”Pada hakikatnya, utang memang digunakan untuk memperkaya negara-negara asing dengan mencekik ekonomi negara pengutang. Semua ini merupakan sebagian kecil potret buruk akibat penerapan sistem pemerintahan demokrasi-kapitalisme.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tahun 2022 telah berlalu, namun utang luar negeri (ULN) tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Sebaliknya, ULN dari tahun ke tahun semakin meningkat. Wajar jika banyak pihak khawatir terhadap kondisi ekonomi negeri ini. Karena lazimnya, utang adalah wujud ketidakmampuan dan pihak yang berutang pasti disebabkan kekurangan modal akibat ketidakmampuan finansial. Jika kemampuan ekonomi negara membaik maka yang seharusnya terjadi adalah penurunan atau pelunasan utang, dan bukan sebaliknya.
Menurut Didik J Rachbini selaku Ekonom senior Indef (Institute for Development of Economics and Finance), bahwa sejak 2014 atau pada masa jabatan Presiden Jokowi, utang pemerintah terus meningkat. Di tahun terakhir Presiden SBY, utang pemerintah menyentuh Rp2.608,78 triliun, dan sekarang, utang Indonesia telah mencapai Rp7.554,25 triliun. Jika ditambah dengan BUMN sekitar Rp2.000-3000 triliun, maka utang negara bisa mencapai belasan triliun, dan semua ini, kelak akan diwariskan pada pemimpin yang akan datang. (DetikFinance, 05/01/2023)
Menanggapi fakta di atas, mengapa rezim saat ini begitu mudah untuk berutang. Benarkah semua ini terjadi karena sistem politik dan perencanaan keuangan negara yang sangat buruk? Lantas, apa saja risiko akibat ULN yang terus meningkat? Bagaimana cara agar negara dapat lepas dari ketergantungan ULN?
Mengapa Negara Berutang?
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, utang dan pajak merupakan sumber utama APBN. Bagi negara berkembang yang menerapkan sistem ini, ULN dibutuhkan untuk berbagai pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana, serta digunakan untuk menutupi defisit APBN.
Meskipun Indonesia memiliki SDA berlimpah yang bersifat potensial, namun akibat sistem pendidikan yang buruk, banyak SDM yang belum dipersiapkan agar dapat melakukan pembangunan berkualitas dengan produktivitas tinggi. Sehingga, sumber daya modal, seperti ULN sangat dibutuhkan sebagai katalisator pembangunan nasional agar target pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dapat meningkat. Namun realitasnya, ULN dengan jumlah yang besar tersebut ternyata belum juga mampu memperbaiki kondisi perekonomian negara.
Hal ini karena modal dari ULN hanya digunakan untuk proyek-proyek konsumtif dan tidak digunakan untuk pembelanjaan produktif. Belum lagi, banyak dana untuk proyek infrastruktur tersebut justru dikorupsi secara brutal. Meskipun faktanya, ULN tidak mampu membuat ekonomi negara meroket seperti yang dijanjikan pemerintah, namun mengapa ULN terus dilakukan? Benarkah pemerintah tidak menyadari bahaya yang ditimbulkan akibat ULN?https://narasipost.com/2021/03/22/terjerat-utang-indonesia-hilang-kedaulatan/
Menarik apa yang pernah disampaikan Wiliam Douglas (1962), seorang hakim MA Amerika Serikat, bahwa alasan beberapa negara berkembang tetap melakukan ULN karena pejabat-pejabatnya akan mendapatkan keuntungan besar dari setiap transaksi tersebut. Bisa kita lihat sekarang, bagaimana kekayaan para pejabat dan petinggi negeri ini semakin meningkat drastis di tengah kemiskinan rakyatnya. Tidak heran, sebab fungsi negara dalam sistem kapitalisme bukan untuk melayani rakyat, sehingga lahirlah para pejabat-pejabat yang hanya mementingkan dirinya sendiri, partai, golongan, dan menghamba pada penjajah asing.
Bahaya ULN Jangka Pendek
Sejatinya ULN bukan sekadar urusan utang-piutang semata, tapi merupakan cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara. Untuk jangka pendek, ULN dapat menghancurkan nilai mata uang negara pengutang dengan membuat kekacauan moneter. Hal ini karena ULN tidak bisa dibayar dengan mata uang negara pengutang, namun harus menggunakan dolar AS atau hard money lainnya. Sementara dalam kondisi tertentu, hard money sulit untuk didapatkan, sehingga negara pengutang harus membeli mata uang tersebut dengan harga mahal.
Ditambah lagi, kondisi nilai mata uang yang terus menurun drastis membuat negara pengutang terpaksa mendatangi IMF (Internasional Monetery Fund) untuk meminta bantuan. Sebab, saat ini nilai mata uang berada di bawah kendali IMF. Ujung-ujungnya, IMF akan memaksa negara yang telah terjebak utang tersebut untuk menjual komoditas berharganya, seperti barang tambang dengan harga murah.
Oleh karena itu, bisa dikatakan, ULN menjadi alat penjajahan modern. Lihat saja di negara-negara berkembang yang berutang, tidak ada yang kaya setelah berutang. Jadi sebenarnya, pemerintah saat ini tidak pernah “gagal” dalam mengelola SDA, melainkan tidak mengelolanya, sebab semuanya telah diserahkan pada asing. Terbukti, pemerintah selalu membuat UU yang membuat para kapitalis legal menjarah SDA di negeri ini.
Bahaya ULN Jangka Panjang
Untuk jangka panjang, ULN dapat memuluskan cengkeraman dan dominasi asing (penjajah). Secara kedaulatan dan politik, negeri ini telah dikendalikan melalui ULN. Sejak Orde Baru hingga masa reformasi, mayoritas tambang, migas, dan hutan negeri ini telah dikelola asing. Tentu saja, semua hasilnya mengalir deras kepada pihak pengelola (asing) dan sisanya menetes kepada rakyat.
Hampir semua sistem dan undang-undang di negeri ini dibentuk sesuai pesanan dan permintaan asing melalui IMF dan Bank Dunia. Contoh nyata, pada sektor migas melalui “investasi”, pihak asing diperbolehkan memiliki lebih dari 90% keuntungan dari hasil pengelolaan SDA di negeri ini. Bahkan, pihak pengelola (asing) boleh melakukan repatriasi, yakni langsung mengirimkan kembali keuntungan yang mereka dapat di negeri ini ke negara asal mereka. Sebab, di dalam transaksi pinjaman (ULN) yang telah diberikan terikat dengan berbagai syarat, seperti adanya jaminan dalam bentuk aset, dan pengadaan peralatan maupun jasa teknis harus diimpor dari pihak asing.https://narasipost.com/2022/08/25/utang-menggunung-akibat-terkungkung-sistem-kapitalisme/
Selanjutnya, ULN dapat membuat kondisi rakyat makin terpuruk. ULN dengan jumlah besar menyebabkan biaya untuk pembayaran pokok utang dan bunganya semakin besar juga. Akibatnya, negara akan membutuhkan modal besar untuk membayar ULN dengan memungut pajak kepada rakyat. Di saat yang sama, negara juga akan berhemat dengan cara mengurangi, bahkan menghapus subsidi dan segala jenis bantuan sosial ke masyarakat. Oleh karena itu, rakyat akan dibebani pajak yang kian meningkat dan di saat yang sama, harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal.
Demikianlah, dampak negatif yang akan menimpa negara jika terus bergantung pada ULN. Pada hakikatnya, utang memang digunakan untuk memperkaya negara-negara asing dengan mencekik ekonomi negara pengutang. Semua ini merupakan sebagian kecil potret buruk akibat penerapan sistem pemerintahan demokrasi-kapitalisme.
Cara agar Terbebas dari ULN
Sebenarnya, negeri ini bisa terbebas dari ULN, jika penguasa dan jajarannya menyadari bahwa sistem pemerintahan sekuler benar-benar tidak layak untuk dipertahankan lagi. Pun menyadari bahwa ULN berbahaya untuk dilakukan karena terbukti membahayakan dan berujung pada kesengsaraan rakyat. Selanjutnya, mentalitas ketergantungan pada asing harus dikikis habis. Harus ada keinginan dan tekad yang kuat untuk mandiri dalam menyelesaikan problem ekonomi. Selain itu, kebijakan dan UU negara harus mampu menutup celah bagi para koruptor.
Solusi selanjutnya adalah menerapkan sistem ekonomi Islam yang didukung penerapan syariat Islam secara kaffah. Di mana segala transaksi ribawi akan ditinggalkan, termasuk ULN. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “…Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Cara selanjutnya, menghilangkan transaksi sektor ekonomi non riil, misalnya pasar modal dan komoditas berjangka yang dibangun atas transaksi-transaksi yang bertentangan dengan syariat Islam. Kemudian, menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang berjalan berdasarkan sektor ekonomi riil.
Misalnya dalam Daulah Islam, pemasukan dan pengeluaran negara akan dilakukan oleh Baitulmal, di mana sumber pemasukan utamanya bukan berasal dari pajak dan utang. Sehingga, haram untuk memperjual belikan barang-barang milik umum kepada swasta atau asing karena semua SDA akan dikelola oleh negara dan hasilnya untuk pendapatan nasional. Dalam kondisi tertentu, hasil pengelolaan SDA akan diekspor demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Saat yang sama, emas dan perak akan dijadikan standar moneter. Jika ingin ditambah dengan uang kertas, maka nilainya harus ditopang oleh emas dan perak agar nilai mata uang tetap stabil. Dengan begitu, nilai tukar mata uang negara tidak akan dipengaruhi oleh dolar atau mata uang negara lain.
Jika menilik sejarah Daulah Islam, kondisi ekonominya sangat minim bersentuhan dengan utang dan defisit anggaran. Misalnya pada masa Rasulullah saw., defisit pernah terjadi sekali, yakni pada saat pembebasan Mekah (Fathu al Makkah). Sebab saat itu, Makkah mengalami pergantian kekuasaan dan sistem ekonomi secara bersamaan. Namun, semua tidak berlangsung lama, defisit kas negara segera dilunasi pada periode perang Hunain pada tahun yang sama. Sistem ekonomi Islam yang sehat ini kemudian diteruskan pada masa Khulafaurasyidin, dan membuat kondisi ekonomi seimbang bahkan sering mengalami surplus.
Khatimah
Selama sistem pemerintahan sekuler masih diterapkan dan cadangan SDA negeri ini belum habis, maka ketergantungan atas ULN tidak akan bisa dihentikan. Sejatinya, melalui ULN inilah seluruh kebijakan dan UU negara yang makmur dapat disetir sesuai kepentingan pihak asing. Negara berkembang akan dibuat sedemikian rupa agar terus berutang. Oleh karena itu, melepaskan diri dari jebakan kapitalis dengan segera menerapkan sistem pemerintahan Islam merupakan solusi kunci untuk mengatasi ULN. Wallahu a’lam bishawwab.[]