"Belum lagi, akibat penerapan sistem sekuler ini merusak kepribadian manusia. Bayangkan saja, ketika manusia makin tak kenal agama, perilaku makin tak ada batasan, gampang saja melakukan kejahatan."
Oleh. Astuti Rahayu Putri
(Kontributor NarasiPost.Com, Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com-Seakan tak ada habisnya, kekerasan terhadap perempuan dan anak terus saja terjadi. Hal ini tentu menjadikan posisi perempuan dan anak saat ini, berada dalam posisi yang tidak aman dan terancam bahaya. Tak heran, jika melihat sistem sekarang yang masih belum totalitas membendung kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dan anak. Lalu, adakah sistem yang totalitas mampu melindungi perempuan dan anak?
Jika meninjau data dari Simfoni PPA, sepanjang 2022, berdasarkan tahun kejadian yang diakses pada 12 Juli 2022, menunjukkan jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) 3.131 kasus dengan korban sebanyak 3.238 orang. Korban Kekerasan Seksual (KS) terhadap perempuan sebanyak 542 orang, atau 16,7% korban KtP adalah korban KS. Adapun Kekerasan terhadap Anak (KtA) sebanyak 4.148 kasus dengan korban sebanyak 4.526 orang. Korban KS terhadap anak sebanyak 2.436 orang, hal ini berarti 53,8% korban KtA adalah korban kekerasan seksual (polri.go.id, 5/10/2022).
Jumlah yang tidak sedikit, menjadikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini butuh perhatian yang serius. Apalagi, kejadian yang baru-baru ini terungkap pun kian mengerikan.
Seperti kasus mutilasi yang menimpa seorang wanita, mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Bekasi. Awal mulanya, korban dinyatakan hilang oleh pihak keluarga sejak Juni 2019. Kemudian, ditemukan pada 30 Desember 2022 dalam kondisi termutilasi dalam boks plastik di sebuah kontrakan di kawasan Tambun, Bekasi. Sadisnya, pelaku mengaku telah membunuh kemudian memutilasi korban sejak November 2021, dan menyimpan jasad korban selama setahun lebih di kontrakan tersebut. Penyelidikan sementara adanya motif perselingkuhan terhadap kasus pembunuhan tersebut (beritasatu.com, 7/01/2023).
Kemudian kasus penculikan terhadap anak perempuan berusia 6 tahun di Jakarta Pusat. Dari rekaman CCTV saat kejadian, korban terlihat tanpa ada paksaan dibawa pelaku pergi dengan bajaj. Diketahui memang korban dan pelaku sebelumnya telah saling mengenal. Selama 26 hari korban dibawa pelaku melakukan aktivitas sehari-harinya, yaitu memulung. Setelah diselidiki, ternyata pelaku sebelumnya pernah ditahan karena kasus pencabulan terhadap anak (cnnindonesia.com, 3/01/2023).
Miris, melihat aksi kekerasan seakan tiada henti terus menyasar perempuan dan anak. Aksinya pun kian beragam, yang terkadang membuat kita mengelus dada terhadap sadisnya aksi sang pelaku. Bahkan, kian memprihatinkannya lagi, fenomena ini ternyata bagaikan gunung es. Artinya, yang terungkap baru sebagian kecil saja, sedangkan masih banyak kasus-kasus lainnya yang masih tersembunyi.
Tentu menjadi pertanyaan di benak kita, bagaimana bisa kondisi perempuan saat ini begitu membahayakan, padahal negeri ini berlandaskan hukum? Kenyataannya, berharap terhadap perlindungan hukum saat ini, rasanya tak banyak yang bisa diharapkan. Mengingat, masih lemahnya sistem hukum saat ini. Misalnya saja, tak sedikit pelaku yang pernah ditahan sebelumnya ternyata melakukan aksi kejahatan serupa, bahkan lebih keji setelah mereka dibebaskan. Artinya, hukuman yang diberikan belum memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.
Berbicara mengenai tindakan pencegahan pun masih sangat minim. Misalnya saja, beberapa kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak disebabkan karena faktor kemiskinan. Akan tetapi, garis kemiskinan di tanah air terus saja merangkak naik.
Di sini kita bisa lihat, adanya disharmonisasi antara kepentingan, kesejahteraan, dan kebijakan yang diberikan. Di satu sisi keberlangsungan ekomoni yang baik sangat menentukan kesejahteraan perempuan dan anak. Namun, di sisi lain kebijakan yang diberikan malah menyengsarakan rakyat, yang berimbas pada kemiskinan kian merajalela. Tak heran, jika aksi kekerasan marak terjadi terhadap perempuan dan anak.
Berangkat dari fakta melonjaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlindungan hukum masih sangat lemah, kemudian pencegahannya pun masih sangat minim. Ini mengindikasikan bahwa sistem perlindungan terhadap mereka sedang tidak baik-baik saja. Sehingga, butuh perbaikan secara totalitas.
Agar mencapai perbaikan yang totalitas, harusnya dimulai dengan memperbaiki akar permasalahannya terlebih dahulu. Yaitu, dengan memperbaiki sistem kehidupan. Hal ini disebabkan, penerapan sistem kehidupan yang tidak sesuai akan memberikan dampak rusaknya keberlangsungan hidup manusia, seperti yang sudah kita rasakan bersama.
Sekularisme merupakan sistem kehidupan yang telah lama mewarnai kehidupan kita saat ini. Tandanya adalah makin dijauhkannya pandangan agama terhadap persoalan hidup. Karena, memang prinsip dasar sistem sekuler adalah memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga, solusi dari berbagai persoalan hidup pun berasal dari pemikiran manusia yang lemah.
Belum lagi, akibat penerapan sistem sekuler ini merusak kepribadian manusia. Bayangkan saja, ketika manusia makin tak kenal agama, perilaku makin tak ada batasan, gampang saja melakukan kejahatan. Jelas, bahwa kerusakan-kerusakan yang kita rasakan merupakan imbas dari penerapan sistem sekuler yang berasal dari pemikiran manusia.
Beda halnya dengan sistem yang berasal dari pencipta, yaitu sistem Islam. Tentu pengaturannya akan sempurna. Sehingga, dapat menghadirkan solusi terbaik dari persoalan hidup manusia.
Apalagi dalam surah Al-Maidah ayat 3 Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu …”
Selain itu, melalui catatan sejarah dapat kita temui bagaimana sistem Islam totalitas dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan. Seperti halnya pada masa kepemimpinan Khalifah Al-Mutashim Billah, ia membela seorang budak muslimah yang dilecehkan. Budak muslimah dari Bani Hasyim tersebut dilecehkan ketika sedang berbelanja di pasar oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mutashim Billah, "Di mana kau Mutashim? Tolonglah aku!"
Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Kota Ammuriah (Turki). Karena besarnya pasukan, seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di Kota Baghdad hingga Kota Ammuriah (Turki).
Begitulah karakteristik kepemimpinan dalam sistem Islam, yang betul-betul menjalankan sabda Rasulullah saw.,
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, orang-orang akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya." (HR. Bukhari)
Sehingga, tak mungkin main-main memberikan perlindungan terhadap rakyatnya, khususnya bagi perempuan dan anak.
Wallahu a'lam bish-shawab[]