"Banyaknya kasus pelecehan agama merupakan konsekuensi paham kebebasan (liberalisme) yang dijajakan oleh demokrasi. Kebebasan berpendapat dan bertingkah laku menjadi landasan orang berbuat semaunya. Prinsip mereka, selagi tak mengakibatkan kerugian materi bagi orang lain, maka dirinya bebas melakukan apa saja yang dikehendaki."
Oleh. Pahriati, S.Si.
NarasiPost.Com-Lagi dan lagi. Pelecehan ajaran dan simbol agama terus terjadi. Kini publik kembali dihebohkan dengan tulisan seorang politikus di akun Twitternya yang mengatakan “Allahmu ternyata lemah harus dibela”. Siapa Allah yang dimaksud di situ? Bukankah ini termasuk penghinaan terhadap Tuhan (agama)?
Tulisan itu diunggah tanggal 4 Januari 2021. Meskipun tak berapa lama setelahnya, unggahan itu dihapus. Sang politikus meminta maaf dan mengklarifikasi jika tulisan itu adalah dialog imajiner dalam dirinya, tak bermaksud menghina agama tertentu. Namun pertanyaannya, jika itu dialog imajiner, mengapa harus dituliskan di media sosial yang tentu diakses banyak orang?
Ini bukan kasus pertama. Di sepanjang tahun 2021 atau tahun-tahun sebelumnya, kita mendapati banyak kasus pelecehan agama, khususnya terkait Islam. Misal, ada yang mengaku sebagai Nabi ke-26. Ada yang terang-terangan menghina Rasulullah saw. atau menuduh beliau dengan fitnah yang keji. Ada pula yang melecehkan Al-Qur'an atau menjadikan salat sebagai lelucon. Dan tak sedikit yang kemudian menuduh ajaran Islam sebagai pembawa paham radikal, bibit terorisme, dan sebagainya.
Hanya sedikit di antara pelakunya yang mendapatkan hukuman. Sebagian besar melenggang dengan bebas. Apalagi ketika pelakunya dekat dengan pemilik kekuasaan. Padahal pernyataan mereka jelas mengarah pada pelecehan agama, juga menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Cukup dengan meminta maaf, kasus dianggap selesai. Bahkan ada yang menganggapnya bukan kesalahan. Maka, tak heran jika kasus serupa terus berulang.
Kondisi ini berkebalikan dengan kasus yang menimpa beberapa ulama. Ketika mereka berceramah terkait keyakinan agama, ada saja yang memprotesnya. Mereka dituduh menghina ajaran agama lain. Apalagi ketika mereka bersuara atau memberi kritikan kepada penguasa, seringkali dicari celah untuk memperkarakannya. Pada akhirnya, beberapa ulama harus mendekam di dalam penjara.
Buah dari Demokrasi
Banyaknya kasus pelecehan agama merupakan konsekuensi paham kebebasan (liberalisme) yang dijajakan oleh demokrasi. Kebebasan berpendapat dan bertingkah laku menjadi landasan orang berbuat semaunya. Prinsip mereka, selagi tak mengakibatkan kerugian materi bagi orang lain, maka dirinya bebas melakukan apa saja yang dikehendaki. Kerugian itu pun bersifat relatif sesuai dengan pikirannya masing-masing. Maka, lahirlah kebebasan yang bablas tanpa batas.
Paham kebebasan ini sendiri terlahir dari rahim sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Agama tak lagi menjadi tolak ukur benar dan salahnya sebuah perbuatan. Agama hanya dipakai di ranah individu, dibahas di tempat ibadah atau sekolah agama. Adapun dalam kehidupan umum, hukum yang berlaku berdasarkan kesepakatan manusia. Padahal kita tahu, keputusan manusia bergantung pada maslahat (keuntungan) apa yang bisa didapatkannya. Ditambah realitas bahwa akal manusia jangkauannya terbatas. Kemampuan menilai baik buruknya sesuatu juga terbatas. Inilah yang kemudian membuat hukum manusia yang diterapkan sering multitafsir dan tumpang tindih kepentingan.
Wajarlah jika kemudian pelecehan dan penghinaan agama terus terjadi di alam demokrasi. Mereka menganggap sah-sah saja berpendapat, meski menyinggung agama tertentu. Ketika diprotes, mereka berargumen bahwa tak semua orang harus punya keyakinan yang sama. Perbedaan pendapat harus diterima. Pemikiran seperti ini tentu berbahaya, karena berpotensi menimbulkan perselisihan.
Meski demokrasi sudah memberikan batasan kebebasan agar tak mengganggu orang lain, namun hal itu tidaklah efektif. Penafsiran seringkali bersifat subjektif, tergantung siapa yang menafsirkan. Ditambah hukuman yang berlaku sangat ringan, tak memberi efek jera. Karenanya, selama demokrasi kapitalisme masih diterapkan di negeri ini, maka kasus penodaan agama takkan pernah bisa dihentikan.
Islam Mencegah Pelecehan Agama
Kondisi di atas jauh berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, kemurnian akidah dan ajaran agama sangat dijaga. Tak ada kebebasan mutlak dalam Islam, semua perbuatan wajib terikat dengan hukum syara. Segala ucapan dan tindakan harus dijaga agar tak menyalahi hukum Allah.
Islam juga mengajarkan bahwa perkara hak dan bathil memiliki batasan yang jelas, tak ada kesamaran. Bagi seorang muslim, semua ajaran Islam wajib diyakini dan diamalkan tanpa ragu. Perbedaan pendapat diperbolehkan jika berkaitan dengan perkara cabang. Adapun dalam perkara akidah dan hukum syariat yang sudah jelas, maka tak boleh ada perbedaan. Jika ada penyimpangan, pelakunya dikenakan sanksi.
Adapun terhadap pemeluk agama lain, mereka hanya didakwahi untuk mengenal Islam. Jika mereka menolak, tak ada paksaan untuk masuk ke dalam Islam. Karena dakwah adalah mengajak, bukan memaksakan. Oleh karenanya, dalam sistem Islam setiap pemeluk agama tetap dibiarkan menjalankan keyakinannya masing-masing tanpa saling mengganggu ataupun mencampuradukkan ajaran. Namun, jika ada yang melakukan pelecehan agama, mereka juga akan dikenakan sanksi.
Islam memandang segala bentuk penghinaan simbol yang disakralkan agama maupun penyimpangan terhadap ajaran agama adalah sesuatu yang diharamkan. Segala perbuatan dan pernyataan yang melecehkan agama, baik disampaikan di muka umum ataupun melalui media, termasuk yang dituangkan dalam karya tulis ataupun konten di media sosial, semuanya akan ditindak dengan tegas. Pelakunya diberi teguran hingga bisa dihukum bunuh. Inilah bentuk penjagaan negara terhadap agama.
Ketegasan ini telah dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin maupun khalifah setelah mereka. Di masa kekhilafahan, umat beragama bisa hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. Penerapan sistem Islam secara menyeluruh oleh negara khilafah terbukti mampu menjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sekaligus melindungi agama yang lainnya. Hal ini juga akan menghindarkan konflik sosial di tengah masyarakat. Terciptalah kehidupan yang rukun, aman, damai dan penuh berkah. Lantas, masihkah ada keraguan untuk menerapkannya? []