini.
Bahaya tersebut tak hanya terjadi pada perpanjangan masa jabatan presiden ataupun kepala daerah, tetapi juga bagi jabatan kepala desa. Berikut beberapa di antara bahayanya :
Pertama, jika perpanjangan masa jabatan kades sampai disetujui tanpa mengubah ketentuan yang dapat membuat kades menjabat selama tiga periode, maka seorang kades bisa menjabat lebih dari seperempat abad atau 27 tahun. Padahal, perpanjangan masa jabatan apa pun baik presiden, gubernur, maupun kepala desa, membuat mereka menjadi ‘raja’ yang bersifat tidak ingin dikontrol.
Kedua, sebagaimana diketahui, dana yang dikelola desa setiap tahunnya ada sekitar satu miliar. Jika usulan ini diterima, maka ada dana sekitar Rp9 miliar yang akan dikelola oleh kepala desa. Uang sebesar itu sangat rawan penyalahgunaannya, karena dikelola oleh orang yang sama dalam waktu yang lama. Sebelum usulan ini bergulir saja, tidak sedikit kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Mengutip data KPK dari tahun 2012 sampai dengan 2021 saja, sudah tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di negeri ini. Dari total tersebut, sebanyak 686 kasus menjerat kepala desa. Maka, bisa dibayangkan jika jabatan tersebut diperpanjang menjadi sembilan tahun, bukankah potensi korupsinya lebih besar?
Ketiga, usulan perpanjangan jabatan kades dapat dianggap sebagai jalan legal memuluskan penguatan oligarki semata. Meski dengan skala yang lebih kecil, tetapi memiliki fungsi dan peran yang sama. Misalnya saja, untuk desa yang masuk dalam zona industri, maka oligarki desalah yang akan mendapatkan SK-SK pengelolaan limbah dari pabrik yang ada di desa tersebut. Walhasil, makin lama mereka berkuasa, makin kuat pula kedudukannya di desa tersebut. Bukankah hal ini telah mengangkangi kelangsungan demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi?
Keempat, dengan durasi jabatan sembilan tahun yang periodesasinya sampai tiga kali, maka biaya Pilkades berpotensi membengkak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pemilihan di sistem demokrasi rawan disusupi "serangan fajar". Ini bukan hanya terjadi saat pemilihan presiden dan kepala daerah saja, tetapi terjadi pula di desa-desa. Dan seorang calon kades bisa menghabiskan puluhan, ratusan, bahkan miliaran uang untuk duduk di kursi nomor satu desa tersebut. Maka, bayangkan saja jika masa jabatannya sampai sembilan tahun, orang akan berlomba memenangkan kontestasi dengan segala cara. Di sisi lain, orang yang memiliki potensi di desa tersebut akan kesulitan bersaing karena ketidakmampuan ekonominya.
Inilah sejatinya buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang mengandalkan aturan manusia. Demokrasi yang sudah cacat sejak lahir tentu akan melahirkan berbagai kerusakan turunan lainnya. Padahal, menafikan aturan Tuhan sangat berpotensi membuat para pemegang amanah menjadi sewenang-wenang dalam mengurus rakyatnya. Sebab, perkara halal tak menjadi pertimbangan, haram pun bukanlah halangan. Semua demi satu tujuan, yakni kekuasaan.
Butuh Aturan Agama
Pada fitrahnya manusia adalah makhluk yang lemah, serba kurang, dan butuh aturan yang berasal dari Sang Pencipta. Tanpa aturan yang berasal dari hukum syariat, maka manusia cenderung merusak. Lihat saja, berapa besar kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia, baik karena perilaku maupun aturan yang dibuatnya. Salah satu kerusakan itu terlihat saat manusia diberi mandat untuk mengurusi rakyat. Karena itu, manusia harus diatur oleh hukum Allah Swt., agar tidak terjadi penyimpangan dan kerusakan.
Tak bisa dimungkiri, jika dalam diri manusia memang terdapat apa yang disebut gharizah al-baqa'. Dan salah satu perwujudannya adalah keinginan untuk berkuasa, menduduki jabatan, serta memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Islam pun sejatinya tidak melarang seseorang untuk berkuasa dan memiliki jabatan. Sebagaimana Islam juga menganggap lumrah jika terjadi pergolakan yang menyertai proses politik menuju kekuasaan. Namun, semuanya harus diatur dengan standar Islam.
Jabatan dalam Kacamata Islam
Meski siapa pun boleh menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan, namun terlepas dari itu semua Islam sangat memperhatikan bagaimana kekuasaan itu diperoleh, serta untuk tujuan apa kekuasaan itu diraih? Dalam pandangan Islam, kekuasaan harus diperoleh dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Sebab, kekuasaan yang diperoleh dengan cara-rara curang akan menyengsarakan dan menistakan pelakunya di akhirat kelak.
Salah satu teladan seorang pemimpin ketika diberi amanah jabatan bisa dilihat dari respons Umar bin al-Khatthab saat diusulkan sebagai Khalifah oleh Abu Bakar r.a. Mendengar pencalonan dirinya tersebut, Umar bukannya gembira, tetapi malah keras menentang. Beliau sampai mengatakan bahwa Abu Bakar dan para sahabat ingin menjerumuskannya ke dalam neraka.
Umar bin al-Khatthab kala itu tak serta-merta menerima jabatan yang begitu tinggi tersebut. Sebab, Umar mengetahui dengan benar bahwa jabatan bukanlah tempat untuk meraih ketenaran, kekuasaan, harta, apalagi wanita. Umar memahami betul bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. di akhirat.
Ini berarti bahwa jabatan adalah beban. Jika jabatan tersebut tidak ditunaikan sebaik-baiknya, maka akan membawa penyesalan dan kehinaan di akhirat kelak. Karena itu, Umar sama sekali tidak bergembira menerima jabatan sebagai khalifah kaum muslimin saat itu. Kekhawatiran Umar jelas beralasan, sebab Allah Swt. mengancam siapa pun yang diberi jabatan tetapi mengkhianatinya. Sebagaimana termaktub dalam hadis riwayat Muslim yang artinya, "Siapa saja yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurusi rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya."
Hal berikutnya yang menjadi perhatian dalam Islam adalah untuk tujuan apa jabatan itu didapatkan? Terkait hal ini, Islam memandang bahwa jabatan kepemimpinan bertujuan untuk menyukseskan pelaksanaan syariat Islam. Sebab, penerapan syariat Islam di tengah masyarakat memang butuh kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan, maka syariat Islam hanya sebatas teori tanpa aplikasi. Sebaliknya, sebuah kepemimpinan tanpa melibatkan syariat maka akan kehilangan arah. Karena itu pula, Islam mewajibkan setiap muslim untuk taat pada pemimpin yang menaati syariat.
Satu hal yang menarik, kepemimpinan dalam Islam bisa tetap dipegang tanpa terhalang oleh batasan tahun, selama para pejabatnya tidak menyimpang dari hukum syarak. Meski demikian, seorang pejabat pemegang amanah rakyat tetap dikontrol dari pusat dan mewajibkan adanya iman pada setiap individu pejabat. Faktor keimanan inilah yang membuat para pejabat maupun penguasa menunaikan amanahnya dengan baik, semata-mata demi mengharap keridaan Allah Swt. Jelas pula bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan menjadi ajang perlombaan para politisi untuk menduduki kursi kekuasaan.
Khatimah
Perpanjangan masa jabatan kades dalam sistem demokrasi bukanlah solusi, tetapi justru memberi celah terbukanya korupsi. Sebab, tujuan utama menduduki kepemimpinan bukanlah demi kemaslahatan, melainkan menggapai kekuasaan. Sepanjang apa pun jabatannya apabila sistem yang digunakan masih demokrasi, maka kecenderungan koruptif tetaplah besar. Jabatan itu hanya akan ditunaikan dengan baik, jika pribadi pemimpinnya lahir dari sistem sahih, yakni Khilafah. Walhasil, jika demokrasi kapitalisme nyata-nyata gagal membangun dan memproduksi para pemimpin yang amanah, lantas masih layakkah ia dijadikan solusi?
Wallahu a'lam[]