"Jadi, gonjang-ganjing persoalan regulasi migas yang ada di Indonesia, tak lepas dari ketiadaan visi dalam pengelolaannya, yakni ‘untuk apa dan milik siapa’. Tak heran, para pengamat pun menyangsikan kemampuan UU Migas untuk menyelesaikan problem minyak dan gas di Indonesia."
Oleh. Witta Saptarini, S.E.
NarasiPost.Com-Misi pemerintah menyusun peta BBM ramah lingkungan melalui Kementerian ESDM, terkait penghapusan BBM dengan kadar oktan rendah (RON 88 dan RON 90) alias Premium dan Pertalite, telah menemui titik terang. Pasalnya, rencana pengalihan ini telah mendapat dukungan dari DPR RI. Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno mensyaratkan, agar rencana dilaksanakan secara progresif, dengan sosialisasi yang tepat, serta memberikan insentif harga bagi BBM beroktan tinggi (Pertamax), untuk menghindari guncangan di masyarakat. Sehingga, secara otomatis masyarakat akan tergerak untuk beralih. (kompas.tv, 27/12/2021)
Sementara itu, menurut pernyataan Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Soerjaningsih. Bahwasanya, Indonesia telah memasuki masa transisi energi. Di mana, BBM Pertalite akan menjadi bahan bakar transisi menuju peralihan BBM Pertamax yang dinilai lebih ramah lingkungan, dengan kadar penurunan emisi CO2 sebesar 27%. (tvonenews.com, 27/12/2021)
Sementara itu, sejumlah pengamat meminta pemerintah untuk waspada terhadap potensi efek domino yang tidak dapat dihindari. Pasalnya, dari sisi ekonomi rencana ini tidak tepat waktu. Di mana, akan ada pertambahan yang lebih besar untuk kebutuhan energi yang berimbas pada kenaikan-kenaikan harga lain, baik di sisi transportasi juga bahan pokok. Maka, pemerintah wajib mengantisipasi terhadap inflasi barang-barang lain, yang menggerus daya beli masyarakat. Sehingga, nantinya kebijakan ini tidak kontradiktif dengan target pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Jika hal ini tetap dilakukan, maka pemerintah wajib memberi stimulus yakni subsidi, guna mempermudah proses transisi menuju switching penggunaan energi yang lebih baik dan ramah lingkungan.
Kendatipun demikian, belum ada keputusan resmi dari Kementerian ESDM. Namun, keresahan tengah dirasakan masyarakat. Sebab, dipastikan akan memberatkan, jika harus membeli BBM dengan harga yang lebih tinggi. Mengingat dalam perkembangan yang sama, baru saja Pertamina resmi menaikkan harga elpiji nonsubsidi. Lalu, kemana sebenarnya peta jalan pemerintah mengenai rencana pengalihan BBM ini ?
Menelusuri Peraturan Peta Jalan Pengalihan BBM
Bila kita cermati, catatan perjalanan dalam menghilangkan BBM Premium saja cukup sulit. Lantas, di masa transisi ini akankah memakan waktu yang panjang untuk menghilangkan Pertalite? Sebab, banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum menerapkan kebijakan penghapusan BBM untuk mengantisipasi dampaknya. Maka, pemerintah harus memiliki kalkulasi terkait supply, yakni produksi yang mampu menampung proses switching tersebut, untuk menghindari kelangkaan dan inflasi tambahan, disebabkan supply lebih rendah dibandingkan demand.
Kemudian, dalam hal kesiapan infrastruktur terkait kilang minyak, apakah PT Pertamina mampu memasok Pertalite secara penuh? Begitu pun kemudian pasokan Pertamax ke kebutuhan nasional, mengingat negara kita masih banyak mengimpor minyak mentah. Bilamana prosesnya jelas dan memiliki keberanian sedari awal, semestinya negara kita sudah mampu membuat jenis BBM dengan kualitas dan standar yang baik. Sebab, bahan bakar Pertalite yang ada saat ini belum memenuhi standar teknis ramah lingkungan. Inilah bagian dari road map pemerintah, tidak pernah concern untuk membuat spesifikasi BBM yang ada. Pun, harga Premium dan Pertalite seharusnya tidak diintervensi pemerintah, melainkan mekanisme pasar sendiri yang mengaturnya secara alami. Seperti halnya BBM nonsubsidi dibiarkan berfluktuasi secara natural. Hal ini sekaligus mengonfirmasi inkonsistensi kebijakan sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi saat ini.
Mengacu regulasi migas di Indonesia yang menjadi payung hukum saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 terkait minyak dan gas bumi. Menurut para pengamat, posisinya mendesak untuk direvisi. Sebab, terdapat banyak kelemahan, dan ketidakpastian hukum. Serta alasan lainnya, yakni kental akan pengaruh asing. Di mana, adanya dugaan kucuran dana dari USAID (United States Agency for International Development), dalam bentuk reformasi sektor energi ke berbagai pihak di Indonesia. Bahkan, beberapa kali Undang-Undang ini telah diajukan judicial review (pengujian yudisial) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, menurut para pemohon materi Undang-Undang ini tidak sejalan dengan konstitusi alias bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33. Di mana, di dalamnya dinyatakan bahwa perekonomian ini dibangun untuk kepentingan masyarakat.
Politik ekonomi migas di Indonesia yang terefleksikan pada Undang-Undang Migas tahun 2001 ini, menggambarkan kondisi yang compang-camping alias tidak utuh lagi. Dengan berbagai kondisi yang terjadi setelah lama disahkan, yakni pembatalan dan desakan-desakan upaya mempercepat revisi yang hingga kini jalan di tempat. Sebab, Undang-Undang ini sarat dengan aroma liberalisasi. Bisa kita lihat, Petroleum Fund sebagai dana migas yang sempat mengemuka dan masuk dalam revisi UU Migas. Di mana, dana ini bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan, seperti membantu masyarakat saat harga minyak dunia tinggi, kegiatan eksplorasi mencari cadangan migas baru, dan membantu pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun, penerapannya dinilai tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Dengan alasan, perlu maturitas pengkajian dari segi fungsi, konsep, dan tujuan. Oleh sebab itu, belum mendapat dukungan dan komitmen penuh dari pemerintah.
Padahal, sejatinya hal ini bisa menjadi peluang negara untuk berani mandiri dalam mengelola sektor migas. Namun, kuatnya sistem kapitalisme meniscayakan memberi ruang privatisasi dan intervensi asing-aseng. Oleh sebab itu, Pertamina bukan satu-satunya badan usaha yang berhak mengelola minyak dan gas di Indonesia. Jadi, gonjang-ganjing persoalan regulasi migas yang ada di Indonesia, tak lepas dari ketiadaan visi dalam pengelolaannya, yakni ‘untuk apa dan milik siapa’. Tak heran, para pengamat pun menyangsikan kemampuan UU Migas untuk menyelesaikan problem minyak dan gas di Indonesia. Lalu, bagaimana dalam pandangan Islam menyelesaikan persoalan sektor migas ?
Pengelolaan Sektor Migas di Era Khilafah
Islam memandang ketiadaan visi dalam pegelolaan migas negara ini, disebabkan regulasi yang terlahir dari hasil kompromi di parlemen yang bertentangan dengan syariat. Sebab, jauh dari visi syar’i dan ukhrawi. Undang-Undang Migas yang ada saat ini, meniscayakan memberi ruang pada pihak lain untuk turut serta dalam mengelola, serta tidak semata-mata dikembalikan pada rakyat. Justru, negara memosisikan sebagai pedagang dan rakyat sebagai pembeli.
Sejak lebih dari 13 abad silam, Islam telah memiliki konsep pengelolaan minyak dan gas. Islam dalam institusi Khilafah, menempatkan migas sebagai kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘amah). Sebab, termasuk barang yang dibutuhkan jama’ah (marafiq al-jama’ah), dan jika keberadaannya sebagai tambang dengan deposit besar. Sebagaimana politik ekonomi migas dalam Islam menurut hadis Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” Berdasarkan hadis ini, syariat melarang sektor migas dimiliki dan dikuasai (diprivatisasi), baik individu atau swasta asing dan nasional. Karena, sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, jelas hukumnya haram. Oleh karena itu, pengelolaannya wajib diserahkan kepada negara. Maka, negara yang menetapkan harga dan seluruh hasilnya tetap dikembalikan pada rakyat.
Pun, kegiatan eksplorasi dan eskploitasi minyak dan gas yang termasuk barang tambang dalam jumlah besar, harus diselenggarakan negara atas nama rakyat sebagai pemiliknya, serta dikelola untuk kemakmuran rakyat. Karenanya, aktivitas pertambangan migas ini merupakan industri milik umum. Maka, negara mewakili rakyat dalam kepemilikan industri milik umum. Dalam konteks ini, Khalifah berperan sebagai pengelola, dan rakyat sebagai pemiliknya. Di mana, kepemilikan terhadap industri meliputi, kepemilikan atas modal, bahan baku, alat produksi, pengelolaan, hasil produksi, termasuk pengaturan distribusi dilakukan oleh negara. Oleh sebab itu, industri di sektor kepemilikan umum harus berbentuk Badan Umum Milik Negara (BUMN). Sehingga, campur tangan swasta asing dan dalam negeri tidak dibenarkan.
Memahami luar biasanya efek pengembangan energi, yakni mampu memberi stimulus pada sektor ekonomi yang lebih luas. Maka, Khilafah melakukan pengembangan infrastruktur energi untuk menjamin kebutuhannya dan meniscayakan energi tersebut tidak akan keluar dari negara. Apalagi, membiarkan dikuasai negara-negara penjajah. Sehingga, Khilafah mampu mewujudkan swasembada energi bagi kemakmuran rakyat.Wallahu a’lam bish-shawwab []