"Tentunya seabrek permasalahan yang merundung rakyat khususnya pelaku UMKM itu tidak bisa diatasi dengan terbitnya NIB. Perlu upaya lebih dari pemerintah untuk bisa menyolusikan hingga ke akar masalahnya. Keberpihakannya pada rakyat harus lebih dominan dibanding kepada pengusaha raksasa."
Dra. Rivanti Muslimawaty, M. Ag.
(Dosen di Bandung)
NarasiPost.Com-Kawasan Sarana Olahraga (KSO) Jalak Harupat, Kutawaringin pada Senin (13/12) dipenuhi antrean masyarakat kabupaten Bandung yang berprofesi sebagai pelaku usaha UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Pasalnya, di hari tersebut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) membagikan NIB (Nomor Induk Berusaha). Bupati Kabupaten Bandung Dadang Supriatna mengatakan bahwa ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mempercepat kebangkitan ekonomi rakyat, sesuai dengan amanat PP No.7 Tahun 2021 (jabarekspres.com, 13/12/2021).
Benarkah pembagian NIB berkorelasi membangkitkan ekonomi kerakyatan, ataukah hanya klaim semata? NIB memang memberikan kemudahan izin usaha, pinjaman modal ke bank, serta kemudahan akses kepabeanan dalam ekspor impor. Namun, apakah hal ini mampu mengatasi semua persoalan yang dihadapi UMKM?
Persoalan yang dihadapi UMKM cukup banyak, tak hanya seputar perizinan dan modal. Setidaknya ada beberapa kendala usaha yang selama ini dialami pelaku UMKM di antaranya kualitas SDA beserta mentalitasnya sebagai pelaku usaha, lemahnya jaringan usaha karena dihadapkan pada persaingan dengan pengusaha asing dan aseng yang modalnya selangit dan jejaring usahanya yang menggurita, kemampuan penetrasi pasar masih rendah, sarana dan prasarana yang kurang memadai, iklim usaha yang tidak kondusif dan masih menjamurnya pungutan liar.
Tentunya seabrek permasalahan ekonomi rakyat khususnya pelaku UMKM itu tidak bisa diatasi dengan terbitnya NIB. Perlu upaya lebih dari pemerintah untuk bisa menyolusikan hingga ke akar masalahnya. Keberpihakannya pada rakyat harus lebih dominan dibanding kepada pengusaha raksasa. Namun, hal itu tampaknya sulit direalisasikan selama sistem kapitalis masih diterapkan dan sekularisme menjadi asasnya, maka ekonomi hanya akan menguntungkan pemilik modal (para pengusaha). Karakter asli kapitalis-sekularis selalu berpihak pada para pengusaha yang terus mencari keuntungan bagi pribadi maupun kelompoknya. Hal ini berimbas pada sepak terjang mereka yang menomorsatukan keuntungan yang akan diraih melalui berbagai cara meskipun merugikan pihak lain. Sistem kapitalisme kosong dari nilai kemanusiaan, moral dan spiritual, karena mengandalkan free market competition atau persaingan pasar bebas, sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator.
Penderitaan rakyat yang tak kunjung usai, berbanding terbalik dengan kondisi pengusaha dan korporasi yang semakin bergelimang kekayaan. Inilah yang dinamakan mekanisme pasar bebas. Fenomena penguasaan 49,3 persen kekayaan negara oleh satu persen orang kaya di bumi pertiwi ini membuat kesenjangan makin tak terelakkan. Bahkan, menurut data Credit Suisse di tingkat global 89 persen kekayaan dunia dalam dekapan 10 persen orang kaya saja. Ini berarti, 90 persen masyarakat dunia memperebutkan 11 persen sisa kekayaan dunia (Independent.co.uk, 02/12/2016).
Sesungguhnya ekonomi akan bangkit jika asasnya benar, yaitu akidah Islam. Sebab Islam bukan hanya sekadar agama, tapi juga ideologi. Akidah Islam memunculkan aturan bagi seluruh lini kehidupan, termasuk dalam hal ekonomi. Pada dimensi individu, aktivitas ekonomi dilakukan dengan tujuan meraih rida Allah. Selain itu, tetap harus memiliki nilai madiyyah (materi) yang ingin dicapai. Namun demikian, materi tidak menjadi orientasi (profit oriented). Mencari materi adalah kewajiban seorang lelaki bila dia merupakan penanggung-jawab nafkah dalam keluarga. Hanya saja dalam memperolehnya harus terikat dengan hukum syarak, tidak dengan jalan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat, sebab hal ini adalah tugas umum negara. Negara berkewajiban menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif dan peluang kerja yang memadai bagi rakyatnya. Tidak membiarkan pengusaha raksasa (asing dan aseng) mendominasi perekonomian, sehingga rakyat kecil terjepit. Bahkan, bersedia memberikan modal secara cuma-cuma bagi rakyatnya yang membutuhkan.
Untuk mewujudkan hal itu negara harus menerapkan syariat Islam, baik itu di dalam maupun luar negeri. Praktik ekonomi yang sangat mengeksploitasi, zalim, tidak transparan dan memiskinkan rakyat tidak akan terjadi jika pemerintah menjalankan politik ekonomi Islam yang bersifat unggul dan manusiawi. Negara juga menjalin kerja sama ekonomi dengan negara lain, terkecuali pada negara kafir harbi. Negara tak segan memberikan pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan dan cahaya Islam.
Semua itu hanya mungkin terealisasi dalam sebuah institusi negara yang disebut Khilafah. Penerapan syariat Islam oleh Khilafah akan menyejahterakan warga negaranya serta membantu umat manusia di tempat lain. Hal ini menunjukkan Khilafah akan mewujudkan rahmatan lil ‘aalamin sebagaimana yang telah disampaikan oleh Allah Swt. dalam Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya, “…dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”[]