"Inilah dampak dari penerapan aturan ekonomi kapitalistik neoliberal. Sebuah sistem yang alih-alih memberi manfaat bagi rakyat, justru hanya mendatangkan kesengsaraan. Konsep ekonomi kapitalis telah menjadikan para korporasi swasta secara leluasa menguasai sumber daya energi dan tambang yang seharusnya dikelola negara demi kepentingan rakyatnya."
Oleh. Irma Faryanti
(Member Akademi Menulis Kreatif)
NarasiPost.Com-Kementerian Energi dan sumber Daya Mineral (ESDM) belum lama ini mengeluarkan keputusan berupa larangan ekspor bagi perusahaan batu bara. Melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, kebijakan tersebut ditetapkan untuk menyikapi ancaman krisis listrik yang akan dialami Indonesia akibat defisitnya pasokan batu bara. Bahkan ketersediaannya berada di bawah batas aman untuk menutupi kebutuhan 15 hari ke depan. Terhitung tanggal 1 hingga 31 Januari kebijakan tersebut akan diberlakukan.
Keputusan itu dianggap penting untuk menjamin stok pasokan kebutuhan batu bara domestik yang tengah berada diambang krisis. Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Trend Asia, Andi Prasetiyo. Adapun penyebab minimnya ketersediaan adalah karena perusahaan-perusahaan terkait abai akan kewajiban mereka dalam memasok kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Ketidakpatuhan tersebut mulai terjadi pada pertengahan tahun 2021, namun pemerintah lalai dalam menindaklanjuti hingga kasus serupa terus terjadi. Bahkan surat larangan ekspor bagi 34 perusahaan tidak juga membuat mereka menjadi patuh akan aturan.
Kurangnya pasokan batu bara di dalam negeri dikhawatirkan akan mengakibatkan 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memiliki daya 10.850 megawatt akan padam. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kelistrikan serta perekonomian nasional. Dari 137,5 juta ton yang ditargetkan pada tahun 2021, hanya 63,5 juta ton yang terpenuhi. Itupun hanya 85 perusahaan yang telah memenuhi DMO sebesar 25 persen. (Suara.com 5 Januari 2022)
Namun, bukan tanpa reaksi, keputusan larangan ekspor juga menimbulkan kekhawatiran dunia, karena secara otomatis kebijakan tersebut akan berpengaruh langsung pada ketahanan negeri negara-negara Asia Pasifik, seperti Cina, Jepang, India, serta Korea Selatan.
Inilah dampak dari penerapan aturan ekonomi kapitalistik neoliberal. Sebuah sistem yang alih-alih memberi manfaat bagi rakyat, justru hanya mendatangkan kesengsaraan. Konsep ekonomi kapitalis telah menjadikan para korporasi swasta secara leluasa menguasai sumber daya energi dan tambang yang seharusnya dikelola negara demi kepentingan rakyatnya. Negara tak ubahnya seperti pengawas korporasi untuk menjaga agar mereka tetap aman beroperasi.
Para pengayom kebijakan berdalih bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh pihak asing akan bersikap profesional dan dianggap menguntungkan karena membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Namun, faktanya hal tersebut hanyalah bualan semata, karena mereka tidak lebih hanya mengejar keuntungan bagi diri mereka sendiri dengan cara melakukan ekspor besar-besaran tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Inilah konsep kapitalisme yang sangat menitikberatkan segala sesuatu pada sudut pandang manfaat secara materi.
Tentu sangat jauh berbeda dengan Islam. Sistem ini telah menetapkan bahwa sejumlah sumber daya alam tidak dapat dimiliki oleh individu, melainkan milik seluruh masyarakat. Negara hanya berkewajiban untuk mengelolanya demi kepentingan rakyat. Kalaupun dibutuhkan adanya jasa individu ataupun perusahaan dalam pelaksanaannya, itu tidak lebih hanya sebuah service contract. Mereka sengaja diupah untuk keahliannya tersebut.
Jadi, bukan dengan konsesi ataupun bagi hasil, terlebih jika para kontraktor itu merasa ikut menjadi bagian dari pemilik barang tambang tersebut. Karena masalah kepemilikan umum tidak bisa dialihkan kepada siapa pun. Islam secara tegas telah menetapkan bahwa penguasaan terhadap barang-barang tambang yang melimpah dan berpengaruh pada kebutuhan hajat hidup orang banyak, tidak boleh dimiliki oleh individu.
Hal tersebut dibahas secara rinci oleh imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni. Beliau berpendapat bahwa semua barang tambang yang sifatnya tampak, seperti: air, sulfur, garam, ter, batu bara, yakut, minyak bumi dan yang semisal dengannya adalah milik umum yang tidak bisa dimiliki oleh individu atau diserahkan kuasanya pada siapa pun.
Terkait masalah kepemilikan, syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya an Nidzam al Iqtishadi fil Islam mengungkapkan bahwa kepemilikan hakikatnya terbagi tiga, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan publik dan kepemilikan negara. Khusus terkait kepemilikan publik ditetapkan bahwa seluruh kekayaan yang telah diperuntukan bagi kaum muslim maka semua individu diperbolehkan menggunakannya dan mengambil manfaat darinya, tetapi tidak diperkenankan untuk memilikinya secara pribadi.
Ketidakbolehan ini tampak pada saat Rasulullah menarik kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal. Hal ini tercantum dalam HR Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasai, Ibnu Hibban, al Baihaqy dan ath Thabarani. Pada saat itu ada seorang laki-laki dari majelis yang bernama Ibnu Mutawakkil berkata pada Rasulullah:
"Apakah anda tahu apa yang anda berikan kepada dia? Tidak lain anda memberi dia air yang terus mengalir."
Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari Abyadh bin Hamal.
Demikianlah kesempurnaan hukum Islam. Ketetapan syariat mampu memberi solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan. Tentu semua ini akan terlaksana sempurna dalam naungan sebuah sistem pemerintahan Islam. Institusi yang akan memberi pengayoman menyeluruh dengan diberlakukannya aturan Islam secara sempurna.
Wallahu a'lam Bishawwab[]