RUU TPKS Bukan Solusi Kekerasan Seksual

Selain itu, diakui atau tidak bahwa maraknya kekerasan seksual berasal dari gaya hidup liberal sebagai buah diterapkannya sistem kapitalisme-liberal.

Oleh. Sri Retno Ningrum
(Penulis Ideologis)

NarasiPost.Com-Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang guru di Bandung bernama Herry Wirawan terhadap belasan orang santrinya membuat wakil ketua komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengaku geram. Sahroni pun mendesak agar pelaku dihukum seberat-beratnya dan para korban diberikan konseling yang tentunya sangat dibutuhkan. Lebih jauh lagi, Sahroni sangat antusias dengan draf Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang dibawa ke paripurna DPR kemudian dibahas bersama DPR dan Pemerintah (Sindonews.10/12/2021).

Di sisi lain, banyak organisasi Islam yang berada dalam naungan Majelis Ormas Islam (MOI) meminta agar DPR tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut, sebab masih ada beberapa hal yang kontroversial. Selain itu, MOI masih mempersoalkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 karena masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Dalam paradigma itu, yang dipersoalkan dalam kasus seksual hanyalah yang dilakukan tanpa persetujuan para pelakunya. Sehingga jika dilakukan suka sama suka, maka tidak perlu dipersoalkan (Hidayatullah.com 9/12/2021).

Apabila kita mengamati RUU TPKS ternyata ada pihak yang menginginkan RUU itu segera disahkan menjadi UU TPKS, Namun di sisi lain ada pihak yang meminta agar pemerintah tidak terburu-buru untuk mengesahkan RUU TPKS.

Tentu tak bisa dimungkiri bahwa RUU TPKS masih ada diksi yang tetap dipertahankan, seperti: kekerasan seksual, secara paksa, keinginan seksual, pemaksaan hubungan seksual, dan pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi. Sebagaimana pasal 1, 4, 5, 6, 7, dan 8. Apabila kita simpulkan bahwa jika aktivitas seksual dilakukan tanpa paksaan dan didasari oleh rasa suka sama suka, maka tidak masalah meskipun jika aktivitas seksual dilakukan kedua belah pihak belum menikah. Maka jelas dari konten yang terdapat dalam pasal tersebut telah melegalkan perbuatan zina. Padahal, bukankah Allah Swt. telah melarang perbuatan zina? Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Isra ayat 32:

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗ

Artinya : "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah sumber perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Sungguh, RUU TPKS adalah rancangan UU yang dibangun berdasarkan paradigma yang liberal dan mengambil penyelesaian masalah kekerasan seksual sesuai arahan kaum feminis. Tujuan feminisme sendiri adalah membebaskan manusia dari keterkungkungan, kemiskinan, ketertindasan dan ketertinggalan. Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka mengusung ide kesetaraan gender untuk menyelesaikan masalah perempuan . Mereka juga gencar melakukan opini feminisme dan liberalisme hingga level bawah, termasuk melalui kurikulum pendidikan hingga mendorong DPR melegalkan UU seperti UU bermuatan gender dan anti syariat. Walhasil RUU TPKS merupakan solusi yang berasal dari kaum feminisme untuk menyelesaikan kekerasan seksual.

Selain itu, diakui atau tidak bahwa maraknya kekerasan seksual berasal dari gaya hidup liberal sebagai buah diterapkannya sistem kapitalisme-liberal. Sistem tersebut membebaskan manusia untuk bertindak apa saja atau berekspresi meskipun merugikan orang lain. Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang memandang bahwa ketika manusia bertindak harus terikat dengan aturan Sang Pencipta yakni Allah Swt.

Dalam terminologi bahasa Arab kontemporer, kekerasan seksual dikenal dengan istilah “at- taharrusy al-jinsi” secara etimologi at-taharrusy bermakna menggelorakan permusuhan (at-tahyiij), berbuat kerusakan (al-ifsad) dan menimbulkan kerusakan, kebencian dan permusuhan (al-igra’), sedangkan secara terminologi adalah setiap ungkapan dan tindakan seksual yang digunakan untuk menyerang dan mengganggu pihak lain. Nabi saw. bersabda dalam beberapa hadis. Di antaranya dari HR. At-Tabrani, Rijaluluhu Tsiqatun, Nabi saw bersabda, ”Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya.” Mufti Mesir, Syauqi Ibrahim Allam juga menyatakan, “Kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar, dan tindakan yang paling keji dan buruk dalam pandangan syariat. Kekerasan seksual hanya lahir dari jiwa-jiwa yang sakit dan birahi rendahan, sehingga keinginannya hanya menghamburkan syahwat dengan cara binatang, di luar nalar logis dan nalar kemanusiaan.”

Untuk itu, sudah selayaknya kita menginginkan solusi sahih untuk mengatasi kekerasan seksual. Yakni, dengan menerapkan sistem Islam atau Khilafah. Dengan Khilafah niscaya mampu mewujudkan individu takwa, lingkungan yang peduli terhadap perempuan dan menutup semua peluang terjadinya kekerasan seksual karena diterapkannya sistem pergaulan Islam dalam kehidupan masyarakat. Berikut ini tata cara pergaulan dalam sistem Islam yakni larangan ikhtilat atau campur baur dengan lawan jenis,
larangan khalwat atau berdua-duaan tanpa didampingi mahram, larangan safar lebih dari 24 jam tanpa didampingi mahram, larangan tabarruj atau berdandan berlebih-lebihan, wajib untuk menutup aurat di hadapan selain mahramnya.

Dengan cara seperti itu, Insyaallah individu muslim akan terhindar dari kekerasan seksual. Tak hanya itu, negara juga akan mengontrol dan mengawasi masuknya media yang tidak sesuai dengan syariat. Begitu pun masyarakat ikut berperan menciptakan lingkungan yang islami dengan terus berdakwah antara sesama individu yang lain.

Begitulah sistem pergaulan dalam Islam yang pernah diterapkan negara Islam atau Khilafah selama 1300 tahun. Adapun sanksi bagi orang yang berzina, pezina yang belum menikah (ghair muhsan) dijilid 100 kali cambukan. Sedangkan, pezina muhsan dirajam hingga mati (sistem sanksi dalam Islam, Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, halaman 29).

Lebih dari itu, marilah kita melirik sistem Islam atau Khilafah untuk mengatasi kekerasan seksual bukan mengambil sistem kapitalis-liberal sebagai solusi kekerasan seksual. Karena sejatinya, solusi yang diberikan dalam sistem tersebut malah menjerumuskan umat pada kemaksiatan.
Wallau’alam bisshowab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sri Retno Ningrum Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kebiri Kimia Mencuat Kembali, Akankah Pelecehan Seksual Terkendali?
Next
Halima Aden dan Doktrin Kecantikan Perempuan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram