"Sayangnya, perjanjian yang sudah diteken ini segera menuai kontra dari beberapa kalangan, khususnya pihak yang berkonflik itu sendiri. Alasannya, perjanjian tersebut tidak menyentuh akar persoalan, pun tidak melibatkan pihak-pihak yang bersitegang."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Krisis yang terjadi di Papua seperti tak ada habisnya. Segala cara dilakukan pemerintah untuk mengakhiri konflik, namun hingga kini belum ada hasil yang nyata. Padahal, konflik tersebut telah memakan hingga ratusan korban, baik dari TNI, separatis, maupun warga sipil.
Kini, pemerintah membuat langkah baru dalam menyelesaikan konflik di Papua. United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Wakil Rakyat Papua, dan Wali Gereja Papua bersama dengan pemerintah yang diwakili oleh Hak Asasi Manusia menandatangani jeda kemanusiaan di Papua selama 6 bulan mendatang. Hal ini bertujuan untuk menyediakan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Papua dan menyiapkan kepastian tentang hak-hak dasar para tahanan dan narapidana. Perjanjian ini dilaksanakan di kantor Center of Humanitarian Dialogue, Jenewa, Swiss. (majalah.tempo.co, 1-1-2023)
Lantas, sebenarnya apa yang menjadi akar masalah konflik yang berlarut ini? akankah jeda kemanusiaan akan membawa kedamaian yang diimpikan? Dan bagaimana Islam menyikapi permasalahan di Papua?
Akar Masalah
Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Papua sudah menjadi sorotan. Sebab, Indonesia menginginkan semua wilayah bekas jajahan Belanda masuk ke dalam wilayah Indonesia. Sayangnya, permintaan ini berlangsung alot, hingga masuk pada ranah internasional. Akhirnya, sengketa Papua yang dulu dikenal dengan Irian Barat, harus berakhir di Konferensi Meja Bundar (KMB).
Menurut M.C. Ricklefs, dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Indonesia Modern", menyatakan bahwa dalam perjanjian yang difasilitasi oleh Amerika Serikat, yakni Perjanjian New York, Belanda diminta untuk untuk menyerahkan Papua bagian barat pada Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963. Namun, kesalahan pertama yang terjadi dalam perundingan ini adalah tidak dilibatkannya penduduk asli Papua dalam perundingan.
Hingga kemudian diadakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969. Tujuannya adalah agar rakyat Papua dapat memilih tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih yang lain. Referendum ini diikuti oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP). Hasilnya, DMP memilih tetap bergabung dengan Indonesia. Namun sayang, sebagian penduduk merasa putusan tersebut tak mewakili pilihan mereka.
Kepala LP3BH Manokwari, Yan Warinussy, mengatakan bahwa hasil referendum Pepera selalu menjadi ganjalan masyarakat Papua dalam integrasi dengan Indonesia. Sebab, mereka merasa tidak diikutsertakan dalam keputusan tersebut. Bahkan, terdapat non-Papua yang ikut menentukan nasib Papua saat itu. Dan hal ini selalu menjadi bayangan hitam bagi rakyat Papua. (aa.com.tr, 05-11-2019)
Hingga kini, masalah terus berlarut dengan adanya ketimpangan sosial yang lebar antara Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Apalagi, adanya eksploitasi tambang besar-besaran oleh PT. Freeport yang tidak berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan rakyat Papua, dan ditambah banyaknya tenaga kerja imigran yang berasal dari luar Papua, hingga rakyat Papua pun merasa terpinggirkan di wilayahnya sendiri.
Akhirnya, ketidakpuasan yang dirasakan rakyat Papua menumbuhkan bibit-bibit perlawanan sebagai upaya melindungi diri dan menuntut keadilan dari pemerintah Indonesia. Kemudian lahirlah perlawanan politik yang dinamakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan ini menimbulkan konflik-konflik yang memakan banyak korban baik dari TNI, OPM sendiri, juga yang paling banyak adalah korban dari rakyat sipil.
Impian Jeda Kemanusiaan
Konflik yang tiada akhir, meski penyelesaian telah melalui lintas presiden, akhirnya membawa masalah ini berakhir pada perundingan baru. Yakni jeda kemanusiaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jeda kemanusiaan adalah penghentian permusuhan sementara demi menegakkan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam fase jeda kemanusiaan dibutuhkan kedua belah pihak untuk saling bekerja sama agar terealisasi kedamaian yang diinginkan. Kedua belah pihak dilarang saling menyerang, menguasai wilayah satu sama lain selama jeda dilakukan, pun mereka dilarang memindahkan senjata.
Sayangnya, perjanjian yang sudah diteken ini segera menuai kontra dari beberapa kalangan, khususnya pihak yang berkonflik itu sendiri. Alasannya, perjanjian tersebut tidak menyentuh akar persoalan, pun tidak melibatkan pihak-pihak yang bersitegang. Ketua TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat), Seby Sambom, menuturkan bahwa adanya jeda kemanusiaan ini bagai menabur angin. Sebab, mereka tidak melibatkan aktor yang berkonflik di lapangan. Yakni, TNI/Polri dan TPNPB.
Inilah gambaran kapitalisme dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Tak hanya di tanah air, di luar pun konflik yang terjadi malah semakin berlarut-larut tanpa penyelesaian pasti. Bahkan, dikhawatirkan malah sengaja dipelihara oleh pihak-pihak tertentu. Dalam kasus Papua, kita dapat melihat bahwa Bumi Cenderawasih adalah tanah emas. Di dalam gunung-gunung mereka yang menjulang tersimpan berbagai mineral yang tak habis dimakan tujuh turunan oleh rakyat Papua sendiri andai dikelola dengan benar.
Keadaan masyarakat Papua yang terbelakang, dengan infrastruktur apa adanya, juga tak lupa kemiskinan yang mendera, tentu membuat mereka bergejolak dan merasa dianaktirikan oleh Jakarta. Pemerintah dalam hal ini sebagai pengatur urusan mereka, masih gagal mendapat kepercayaan masyarakat Papua. Andai pemerintah berhasil menyejahterakan mereka, maka tidak akan ada perlawanan-perlawanan yang hari ini semakin menjadi momok menakutkan.
Kapitalisme sebagai dasar negeri ini tak akan tinggal diam. Kepentingan para pengusaha lebih kental dari kepentingan masyarakat dalam kacamata kapitalisme. Intervensi asing di Papua menjadi bukti, adanya kepentingan luar yang mengincar tanah emas mereka. Selama akar masalah Papua tidak terselesaikan, kedamaian di Papua akan tetap menjadi mimpi belaka. Korban pun akan semakin banyak hingga jeda kemanusiaan yang bertujuan untuk memenuhi hak-hak manusia akan sulit terealisasi. Papua butuh solusi pasti, namun tentu bukan kapitalisme yang mampu menyelesaikan persoalan mereka.
Cara Khilafah Menghadapi Separatisme
Dalam perjalanan Daulah Khilafah selama 13 abad lamanya, tentu tak selalu berjalan mulus. Separatisme pun tak jarang menjadi kerikil tajam yang merongrong kedaulatan Khilafah. Namun, Islam sebagai asas pemerintahan Khilafah tentu memiliki cara khas dalam pemecahannya.
Biasanya, separatisme terjadi karena beberapa sebab, yakni dari faktor internal dan eksternal:
Pertama, adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Dalam hal ini, Islam memastikan bahwa setiap kebutuhan individu rakyat tercukupi. Adanya jaminan negara dalam pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan) bagi individu akan memberikan mereka rasa aman dan kesejahteraan. Antara rakyat yang kaya dan miskin tidak ada perbedaan perlakuan negara dalam hal pelayanan dan fasilitas publik.
Pun, rakyat minoritas (ahlu dzimmi) juga mendapat hak yang sama dengan kaum muslim dalam hal periayahan negara. Ketika kesejahteraan terpenuhi, kecil kemungkinan terdapat kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara.
Kedua, politik. Ketidakpuasan satu golongan atau wilayah terhadap kebijakan pemerintah biasanya juga dapat menjadi pemantik munculnya api separatisme. Namun dalam Islam, politik diartikan sebagai ri'ayah su'unil ummah (mengurus urusan rakyat). Sehingga, semua yang dilakukan negara paradigmanya adalah kemaslahatan rakyat.
Masalah jabatan, korupsi dan lain-lain, Islam pun telah mengaturnya sedemikian rupa, dan memastikan tak keluar dari apa yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Khalifah sebagai seorang pemimpin pun akan berhati-hati dalam menjalankan amanahnya. Sebab, dengan keimanan yang dimilikinya, ia sadar setiap keputusannya akan dimintai pertanggungjawaban.
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya." (Bukhari : 4789)
Ketiga, intervensi asing. Kekayaan suatu negara biasanya menjadi incaran dari negara-negara imperialis. Perbedaan kekayaan alam di beberapa negara, mengakibatkan adanya kebutuhan silang antarnegara. Namun dengan watak imperialis, negara-negara adidaya tak jarang memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk sumber daya alam negara lain. Baik secara paksa dengan penjajahan dan peperangan, maupun dengan ikatan perjanjian-perjanjian.
Kepentingan imperialis ini, tak jarang pula menimbulkan kaos (chaos) dan perpecahan dalam negara tujuan jajahan. Dalam hal ini, Khilafah adalah negara independen, yang tidak mengizinkan adanya intervensi asing dalam urusan negara. Hubungan Khilafah dengan asing (kafir harbi fi'lan dan kafir harbi hukman) telah diatur dengan jelas.
Terhadap kafir harbi fi'lan, telah jelas bahwa hubungannya adalah hubungan permusuhan atau peperangan. Sebab, negara kafir harbi fi'lan berstatus sebagai negara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin secara nyata. Sehingga, Khilafah akan tetap waspada terhadap pergerakan negara-negara yang memusuhinya.
Sedangkan, hubungan Khilafah dengan negara kafir harbi hukman atau negara kafir yang memiliki perjanjian damai dengan Khilafah, juga akan dibatasi. Meski nantinya akan ada kerjasama antara keduanya, baik dalam perdagangan maupun diplomasi.
Negara Khilafah akan memininalisasi atau bahkan meniadakan adanya intervensi dari negara-negara asing tersebut. Sehingga, tidak ada jalan bagi mereka menguasai kaum muslimin. Hal ini adalah implementasi dari ayat An-Nisa ayat 141,
"…Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman."
Khatimah
Adanya jeda kemanusiaan tidaklah menyelesaikan secara permanen permasalahan yang terjadi. Sebab, banyak kepentingan yang mengalir di Papua. Sehingga, intervensi asing ditambah dengan kurangnya riayah pemerintah akan menambah kemelut tiada akhir jika tidak diselesaikan secara benar. Apalagi negara ini dan dunia internasional menggunakan kapitalisme sebagai solusi kehidupan. Maka, tentu bukan berlebihan jika dikatakan jeda kemanusiaan hanyalah impian. Papua membutuhkan Khilafah untuk menuntaskan permasalahan hingga tuntas dan menciptakan kesejahteraan di Bumi Cenderawasih, insyaallah.[]