Perdagangan Anak Subur di Sistem Kapitalisme

"Meski dunia telah sadar akan bahaya perdagangan anak, yang kemudian banyak merumuskan konvensi-konvensi internasional seperti International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children tahun 1921, dan CEDAW pada tahun 1979, namun semua upaya mereka ternyata menuju kegagalan. Sebab penyelesaian yang mereka tawarkan hanya berputar pada penanganan masalah, namun membiarkan faktor utama masalah yakni, kapitalisme tetap ada."

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPos.Com)

NarasiPost.Com-Permasalahan anak selalu menjadi topik hangat yang dibincangkan oleh khalayak. Namun, kali ini perbincangan mengenai anak bukanlah tentang prestasinya atau kenakalannya, tetapi soal kasus yang marak menimpa mereka, yakni perdagangan anak. Ya, seolah tak habis permasalahan yang menimpa anak negeri, mulai dari kekerasan seksual, eksploitasi, bahkan human trafficking pun juga dialami oleh anak-anak. Inilah masa di mana anak dipandang hanya sebagai komoditas belaka.

Kenyataan bahwa anak telah dipandang sebagai objek dikuatkan dengan adanya kasus perdagangan anak. Hal ini sebagaimana yang diwartakan oleh nasional.sindonews.com, 02/11/2021. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (PPPA), menyatakan bahwa eksploitasi dan perdagangan anak meningkat selama tahun 2021.
Sebelumnya pada tahun 2020, kasus perdagangan anak menginjak angka 213, namun pada akhir 2021 telah ditemukan sebesar 256 anak dilaporkan menjadi korban trafficking. Itu pun terhalang oleh pandemi hingga pelaporan tidaklah maksimal. Disinyalir masih banyak korban yang enggan melapor pada pihak berwenang.

Tentu publik tidak lupa, kejadian di Penjaringan-Jakarta 2020 lalu, setidaknya sepuluh anak berusia di antara 14-18 tahun dipaksa melayani pengunjung tempat hiburan berkedok kafe. Begitu pula yang terjadi di Hotel Alona, milik salah satu artis tanah air. Menjadikan hotel sebagai kedok, namun sejatinya adalah prostitusi terselubung yang pegawainya adalah anak-anak di bawah umur.

Mirisnya, setiap tahun kasus serupa terjadi, dan ditangani oleh pihak berwajib, bahkan pelaku dan sindikatnya dijerat hukum, namun mengapa permasalahan ini tidak surut bahkan hilang? Dan apa alasan di balik banyaknya perdagangan anak?

Kemiskinan Struktural

Banyaknya kasus penjualan anak untuk dijadikan pekerja seks komersial, atau pun eksploitasi oleh orang yang tidak bertanggung jawab, sejatinya bersumber pada permasalah ekonomi yang ambruk. Kemiskinan di Indonesia terus meningkat meski klaim pemerintah telah berhasil mengurangi angka kemiskinan. Apalagi ditambah dengan adanya pandemi yang berkepanjangan, berimbas pada ekonomi rakyat yang semakin sulit.

Lucunya, bangsa ini berbangga dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, sementara hal itu berbanding terbalik dengan kemiskinan rakyatnya yang semakin bertambah. Ironis! Ya, meski kekayaan alam Indonesia bagaikan tak habis tujuh turunan, nyatanya rakyat tak hidup berkecukupan. Kemiskinan ini tak lain adalah hasil dari ketidakcakapan dalam mengelola sumber daya alam. Hingga menghasilkan kemiskinan struktural yang susah diurai.

Pembangunan ekonomi neoliberal yang terus digalakkan akan terus menciptakan kesenjangan lebar, dan kesempatan trafficking pun semakin besar. Biasanya, anak-anak usia remaja yang berakhir dalam dunia prostitusi dikarenakan tiga hal: Pertama, sebagai pelunas utang orang tua. Kedua, tuntutan gaya hidup yang tidak bisa dicapai karena kemiskinan. Ketiga, kebutuhan hidup yang semakin mahal.

Sesungguhnya bangsa ini mempunyai generasi yang cerdas dan semangat dalam mempelajari hal baru. Sayangnya, potensi luar biasa ini seperti tidak diberi ruang untuk tumbuh. Sebaliknya kekayaan alam yang melimpah malah dilelang dan diberikan kepada investor swasta, baik lokal maupun internasional. Jelas, hasilnya tak akan kembali kepada rakyat. Bahkan yang lebih miris, bahan baku yang dikeruk dari tanah ini, dikembalikan dalam bentuk produk siap pakai dengan harga yang fantastis. Sebab, potensi pasar di Indonesia sangatlah menggiurkan dengan jumlah penduduk di atas 250 juta jiwa. Hal ini tak menjadi satu-satunya sebab, imbas diobralnya SDA adalah kekurangan pasokan dalam negeri. Sebagai negara penganut ekonomi kapitalis sejati, Indonesia pun akhirnya hobi mengimpor barang-barang dari luar, sebab keanggotaannya dalam WTO (World Trade Organization) mengharuskan member mengimpor setiap tahunnya, butuh atau pun tidak. Inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural, hingga salah satu akibatnya adalah perdagangan anak marak di sistem kapitalisme.

Kapitalisme Menyuburkan Perdagangan Anak

Dalam ekonomi kapitalis, terdapat konsep pemasaran, konsumerisme, dan indivisualisme. Ketiganya kemudian menghasilkan sebuah logika bahwa segala hal dapat dijadikan komoditas dan dikomersilkan. Inilah yang terjadi pada perempuan dan anak. Karrna menganggap perempuan dan anak sebagai komoditas yang dapat menjadi jalan meraup keuntungan, maka jalan ini pun diambil.

Padahal, Indonesia sendiri telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1984. Dan dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Namun, kasus serupa tetap terjadi. Sebab, persepsi anak sebagai komoditas terus menguat seiring berkembangnya industri hiburan, baik dalam bidang pertelevisian maupun pariwisata. Anak-anak kemudian ditarik sebagai daya jual dengan mengunggulkan seksualitasnya.

Solusi Tak Menyentuh Akar Persoalan

Meski dunia telah sadar akan bahaya perdagangan anak, yang kemudian banyak merumuskan konvensi-konvensi internasional seperti International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children tahun 1921, dan CEDAW pada tahun 1979, namun semua upaya mereka ternyata menuju kegagalan. Sebab penyelesaian yang mereka tawarkan hanya berputar pada penanganan masalah, namun membiarkan faktor utama masalah yakni, kapitalisme tetap ada.

Indonesia bahkan dunia butuh solusi mengakar dari adanya human trafficking. Solusi ini haruslah yang dapat menghilangkan perdagangan anak dan tidak membiarkan adanya celah sedikit pun untuk eksploitasi dengan cara perdagangan anak dengan tujuan apa pun. Solusi ini adalah dengan diterapkannya syariat Islam dalam tatanan Kekhilafahan.

Khilafah Pemutus Rantai Perdagangan Anak

Kebijakan yang dapat diambil Khilafah dalam pencegahan dan penyelesaian masalah ini adalah
dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap rakyat, mulai dari sandang, pangan, dan perumahan yang terjangkau. Begitu pula dengan pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.

Sedangkan kebutuhan sekunder akan terpenuhi sesuai kadar kehidupan yang layak, yang mampu dipenuhi sendiri oleh rakyat dengan mekanisme nafkah. Pemberian nafkah kepada keluarga mengharuskan laki-laki bekerja. Dalam hal ini, negara juga tak serta merta berlepas tangan. Namun, negara juga memastikan bahwa setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan.
Hal ini akan menciptakan kesejahteraan sekaligus menghilangkan kemiskinan struktural.

Selain itu, ketakwaan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mengerem tindak kejahatan. Dalam hal ini, Khilafah akan membentuk ketakwaan individu dalam program pendidikan terstruktur. Tak hanya itu, pembentukan ketakwaan individu akan dimulai semenjak anak ada di rahim ibunya. Berlanjut dalam pendidikan dalam rumah, lingkungan, dan terakhir dalam lembaga pendidikan formal.

Dengan demikian, adanya pelayanan yang menyeluruh dari negara atas kebutuhan pokok dan ketakwaan individu yang terjalin di dalam rumah, masyarakat, dan lembaga pendidikan, maka dengan izin Allah Swt. Perdagangan anak akan bisa dihentikan, bahkan tidak tercetus pemikiran untuk mengeksploitasi anak sebagai dagangan. Sebab jelas sekali, Nabi Muhamad saw. telah bersabda yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi, "Bukan termasuk dari golongan kami orang yang tak menyayangi anak kecil dan menghormati orang tua."

Khatimah

Kehadiran Islam dibutuhkan agar anak tak lagi menjadi sasaran kejahatan, baik secara seksualitas maupun materi . Sebab eksploitasi dan penyasaran anak sebagai objek hanya subur di sistem rusak seperti Kapitalisme. Sebuah sistem yang bertujuan untuk kolonialisasi negara-negara kaya sumber daya oleh negara besar sebagaimana negara-negara Barat. Allahu alam bis-showwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Salju Terjang Kamp Pengungsi Suriah, Ke manakah Ummah Wahidah?
Next
Anomali Hukum dalam Demokrasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram