Inilah fakta yang terjadi saat sistem kapitalisme menjadi pandangan hidup masyarakat dan negara. Hidup hedonis, materialistis serta menghalalkan segala cara tak lagi asing dijumpai, meski telah ada sanksi hukum yang diberlakukan negara, nyatanya tak membuat pelaku jera. Oleh karena itu, sistem kapitalisme jelas telah mengebiri kewibawaan negara dalam mengawasi kinerja aparatnya.
Oleh. Ai Siti Nuraeni
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Tanggal 6 Desember 2021 menjadi saksi bahwa pemerintah Kabupaten Bandung tengah berupaya mewujudkan birokrasi yang bersih. Hal itu ditandai dengan diselenggarakannya acara Sosialisasi Sapu Bersih (Saber) yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan aparat negara dalam tugasnya mengayomi dan mengurusi persoalan masyarakat.
Adapun birokrasi yang bersih itu salah satunya ditandai dengan tidak adanya kasus pungli (pungutan liar) oleh aparat negara. Untuk memberantas kasus pungli, Bupati Bandung, Dadang Supriatna, meminta masyarakat agar berani melaporkan jika ditemukan praktik pungli. Para pelaku akan dikenai sanksi tegas berupa, pemberian SP (Surat Peringatan) satu, penundaan kenaikan pangkat satu tahun hingga pemecatan secara tidak hormat.
Acara tersebut juga menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mengedukasi aparat dan masyarakat agar bekerja sama memberantas pungli. Demi melancarakan investor menanamkan modalnya, diharapkan mekanisme ini bisa menjadi solusi bagi daerah untuk menumbuhkan kembali perekonomian yang lesu akibat pandemi. (Portalbandungtimur.pikiran-rakyat.com, 6/12/2021)
Persoalan pungli bukanlah hal baru bahkan sebagian masyarakat telah menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa dan sulit untuk dihindari. Dalam pengurusan surat kependudukan misalnya, mereka sering menjumpai "oknum" pegawai yang meminta biaya operasional. Jika tidak dipenuhi masyarakat harus bersiap urusan mereka dipersulit atau tidak diprioritaskan. Maka dari itu, sulit bagi mereka untuk menolak pungli ini. Fakta ini menunjukkan "borok" yang memalukan dari kinerja aparat dalam pemerintahan akibat sistem yang mengagungkan keuntungan, bukan kemaslahatan. Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tampaknya tidak berhasil menghapus pungli, korupsi atau kasus gratifikasi di negeri ini. Karena semakin banyak operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan semakin terlihat banyak pula aparat yang tidak amanah dengan jabatannya. Maka, bukannya semakin percaya, rakyat malah semakin dibuat kecewa dengan para pejabat tersebut.
Inilah fakta yang terjadi saat sistem kapitalisme menjadi pandangan hidup masyarakat dan negara. Hidup hedonis, materialistis serta menghalalkan segala cara tak lagi asing dijumpai, meski telah ada sanksi hukum yang diberlakukan negara, nyatanya tak membuat pelaku jera. Oleh karena itu, sistem kapitalisme jelas telah mengebiri kewibawaan negara dalam mengawasi kinerja aparatnya.
Berbeda halnya jika negara mau menerapkan Islam kaffah untuk mewujudkannya. Dalam Islam, pungli adalah sebuah dosa besar menurut para ulama. Imam an-Nawawi bahkan menyebutnya sebagai perbuatan dosa yang paling jelek karena menyusahkan dan menzalimi orang lain. Satu suara dengan pendapat tersebut, Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul al-Kabaair. Dalam kitab tersebut, Imam adz-Dzahabi menyebut orang yang melakukan pungutan liar mirip dengan perampok jalanan bahkan lebih jahat daripada pencuri. Orang yang mengambil pungutan liar, pencatat, dan pemungutnya, semuanya bersekutu dalam dosa dan mereka semua sama-sama pemakan harta haram.
Adapun Islam yang sempurna memiliki solusi preventif dan kuratif dalam mencegah dan menghukum pelaku pungli agar pelaku jera dan masyarakat takut untuk melakukan kesalahan yang sama. Solusinya antara lain sebagai berikut:
Pertama, mewujudkan sosok pemimpin beriman yang memiliki kepribadian Islam, jujur dan amanah yang bisa menjadi teladan. Dengan keimanannya tersebut pemimpin dalam Islam akan selalu merasa dilihat oleh Allah Swt. sehingga tidak akan berani melakukan kemaksiatan seperti pungli.
Kedua, pemberian gaji yang layak pada pegawai pemerintah yang mencukupi kebutuhannya. Adapun kebutuhan primer seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan akan ditanggung oleh negara dengan pembiayaan dari Baitul Maal.
Ketiga, adanya penghitungan kekayaan secara berkala kepada para aparat negara, jika ada kenaikan harta yang tidak wajar aparat itu harus bisa memberikan bukti bahwa hartanya didapat dengan cara yang benar, bukan dengan memanfaatkan jabatannya.
Keempat, pemberlakuan ta'zir atau hukuman yang diputuskan oleh hakim dalam sistem Islam, baik berupa tasyhir (diarak atau diumumkan di media), disita hartanya, dipenjara bahkan bisa dihukum mati.
Dengan keempat cara tersebut, birokrasi yang bersih dan bebas pungli bisa diwujudkan. Sayangnya semua solusi ini tidak bisa diterapkan kecuali jika Islam yang menjadi pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Karena, hanya ketaatan manusia berupa penerapan syariat Islam dalam kehidupanlah yang akan membawa pada kemenangan sejati.
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. Dengan begitu, niscaya semua yang kalian lakukan hasilnya akan menjadi baik dan dosa-dosa kalian akan diampuni Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh kemenangan yang sangat besar.” (TQS. Al Ahzab:70-71)
Wallaahu a'lam.[]