"Bukan kali ini saja terjadi pro dan kontra pada penerapan hukuman mati di negeri demokrasi. Sebelumnya, bergulir hukuman mati bagi tikus-tikus berdasi , entah bagaimana eksekusinya. Meski diketahui hukuman mati diakui dalam perundang-undangan di negeri ini, namun penerapannya masih tebang pilih."
Oleh. Eni Imami, S.Si
(Pendidik, Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual di negeri ini belum mendapat hukuman setimpal. Tak heran jika kasusnya terus berulang dan kian meningkat. Namun, ketika hukuman mati diajukan, timbul polemik antara menjerakan dan komitmen penegakan hak asasi manusia (HAM). Begitulah jika hukum sekuler yang diterapkan, selalu memunculkan perdebatan bukan tuntas menyelesaikan persoalan.
Pro-Kontra Hukuman Mati
Kasus Herry Wirawan memerkosa tiga belas santriwatinya hingga hamil dan melahirkan, dituntut hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat. Menurutnya, ini merupakan bentuk komitmen untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Selain itu, jaksa juga menambahkan sanksi berupa denda Rp500 juta dan biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta. Serta sanksi nonmaterial berupa penyebaran identitas terdakwa dan hukuman kebiri kimia. (tirto.id, 13/1/2022)
Tuntutan tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak. Menurut KemenPPPA, itu merupakan hukuman maksimal bagi Herry Wirawan. Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa'adi, juga memberikan dukungan atas tuntutan hukuman mati sekaligus kebiri pada Herry Wirawan. Zainut menilai hukuman tersebut dapat memberikan efek jera pada Herry Wirawan dan pelaku pelecehan seksual lainnya. (cnnindonesia.com, 12/1/2022)
Namun, hukuman mati tersebut ditolak Komnas HAM karena dinilai bertentangan dengan prinsip HAM. Komisioner Komnas HAM, Beka Hapsara, menyatakan bahwa Komnas HAM menentang pemberlakuan hukuman mati untuk kejahatan apa pun, termasuk kekerasan seksual. Ia menegaskan bahwa hak hidup dalam HAM adalah salah satu hal yang paling mendasar. Hak tersebut tidak bisa dikurangi dalam situasi apa pun ( non derogable rights). (nasional.tempo.co, 13/1/2022)
Bukan kali ini saja terjadi pro dan kontra pada penerapan hukuman mati di negeri demokrasi. Sebelumnya, bergulir hukuman mati bagi tikus-tikus berdasi , entah bagaimana eksekusinya. Meski diketahui hukuman mati diakui dalam perundang-undangan di negeri ini, namun penerapannya masih tebang pilih. Jika pada kasus terorisme hukuman mati menjadi mutlak harus segera dieksekusi, bahkan pada pelaku yang statusnya masih terduga. Namun, pada kasus lain, hukuman mati dibenturkan dengan HAM dan dianggap menyalahi hak hidup orang.
Inilah bukti cacatnya hukum dalam sistem demokrasi sekuler. Kebebasan berpendapat menjadikan hukum dapat ditarik ulur sesuai kepentingan. HAM dijunjung tinggi meski menerjang hukum Ilahi. Yang benar bisa menjadi salah, sebaliknya yang salah bisa menjadi benar, karena hukum dapat diperjualbelikan. Semuanya demi uang, moralitas diabaikan, dan agama dibuang dari kehidupan.
Hak Siapa Menetapkan Hukum?
Mengembalikan segala persoalan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya adalah kewajiban kaum mukmin. Allah Swt telah menurunkan seperangkat syariat Islam sebagai solusi dan pengatur urusan manusia. Allah Swt tidak punya kepentingan apa pun dengan syariat-Nya selain demi kemaslahatan manusia. Sebaliknya, aturan buatan manusia sarat kepentingan dan dipengaruhi oleh hawa nafsu.
Mahabenar Allah Yang berfirman, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain hukum Allah Swt bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah: 50). Allah juga telah menegaskan dalam Qs. Yusuf ayat 40, bahwa pembuat hukum hanyalah milik Allah Swt.
Maka, sedikit pun manusia tidak memiliki hak membuat hukum. Jika itu dilakukan, tidak ubahnya ia menyaingi Allah Swt, padahal manusia adalah ciptaan Allah yang seharusnya tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Saat ini, dalam sistem demokrasi sekuler, manusia berdaulat menetapkan hukum. Hukum dibuat berdasarkan akal pikiran manusia yang notabene lemah. Disepakati berdasarkan suara terbanyak dan disahkan untuk dipatuhi oleh seluruh manusia. Jika di kemudian hari dirasa tidak sesuai, dengan mudahnya hukum akan direvisi berkali-kali.
Hukum Islam sebagai Jawabir dan Jawazir
Sistem hukum Islam sangat jelas mendeskripsikan perbuatan apa saja yang termasuk kejahatan (jarimah) beserta sanksinya ('uqubat). Diterapkan berdasarkan hukum syarak, tidak boleh ada yang keberatan, naik banding, maupun kasasi. Sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Dengan itu, manusia dapat tertahan dari tindakan kejahatan, pada saat yang sama sanksi tersebut akan menebus dosanya di akhirat. Penegakan sanksi tersebut dilakukan oleh kepala negara (Khalifah) atau orang yang mewakilinya (Qadhi).
Muhammad Husain Abdullah di dalam kitabnya Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, menjelaskan jenis-jenis 'uqubat dalam Islam ada tiga, yakni hudud, jinayat, dan ta'zir. Hudud adalah sanksi terhadap suatu kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syariat guna mencegah seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan yang serupa. Ada tujuh jenis kemaksiatan yang dijatuhi hudud yakni; zina, homoseksual (liwath), menuduh zina (qadzaf), minum khamr, murtad, hirabah (meliputi bughat pembangkangan terhadap negara), dan mencuri.
Jinayat yakni penganiayaan atas badan yang mewajibkan adanya qishash atau sanksi (denda) berupa harta. Yang termasuk dalam jinayat berupa kejahatan pembunuhan baik disengaja maupun tidak. Adapun ta'zir yakni hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan dalam hudud dan jinayat. Ta'zir diserahkan kepada Khalifah atau Qadhi berdasarkan ijtihadnya.
Terkait kasus kejahatan seksual, maka masuk dalam jenis hudud sebagaimana penjelasan di atas. Jika yang dilakukan merupakan perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina. Jika pelakunya telah menikah (muhshan), maka dirajam sampai mati. Sementara, jika pelakunya belum menikah (ghayr muhshan), maka dijilid dengan seratus kali dera.
Allah Swt. berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS An-Nur: 2)
Sementara, bagi pelaku pencabulan, pelanggaran terhadap kehormatan, dan pelanggaran terhadap diri, hukumannya adalah ta'zir. Hukuman ta'zir diserahkan kepada penguasa atau hakim yang pidananya boleh sama dengan sanksi dalam hudud dan jinayat atau lebih rendah, tetapi tidak boleh melebihi dari keduanya.
Dengan perincian tersebut, manusia tidak perlu bingung membuat hukum. Tidak perlu tarik ulur dengan pertimbangan HAM. Karena hukum Allah Swt pasti bersifat manusiawi dan memberikan kebaikan bagi seluruh manusia. Manusia tinggal menerapkan, tunduk dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Hukum Islam menyelesaikan masalah tanpa mengundang masalah baru. Namun, jangan berharap hukum ini akan dilaksanakan oleh negara dalam sistem demokrasi sekuler. Hukum Islam hanya dapat diterapkan dalam negara dengan sistem Islam. Wallahu a'lam.[]