UU IKN, Serius untuk Rakyat atau Kapitalis?

"Pemerintah seolah tutup mata, bahwa pembangunan yang ditopang oleh swasta pada dasarnya utang jangka panjang yang nantinya akan dibayar oleh rakyat melalui pajak dan penghapusan subsidi yang selama ini diberikan kepada masyarakat golongan tertentu. Maka, ketika swasta menguasai pembangunan infrastruktur, posisi tawar pemerintah menjadi lemah dikarenakan secara finansial tergantung kepada kapitalis yang membuat kedaulatan berada di tangan mereka."

Oleh. Irma Ismail
(Penulis dan Aktivis Muslimah Balikpapan)

Narasipost.Com-RUU IKN akhirnya resmi menjadi UU IKN dalam sidang Paripurna DPR RI pada hari Selasa, 18 Januari 2022. Setelah sebelumnya rapat secara marathon selama 16 jam, membahas hal penting terkait RUU IKN, mulai nama ibu kota, bentuk atau sistem pemerintahan, sistem pendanaan hingga sumber pembiayaan. Akhirnya diketok palu oleh Ketua DPR RI yang memimpin rapat, meskipun ada interupsi dari anggota dewan, proses pengesahan terus berlanjut. (Wartaekonomi.co.id, 19/1/2022)

Banyak persoalan yang terdapat dan terungkap dalam pasal per pasal di RUU IKN pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Pansus RUU IKN dengan sejumlah ahli atau uji publik dengan akademisi, tetapi ini tidak mengurungkan niat pemerintah untuk segera melegalisasinya dalam bentuk undang-undang.

Dan ketika sudah menjadi UU IKN, aksi penolakan masih terus berlanjut. Koalisi masyarakat Kaltim mendesak pemerintah untuk mencabut UU IKN. Seperti di lansir dari Tempo.co (19/1/2022), mereka menilai ada cacat prosedural sebagai bentuk ancaman keselamatan ruang hidup rakyat maupun satwa langka yang berada di Kalimantan Timur. Megaproyek ini juga berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat. Selain itu, koalisi menilai bahwa RUU IKN minim dari partisipasi publik, di mana dalam undang-undang No 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa setiap undang-undang wajib adanya partisipasi publik. Bahkan penetapan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur juga dianggap sebagai keputusan politik tanpa dasar yang jelas. Di samping itu, pemindahan ini menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim adalah agenda terselubung pemerintah untuk menutup 94 lubang tambang di kawasan IKN, dimana ini seharusnya menjadi tanggung jawab korporasi tetapi diambil alih dan menjadi tanggung jawab negara.

Ekonom Faisal Basri menilai bahwa masih banyak masalah penting lainnya yang harus diselesaikan, pemindahan ini tidaklah mendesak, ada 52% penduduk Indonesia yang masuk golongan rentan miskin, nyaris miskin hingga miskin ekstrem. Selain itu, Faisal juga mempertanyakan pembiayaan pembangunan ini dari APBN yang awalnya katanya dibiayai swasta. Dan untuk itu, Faisal Basri akan mengajukan gugatan uji materi Judicial Review terhadap UU IKN.(Bisnis.com, 18/1/2022)

Pembahasan terkait IKN memang akan terus bergulir bak bola salju, sejumlah fakta dan analisa yang ada memang tidak cukup untuk menguatkan adanya hal yang sangat urgent hingga pemindahan IKN harus segera dilaksanakan. Sejumlah kritik dari para ahli tidak juga mampu untuk menghentikan langkah pemerintah, hingga undang-undang ini pun resmi. Bahkan Menkeu, Sri Mulyani, menyatakan kemungkinan pembangunan IKN akan masuk ke dalam kerangka anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp455,62 triliun, di mana Rp178,3 trliun untuk pungutan pemulihan ekonomi ekonomi yang akan di alokasikan untuk IKN, meskipun anggaran PEN untuk Covid-19 tetap prioritas. Tetapi usulan Sri Mulyani ini ditolak oleh DPR, dengan alasan tidak etis. (Kompas.com 19/1/2022)

Ini adalah salah satu hal yang menarik yaitu masalah pembiayaan, di tengah normalisasi stabilitas pemulihan ekonomi rakyat akibat terdampak pandemi dan utang yang mencapai Rp6.687,28 triliun per Oktober 2021, ternyata pemerintah masih bertekad untuk memindahkan IKN yang diperkirakan mengalami kenaikan anggaran, sebagaimana dikutip dari Mediaindonesia.com.(9/10/2021) dari awalnya Rp490 triliun menjadi Rp1.470 triliun.

Dengan utang yang melambung dan biaya yang tidak sedikit, maka bisa dipastikan bahwa skema pembiayaan pembangunan IKN ini akan ditopang oleh swasta atau investor asing. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa kontribusi APBN akan difokuskan pada penyediaan kebutuhan dasar pemerintahan, semisal Istana Negara, pangkalan militer, kompleks diplomatik, rumah dinas ASN/TNI/Polri,akses jalan, drainase, dan sanitasi. Sementara itu, untuk infrastruktur yang jauh lebih besar, seperti pendidikan, kesehatan, bandara, pelabuhan, perumahan umum, perguruan tinggi, dan sarana perbelanjaan akan dibiayai secara kolaboratif dengan swasta melalui skema KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha) ataupun murni swasta, termasuk menggunakan asset pemerintah. ( medcom.id, 20/1/2022)

Dari awal sejak digulirkan wacana pemindahan IKN memang sudah menuai kritik dari kalangan masyarakat hingga akademisi. Berbagai alasan yang dkemukan oleh pemerintah tidak cukup menjawab pertanyaan dari masyarakat. Seberapa urgennya hingga harus memindahkan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Belum terjawab tuntas, datanglah wabah Covid-19 yang bukan hanya melumpuhkan perekonomian di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan untuk menangani pandemi ini, meskipun pemerintah mendapat bantuan logistik berupa obat-obatan dan alat kesehatan tetapi pemerintah tetap juga berutang untuk menutupi pembiayaan lain yang membengkak.

Maka, cukup menjadi tanda tanya, dengan apa membiayai megaproyek pemindahan IKN ini jika utang yang ada belum terbayarkan. Bahkan megaproyek ini dapat memperlemah upaya penanganan Covid-19 dikarenakan APBN pun ikut menanggung beban. Dan memang dalam UU IKN tertuang bahwa skema pembiayaan ini dari APBN meskipun juga tak lepas dari peran swasta, dimana dalam pembangunan proyek-proyek masih tergantung pada swasta ataupun dalam bentuk kerja sama.

Pemerintah seolah tutup mata, bahwa pembangunan yang ditopang oleh swasta pada dasarnya utang jangka panjang yang nantinya akan dibayar oleh rakyat melalui pajak dan penghapusan subsidi yang selama ini diberikan kepada masyarakat golongan tertentu. Maka, ketika swasta menguasai pembangunan infrastruktur, posisi tawar pemerintah menjadi lemah dikarenakan secara finansial tergantung kepada kapitalis yang membuat kedaulatan berada di tangan mereka. Dan kebijakan yang keluar pada akhirnya adalah untuk kepentingan swasta atau para kapitalis. Pemerintah tak ubahnya hanya sebagai regulator dari kepentingan mereka. Inilah sistem kapitalisme, dimana penguasa sesungguhnya adalah para pemilik modal.

Maka, akan dilihat bagaimana proyek-proyek pembangunan yang ada memang pada dasarnya adalah untuk kepentingan para kapitalis. Semakin terungkap untuk siapa sebenarnya kebijakan ini, dan kepentingan siapa. Pemerintah memang serius dalam pemindahan IKN, tetapi serius untuk kepentingan kapitalis dan bukan untuk rakyatnya.

Dan jika dibandingkan dengan system Islam tentulah sangat jauh berbeda. Islam bukan hanya berbicara tentang tatanan beribadah saja tetapi juga dalam perkara yang lain, karena Islam adalah solusi atas problematika umat manusia. Terkait dengan pemindahan ibu kota negara, sejarah mencatat bahwa ini pernah terjadi dalam beberapa kali di masa Kekhilafahan. Artinya, perpindahan IKN bukanlah hal yang terlarang atau haram, tetapi boleh saja untuk dilakukan sepanjang pembiayaan yang ada memang berasal dari kas sendiri.

Dalam sistem pengaturan keuangan Islam, maka pos-pos pemasukan dan pengeluaran jelas darimana sumbernya. Di dalam kitab Al Amwal fii Daulah Al Khilafah karya Syaikh Abdul Qodim Zallum dijelaskan bahwa pembiayaan pembangunan infrastruktur akan bersumber dari proteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak dan gas bumi, termasuk batu bara dan barang mineral lainnya yang bernilai ekonomis. Di mana pengelolaannya dilakukan oleh negara dan hasilnya untuk rakyat, dan negara boleh menjual ke luar negeri jika pemenuhan kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi dan hasil penjualan akan masuk ke dalam Baitul Mal yang nantinya akan dipakai untuk kemaslahatan masyarakat.

Selanjutnya adalah dharibah, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim, laki-laki dan mampu. Sifatnya tidak tetap, diambil di saat Baitul Mal dalam keadaan tidak ada dana atau tidak mencukupi. Jika Baitul Mal sudah tercukupi dananya, maka dharibah ini akan dihentikan. Oleh karena itu, kemandirian dalam pembiayaan infrastruktur adalah sebuah keharusan, ini menjadikan negara mempunyai kedaulatan sendiri, tidak bisa didikte oleh negara lain. Maka, kembali ke dalam konsep Islam dalam menjalankan kehidupan bernegara adalah hal yang harusnya menjadi prioritas dalam kehidupan seorang muslim. Memandang bahwa permasalahan yang ada adalah permasalahan kita semua yang akan bisa terselesaikan hanya dengan syariat Islam dan pastinya akan membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh umat manusia, baik muslim ataupun nonmuslim.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Irma Ismail Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Tenaga Honorer Bernasib Horor
Next
Ayan, Bukan Penyakit yang Memalukan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram