"Negara-negara Barat maupun Timur memiliki motif untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Afganistan. Inilah fakta yang terjadi hari ini. Negara-negara besar dalam naungan kapitalis memperebutkan sumber daya alam yang melimpah yang ada di 'negara-negara pengekor'.
Oleh. Zidniy Ilma
NarasiPost.Com-Pada Selasa lalu, PBB menyampaikan bahwa saat ini ada sekitar 22 juta orang yang merupakan lebih dari setengah populasi Afganistan menghadapi kelaparan akut. Banyak dari mereka yang tidak memiliki makanan sama sekali untuk dimakan. Untuk mencegah bencana kemanusiaan dibutuhkan bantuan hampir USD 5 miliar. Sedangkan di sisi lain, lembaga keuangan internasional telah menghentikan bantuan dana untuk Afganistan. Hal ini berdampak pada hampir runtuhnya sistem perekonomian Afganistan yang rapuh akibat dari peperangan dan pendudukan selama puluhan tahun. (Merdeka.com)
Kesengsaraan yang Dialami Penduduk Afghanistan
Masih dilansir dari media yang sama, salah seorang ibu rumah tangga (32 tahun) bernama Zaigul yang tinggal di kamp Nasaji (kamp untuk pengungsi dalam negeri) yang berada di dekat ibu kota Kabul menjelaskan bahwa sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus lalu, hidup memang telah sulit. Sebelumnya Zaigul bekerja sebagai PRT. Sedangkan suaminya, Nasir, bekerja sebagai buruh bangunan. Keduanya bekerja untuk menyambung hidup, sekaligus menghidupi tujuh orang anak mereka. Namun, kini mereka tidak lagi bekerja. Afganistan dihantam oleh krisis ekonomi yang tidak terbayangkan semenjak Taliban berkuasa. Para pegawai negeri tidak digaji selama berbulan-bulan, bahkan bank-bank sampai kehabisan uang tunai.
Diberhentikan dari pekerjaan nyatanya tidak hanya dialami oleh Zaigul dan suaminya. Begitu banyak pasangan lainnya yang mengalami hal serupa. Hal ini diakibatkan karena krisis ekonomi yang terjadi. Sehingga banyak proyek bangunan yang dihentikan serta banyak keluarga yang tidak mampu lagi untuk membayar gaji PRT. Akibatnya, banyak pasangan suami istri yang kini menganggur. Tak heran jika banyak yang mengalami kelaparan. Hal inilah yang menjadi pemicu para keluarga mengantre pembagian roti gratis di sebuah toko kue di ibu kota Kabul. Namun, toko kue tersebut kini mengeluhkan kurangnya pasokan makanan, "Orang sudah kehilangan pekerjaan dan mereka tidak punya pendapatan. Kami biasanya memakai empat karung tepung, tapi sekarang hanya 1,5 karung."
Banyak penduduk Afganistan yang selama ini hanya bergantung pada sumbangan untuk bertahan hidup. Seperti salah seorang janda dengan enam orang anak yang mengatakan, "Amal dari orang-orang sangatlah membantu. Tapi sekarang tidak ada dan saya paham, karena banyak orang-orang kini pengangguran."
Selain masalah ekonomi, kaum perempuan juga mengalami pembatasan mengenyam pendidikan. Pasalnya, semenjak Taliban berkuasa, kelompok tersebut menutup sekolah dasar dan melarang perempuan kuliah di banyak provinsi.
Perebutan Sumber Daya Alam oleh Negara Kapitalis
Afganistan sejatinya memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Namun, kini negeri tersebut justru dijuluki dengan negeri seribu satu masalah. Permasalahan yang ada di Afganistan dipastikan sulit dihentikan. Bahkan yang ada, kian hari kian mencekik. Padahal potensi kekayaan alam Afganistan jika dikelola dengan benar akan membuat negara ini menjadi salah satu negara kaya. Sangat disayangkan, justru penduduk asli Afganistan sendiri yang mengalami kesulitan hidup selama ini.
Setelah Amerika Serikat 'mundur cantik' dan Taliban berkuasa, tidak lantas membuat Afganistan menghela napas menikmati kekayaan negerinya. Justru keadaan semakin memburuk. Afganistan menjadi incaran negara kapitalis lainnya, seperti Cina dan Rusia. Pada bulan Juli lalu, Kota Beijing sendiri telah menjangkau kepemimpinan Taliban. Hal ini dilakukan jauh sebelum runtuhnya pemerintahan yang didukung AS. Serta menjadi salah satu kekuatan besar yang tetap membuka kedutaannya di Ibu Kota Afghlanistan. (radarsukabumi.com). Begitu pula dengan Rusia, Iran, dan Pakistan yang telah membuka kedutaan mereka dan berkomunikasi langsung dengan perwakilan Taliban.
Negara-negara Barat maupun Timur memiliki motif untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Afganistan. Inilah fakta yang terjadi hari ini. Negara-negara besar dalam naungan kapitalis memperebutkan sumber daya alam yang melimpah yang ada di 'negara-negara pengekor'. Fakta semacam ini tidak hanya terjadi di Afganistan, melainkan juga di India, Arab Saudi, bahkan di negara kita sendiri yakni Indonesia. Sudah menjadi pemandangan yang biasa, adanya intervensi asing yang mengeruk kekayaan alam negeri kita.
Syariat Islam Harus Diterapkan Secara Keseluruhan, Bukan Setengah-setengah
Semenjak Taliban menguasai Afganistan, pemerintahannya mulai memberlakukan sebagian hukum-hukum Islam. Di antaranya hukum potong tangan-kaki, hukum cambuk, serta hukum tembak mati bagi pembunuh. Hal ini dilakukan agar penduduk Afganistan tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Benar saja, penduduk Afganistan memang tidak ada yang berani melakukan kejahatan, namun di sisi lain sumber daya alam Afganistan dikeruk habis oleh imperialis Barat serta Timur dan mengakibatkan krisis kelaparan.
Tentu kita masih ingat perjanjian damai antara Taliban dan AS yang ditandatangani pada 29 Februari 2020 di Doha, Qatar. Poin paling penting yang tercantum dalam perjanjian tersebut adalah Taliban tidak boleh menggunakan tanah Afganistan untuk menyerang keamanan AS dan sekutunya. Sebagai gantinya, AS menjamin akan menarik semua pasukannya dari Afganistan. Lantas, benarkah AS telah benar-benar keluar dari Afganistan? Atau mungkin AS hanya bertranformasi mengubah penjajahan fisik menjadi penjajahan ekonomi dan politik?
Sejatinya syariat Islam tidak akan bisa bertahan jika diterapkan setengah-setengah. Taliban lambat laun akan menarik kembali hukum Islam yang diberlakukannya, mengingat tak sedikit kedutaan asing yang bercokol di sana. Perang fisik memang telah berakhir, namun seharusnya Taliban dan penduduk Afganistan khususnya lebih melek dengan perang ekonomi dan politik yang kini sedang mengancam mereka.
Taliban seharusnya bisa lebih tegas terhadap imperialis Barat dan Timur. Melepaskan diri dari kungkungan asing dan mendeklarasikan bahwa negaranya merupakan negara Islam (khilafah). Menerapkan syariat Islam secara kaffah atau keseluruhan. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam kaffah di bawah naungan khilafah lah Afghanistan akan sepenuhnya keluar dari seribu satu masalahnya. Seorang khalifah akan menjaga dan melindungi kekayaan sumber daya alam di wilayahnya dan mereka dipastikan terbebas dari eksploitasi negara-negara kapitalis yang serakah. Jika ini dilakukan, maka Afganistan tentu tidak akan mengalami krisis ekonomi dan masalah-masalah lainnya. Pun setelahnya, pasti akan banyak negara-negara lain, khususnya negeri-negeri muslim yang berbondong-bondong mengantre untuk jadi bagian dari negara khilafah. Karena sejarah telah membuktikan bahwa hanya khilafahlah yang mampu menyejahterakan rakyat dalam naungannya selama 1300 tahun lamanya.[]