"Sejatinya, inilah wajah sistem sekularisme yang terbukti rusak dan merusak kehidupan. Sehingga tak layak untuk dijadikan aturan hidup. Solusi yang ditawarkan selalu menggadai kesejahteraan rakyat, termasuk kebijakan ERP ini yang jelas-jelas bukan solusi tuntas atasi kemacetan.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan memberlakukan kebijakan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP), untuk mengatur volume kendaraan yang melintas agar tidak menumpuk di satu titik. Perda ERP ini sudah masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2022 dan Tahun 2023 yang masih dalam tahap pembahasan awal di DPRD. (Tempo.Co, 21/01/2023)
Kebijakan ini rencananya akan diterapkan di 25 ruas jalan ibu kota dengan konsep mirip seperti jalan tol, hanya saja tak ada gerbang yang membatasi. Kisaran harga yang akan diberlakukan sekitar Rp5.000-19.000,- sesuai kategori dan jenis kendaraannya. Lantas, benarkah kebijakan ini dapat menjadi solusi tuntas kemacetan di DKI Jakarta yang hingga kini belum juga terselesaikan?
Kebijakan Tidak Bijaksana
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia), Djoko Setijowarno menyatakan bahwa ERP merupakan instrumen yang lebih maju dan tergolong efektif mengendalikan volume kendaraan. Sistem ERP sendiri telah diterapkan Negara Singapura. Namun, kondisi Indonesia dan Singapura jelas tidak bisa disamaratakan secara paralel. Sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah seharusnya melihat bagaimana kondisi masyarakat dan apa yang menjadi penyebab mendasar kemacetan di Jakarta.
Kebijakan ERP ini dinilai tidak efektif karena masalah kemacetan di Jakarta diakibatkan oleh seabrek masalah fundamental, seperti buruknya tata ruang karena kesalahan pemberian izin bangunan, dan lain-lain. Akibatnya, luas lahan jalan tidak sesuai dengan banyaknya jumlah kendaraan. Selain itu, kemacetan juga disebabkan karena jumlah angkutan umum berupa bus dan kereta masih belum mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar.
Kemudian, angka urbanisasi yang kian meningkat akibat banyaknya masyarakat pedesaan yang mencari pekerjaan dan melanjutkan pendidikan di ibu kota, makin menambah jumlah kendaraan pribadi di sana. Sedangkan urbanisasi yang kian meningkat akibat pembangunan infrastruktur, tidak dilakukan secara merata hingga ke pelosok negeri. Hal ini mengakibatkan jumlah lapangan pekerjaan menjadi tidak merata, dan membuat rakyat pedesaan terpaksa harus mencari pekerjaan di kota.
Oleh karena itu, selayaknya pemerintah memberikan kebijakan sesuai dengan akar masalah yang tengah dihadapi. Seperti membangun infrastruktur secara merata baik di desa maupun di kota, menyediakan lapangan pekerjaan secara merata, mengatur jumlah kendaraan dengan menjaga kualitas ruas-ruas jalan agar tetap kondusif, dan beragam kebijakan cerdas lainnya yang tidak memeras rakyat. Namun sayangnya, negeri ini menerapkan sistem demokrasi-kapitalisme yang membuat kebijakan politik dan ekonominya tidak mampu menghadirkan tata kelola ruang, publik, dan infrastruktur yang terbaik bagi masyarakat.
Makin Menyengsarakan Rakyat
Angkutan umum berpelat kuning menjadi kendaraan yang kebal ERP. Padahal masih banyak jenis kendaraan masyarakat yang berpelat merah, seperti para ojek online, kurir, dan kendaraan pribadi lainnya. Di mana dalam sehari, mereka akan melewati beberapa ruas jalan berbayar tersebut, dan tentu saja kebijakan ini akan sangat membebani mereka. Jika kebijakan ini diberlakukan, maka jelas akan membebani masyarakat yang sedang mencari rezeki tanpa pandang bulu.
Kebijakan ini terkesan ingin menarik dana dari masyarakat secara paksa dan cepat. Pemerintah hanya menambah beban rakyat, di saat negara ini belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dan luas bagi masyarakatnya. Meskipun kebijakan ini telah mendapat penolakan dari para pengemudi daring dan kurir, namun sepertinya aspirasi mereka seolah kurang mendapat respons positif dari pemerintah.
Sistem demokrasi yang katanya menjunjung suara rakyat, namun kenyataannya menjadi alat penguasa untuk mencekik rakyatnya dengan aneka program kebijakan berbayar yang wajib dipatuhi. Sistem demokrasi kapitalisme bak lintah yang terus menyedot darah rakyat hingga kering. Di saat yang sama, pemimpin senantiasa mencari posisi aman untuk kepentingan pribadi, partai, oligarki, dan para pemilik modal. Namun, tak pernah peduli terhadap nasib rakyatnya yang kian hari kian melarat akibat aneka jenis pajak lainnya.
Sejatinya, inilah wajah sistem sekularisme yang terbukti rusak dan merusak kehidupan. Sehingga, tak layak untuk dijadikan aturan hidup. Solusi yang ditawarkan selalu menggadai kesejahteraan rakyat, termasuk kebijakan ERP ini yang jelas-jelas bukan solusi tuntas atasi kemacetan.
Infrastruktur dan Pajak dalam Perspektif Islam
Uang hasil ERP rencananya akan digunakan pemerintah untuk memperbaiki kualitas transportasi publik di ibu kota. Begitulah pola dalam sistem kapitalisme, biaya untuk pembangunan infrastruktur diperoleh dari sektor pajak, pinjaman utang luar negeri, dan melalui kerja sama kontrak pemerintah dan swasta (KPS) dalam jangka waktu tertentu (biasanya 15-20 tahun). Pada akhirnya, secara tidak langsung masyarakat yang harus menanggung beban biaya pembangunan infrastruktur tersebut. Negara selamanya akan memungut tarif pajak atas setiap fasilitas infrastruktur yang telah disediakan, misalnya tarif jalan tol, pelabuhan, bandara, dan lain-lain.
Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam, segala infrastruktur termasuk transportasi merupakan kategori fasilitas milik umum yang harus dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Di mana dananya diambil dari dana umum dan dana milik negara yang berasal dari pengelolaan SDA secara mandiri. Untuk infrastruktur, pemerintah tidak boleh (diharamkan) mengambil keuntungan dari hasil pengelolaannya. Justru negaralah yang harus memberi subsidi secara terus-menerus kepada rakyatnya.
Dalam riwayat Abu Daud No. 2548, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim.”
Berdasarkan dalil di atas, ada perbedaan mendasar antara mekanisme pajak pada sistem kapitalisme dengan sistem pemerintah Islam. Dalam Islam, pajak (dharibah) dipungut saat negara membutuhkan dana untuk keperluan dan kemaslahatan umat saja. Dengan syarat, jika negara benar-benar kehabisan dana dari zakat, jizyah, dan al usyur. Kemudian, keputusan ini harus didiskusikan terlebih dahulu, dan menunggu persetujuan dari alim ulama, para cendekiawan, serta tokoh masyarakat.
Pungutan pajak harus dilakukan secara adil dan tidak boleh dibebankan kepada orang-orang miskin. Distribusi pengadaan infrastruktur harus merata dan tidak boleh terpaku di tempat-tempat tertentu, misalnya hanya di kota besar, sedangkan di pedesaan dibiarkan terlantar. Selain itu, besarnya pajak harus sesuai dengan jumlah kebutuhan mendesak, bukan untuk pengeluaran yang tidak urgen. Selanjutnya, dalam Islam infrastruktur tidak boleh dibangun dari utang ribawi dan swasta untuk meraih keuntungan dari rakyatnya.
Misalnya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, di mana penyediaan segala kebutuhan rakyat dilakukan seoptimal mungkin, seperti penyediaan jalan sebagai sarana transportasi. Perencanaan tata ruang kota, desa, dan jalan-jalan dilakukan secara efektif dan efisien. Berawal dari perencanaan yang matang akan menghasilkan tata kota yang luar biasa dan dilengkapi berbagai fasilitas untuk memenuhi setiap kebutuhan rakyat. Mulai dari perkantoran, taman kota, sekolah-sekolah, perpustakaan, pasar, rumah sakit, pusat industri, masjid, dan perdagangan, semua dibangun secara merata, baik di desa maupun di kota.
Dalam Daulah Islam, masyarakat tak perlu berurbanisasi demi penghidupan yang lebih baik, karena wilayah tempat tinggalnya telah aman dan nyaman dengan berbagai fasilitas yang memadai. Jalan-jalan dan sarana transportasi dibangun seoptimal mungkin dan disesuaikan dengan kebutuhan umat, sehingga tidak ada proyek mubazir seperti pada sistem kapitalisme. Dengan begitu, kemacetan akibat salah tata kelola ruang publik dapat diminimalisasi sedini mungkin. Semua ini dilakukan karena negara memang memikirkan kepentingan rakyatnya tanpa menghitung-hitung keuntungan yang akan dicapai.
Khatimah
Dapat disimpulkan, kacaunya pengelolaan kebutuhan masyarakat terhadap instrumen pendukung transportasi seperti manajemen jalan, menunjukkan bahwa sistem demokrasi-kapitalisme gagal total mengatur kebutuhan dasar warga negaranya. Jalan umum yang seharusnya diperuntukkan untuk kepentingan rakyat, justru menjadi objek pemalakan. Bahkan, segala proses dan bentuk pemalakan ini dilegalkan dalam bentuk peraturan pemerintah yang tak bisa diganggu gugat oleh suara rakyat.
Hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang penerapannya sesuai perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya semata. Sehingga, kebijakannya tidak dapat diintervensi oleh pihak atau kelompok tertentu. Di mana setiap pemimpin adalah pengurus seluruh urusan rakyat dan wajib dilaksanakan karena iman dan takwa. Sehingga, terciptalah aturan yang amanah dan bijaksana, serta mampu menjadi solusi untuk menyejahterakan rakyat. Alhasil, pengadaan infrastruktur semata-mata disiapkan negara untuk kemaslahatan umat tanpa mengharapkan keuntungan dari rakyatnya. Dapat dipastikan, kebijakan ERP tidak akan mungkin ada di dalam sistem pemerintahan Islam. Wallahu a’lam[]