"Sejatinya, umat muslim adalah umat yang cerdas dalam berpikir. Menyikapi segala sesuatu penuh pertimbangan baik dan buruknya, dari sisi akidah maupun nilai amalannya. Karena umat muslim telah diberikan aturan terbaik dalam kehidupan melalui hukum syarak."
Oleh. Desi Wulan Sari, M.Si.
NarasiPost.Com-Penyambutan tahun baru mengundang euforia tersendiri. Terlihat sebagian masyarakat tengah sibuk mempersiapkan datangnya pergantian tahun dengan cara mereka sendiri. Melihat kebiasaan orang Barat yang banyak diadopsi oleh masyarakat Indonesia, kerapkali mereka merayakannya dengan meledakkan kembang api, meniupkan terompet, menggunakan topi kerucut, ataupun memasak makanan khusus untuk menyambut tahun baru. Padahal semua itu membutuhkan persiapan dana yang tidak sedikit untuk mewujudkannya. Bahkan media-media pun banyak yang memberikan rekomendasi beberapa tempat, seperti Monas, Kota Tua, Bundaran Hotel Indonesia, Gelora Bung Karno, dan sebagainya untuk merayakan tahun barunya, seperti yang dilansir media Cnnindonesia.com (30/12/2021).
Jika perayaan yang bersifat euforia ini diadopsi oleh Barat, tentu bagi umat muslim sudah pasti bukanlah ajaran atau kebiasaan yang mesti ikut-ikutan dilakukan. Karena jika kita melihat secara jeli setiap perayaan umat beragama pasti memiliki makna religiusnya masing-masing, sehingga jika dilakukan bagi seluruh umat pasti tidak tepat adanya.
Perayaan tahun baru belakangan ini, kita akan banyak disuguhkan pada pemandangan pedagang terompet musiman dan berbondong-bondong pula, kalangan tua, muda, anak-anak muslim ikut antre membeli terompet untuk memeriahkaan tahun baru tersebut.
Sayangnya, banyak umat yang belum mengerti makna dari terompet tahun baru. Alangkah baiknya jika kita mau sejenak melihat ke belakang mengapa terompet dipilih untuk menyambut datangnya tahun baru? Awalnya, budaya meniup terompet ini adalah budaya masyarakat Yahudi. Bangsa mereka menyambut tahun baru berdasarkan pada sistem penanggalan mereka yaitu bulan Tisyri yang jatuh pada bulan tujuh. Sejak berkuasanya bangsa Romawi kuno atas mereka pada tahun 63 SM. Mereka merayakan pergantian tahun baru di bulan Januari, sejak saat itulah mereka mengikuti kalender Julian yang berubah menjadi kalender Masehi alias kalender Gregorian.
Adapun kebiasaan masyarakat Yahudi dalam berintropeksi diri, yakni dengan tradisi meniup serunai atau shofar atau sebuah alat musik sejenis terompet pada malam tahun baru. Bunyi shofar menyerupai bunyi terompet kertas yang digunakan masyarakat kita saat ini dalam merayakan tahun baru. Terompet adalah alat musik yang sudah ada sejak tahun 1500 SM. Alat musik terompet digunakan untuk militer dan keperluan ritual agama. Sehingga jelas bahwa terompet merupakan syiar dan simbol keagamaan mereka saat merayakan tahun baru.
Lantas, setelah mengetahui makna dari terompet dan euforia tahun baru tersebut, akankah umat akan terus melanjutkan tradisi kufar ini?
Umat muslim hari ini tengah berada di tengah-tengah putaran sistem yang menguasai negeri ini. Kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme adalah sistem buatan Barat yang disebarkan ke seluruh dunia agar manusia mengikuti pemikiran dan jalan hidup sesuai dengan cara mereka mejalaninya. Tak peduli agama apa pun seseorang, yang terpenting mereka mau ikut dalam sistem buatan mereka.
Maka, meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim adalah satu keharusan. Dengan lebih memperhatikan dan memperdalam tsaqofah, nafsiyah, dan meningkatkan kualitas seorang muslim agar mampu membentengi diri dan pemikirannya dari hantaman pemikiran luar yang ingin melemahkan syariat sebagai jalan hidup seorang muslim. Sehingga umat muslim menyadari, bahwasanya perayaan tahun baru Masehi itu adalah perayaan hari besar/ ibadah nonmuslim, maka hukumnya haram dilakukan bagi umat muslim. Jangan sampai toleransi ataupun pembalikan fakta dan kebenaran syariat dipermainkan oleh pemikiran kufur dengan alasan kebersamaan atau apa pun.
Menurut Imam Al-Suyuti (seorang ulama Syafi’i) mengatakan bahwa seorang muslim tidak sepantasnya menyerupai atau bertasyabbuh dengan orang kafir. Allah Swt berfirman: “Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui. ” (QS. Al Jasiyah, [18]).
Sejatinya, umat muslim adalah umat yang cerdas dalam berpikir. Menyikapi segala sesuatu penuh pertimbangan baik dan buruknya, dari sisi akidah maupun nilai amalannya. Karena umat muslim telah diberikan aturan terbaik dalam kehidupan melalui hukum syarak. Manusia hanya berharap, sebab meminta pertolongan kepada Allah Swt adalah keharusan dengan senantiasa memanjatkan doa agar dilindungi dalam setiap perbuatan, dan dijauhkan dari seluruh perbuatan yang dapat merusak keislaman.
Hanya sistem Islam Kaffah yang mampu melindungi umatnya dalam menjalani ketaatan dalam koridor syariat. Karena dengannya akan ada pemimpin umat muslim yang senantiasa melindungi dan mengingatkan rakyatnya untuk selalu berada dalam koridor ketaatan, bukan malah ikut-ikutan budaya lain yang bukan milik umat muslim.
Saatnya umat kembali kepada Islam Kaffah, dengan berislam sesuai yang diajarkan Rasulullah saw agar selamat dunia akhirat.Wallahua’lam bishawab. []