"Dalam pandangan kapitalis, pelantun ayat Allah dianggap tak jauh berbeda dengan biduan yang layak dihadiahi saweran, padahal saweran ini menunjukkan aktivitas jahiliah yang penuh kesombongan, riya, dan niradab."
Oleh. Uqie Nai
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini beredar sebuah video yang memperlihatkan seorang qari'ah berinisial NH disawer bak penyanyi dangdutan. Dalam video tersebut tampak dua laki-laki naik ke panggung menghampiri qari'ah yang sedang mengaji, lalu menghamburkan uang di atas kepala sang qari'ah. Bahkan salah seorang dari keduanya menyelipkan uang tersebut di kerudungnya.
Sontak, video saweran yang diduga terjadi di Pandeglang, Banten itu pun viral dan menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis, dan Ustaz Hilmi Firdausi.
Melalui akun Twitternya @cholilnafis, Kamis (5/1), Cholil Nafis menyampaikan kegeramannya saat melihat rekaman video tersebut. Beliau menyatakan bahwa saweran uang kepada qari atau qari'ah merupakan cara yang salah, tak menghormati majelis, dan merupakan perbuatan haram yang melanggar nilai-nilai kesopanan.
Ustaz Hilmi di akun Twitternya @Hilmi28 menyebut perilaku sawer qari'ah adalah seburuk-buruk adab. Ia berharap ini menjadi pembelajaran untuk semuanya agar meninggalkan hal-hal yang termasuk su’ul adab seperti ini.
Niradab Buah Peradaban Sekuler
Sawer qari/qari'ah ternyata bukan kali ini saja terjadi. Jejak digital menunjukkan ada banyak video serupa bahkan lebih buruk dari perlakuan terhadap qari'ah NH. Dalam rekaman lain diperlihatkan seorang qari'ah yang sedang melantunkan ayat suci Al-Qur'an dikalungkan uang kertas di kepalanya hingga menutupi matanya. Beberapa kali qari'ah ini melepaskan kalungan uang tersebut dari kepalanya, sedangkan si penyawer hanya tertawa diiringi riuh tawa hadirin.
Perilaku ini jelas menunjukkan buruknya kondisi kaum muslim di era peradaban sekuler. Kondisi yang menyimpangkan cara pandang seseorang bukan lagi pada arahan syariat. Hal ini karena kehidupan kaum muslim dinaungi paham yang menjauhkan agama dari kehidupan, sehingga halal-haram, baik-buruk tak lagi menjadi tolok ukur perbuatan, melainkan kesenangan secara materilah yang diprioritaskan.
Dalam pandangan kapitalis, pelantun ayat Allah dianggap tak jauh berbeda dengan biduan yang layak dihadiahi saweran, padahal saweran ini menunjukkan aktivitas jahiliah yang penuh kesombongan, riya, dan niradab. Mirisnya, pelakunya adalah muslim dan dilakukan dalam acara yang sakral seperti Maulid Nabi saw. atau kajian Islam. Ini menunjukkan bahwa kapitalisme sekuler telah merenggut kesakralan agama dari benak kaum muslim. Panggung dakwah dan pengajian kerap diwarnai kegiatan unfaedah hingga mengarah pada kemaksiatan. Campur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (ikhtilat), tabarruj, berdendang salawat di atas panggung yang menampakkan lekuk tubuh wanita adalah fakta yang banyak terindera. Oleh karena itu, selama paham ini masih diterapkan, kondisi kaum muslim akan terus terperosok pada lembah kejahilan yang sarat kemaksiatan.
Manusia Beradab Lahir dari Pemahaman yang Sahih
Allah Swt. telah memerintahkan kaum muslim agar bersikap santun saat diperdengarkan firman-Nya. Selain sebagai wujud ketaatan akan perintah-Nya, sikap ini akan mendatangkan rahmat Allah bagi pendengarnya.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah oleh kalian dan diamlah agar kalian mendapat rahmat." (QS. Al-A'raf: 204)
Kaum muslim yang memahami perintah Allah tersebut akan memahami betapa pentingnya memiliki adab yang baik. Tidak merendahkan atau bahkan melecehkan ayat Al-Qur'an dan pelantunnya. Karena sikap menistakan kalamullah dengan cara menjatuhkan kehormatan dan keagungannya termasuk perbuatan kufur yang nyata sebagaimana firman Allah Swt.,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: ”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan RasulNya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman.” *(QS. At-Taubat: 65-66)"
Sementara untuk qari/qari'ahnya mereka pun akan menempatkan diri sesuai arahan syarak dalam melantunkan Al-Qur'an di depan publik. Di antaranya untuk syiar Islam, pendidikan, dan dakwah. Bukan untuk ujub, riya, atau dalam rangka memperjualbelikan ayat-ayat Allah semisal menjadi youtuber atau konten kreator yang landasannya kapital.
Suara wanita bukanlah aurat menurut pendapat yang lebih kuat. Adapun membaca Al-Qur'an di hadapan laki-laki bukan dalam rangka belajar, maka lebih baik dibaca secara sirr (lirih). Hal ini akan terkondisikan ketika Islam dan pemimpin pelaksana syariat ada di tengah umat manusia. Penjagaan terhadap ketakwaan individu dan masyarakat dari praktik keburukan (unfaedah) akan senantiasa dilakukan, di antaranya melalui pendidikan dan kurikulum berbasis akidah Islam. Target yang dicapai dari pendidikan ini adalah terciptanya pola pikir dan pola sikap islami pada tiap individu. Sehingga sangat kecil peluangnya bagi orang-orang untuk bertindak nyeleneh atau merusak kesucian Al-Qur'an.
Para ulama salaf telah memberikan nasihat dan peringatannya agar kaum muslim tidak memiliki su'ul adab terutama terhadap ayat-ayat Allah. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa orang yang meremehkan dan mengejek Al-Qur'an adalah kafir. Begitu juga ulama-ulama Hanafiyah menyatakan bahwa siapa pun yang merendahkan Al-Qur'an, masjid atau sejenisnya yang dimuliakan dalam syariat adalah kafir.
Rasulullah saw. telah mengabarkan dalam hadisnya bahwa akhlak adalah salah satu hal yang bisa mengantarkan seseorang menuju surga: "Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Di dalam pemerintahan Islam, manakala dijumpai ada praktik yang mengarah pada merendahkan serta melecehkan bacaan Al-Qur'an, tentunya kaum muslim yang melihatnya akan menegur dan mengingatkannya sebagai wujud ketaatannya kepada Allah (lihat QS. An-Nahl: 125), dan kondisi ini sekaligus menjadi bukti bahwa atmosfer keimanan mereka ada dan terjaga oleh negara yang menaunginya dan menjalankan perannya sebagai raa'in. Antara lain negara akan memberi peringatan, pembinaan hingga sanksi kepada pelaku yang terkatagori melecehkan atau merendahkan ayat-ayat Allah Swt.
"Pemimpin itu laksana penggembala. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang menjadi urusannya (rakyat)." (HR. al Bukhari)
Wallahu a'lam bissawab.[]