"Dengan kurikulum yang sudah berjalan saja, masih jauh dari frase keberhasilan mencetak generasi muda yang andal dalam bidang ilmu dan sosial. Minimnya prestasi akademik yang diraih para pelajar, berbanding terbalik dengan ‘prestasi amoral' yang tampak di permukaan."
Oleh. Ita Harmi
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Otak-atik kurikulum pendidikan kembali mencuat ke permukaan. Dalam sebuah utas yang viral di Twitter beberapa waktu belakang, Kemendikbudristek mengumumkan sebuah rancangan kurikulum baru yaitu Kurikulum Prototipe. Kurikulum ini merupakan kurikulum pengembangan dari kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum 2013. Kurikulum Prototipe ini rencananya akan diterapkan pada awal tahun ajaran baru 2022/2023 bagi sekolah yang bersedia mengadopsinya. Artinya kurikulum ini akan diterapkan secara bertahap, setelah evaluasi kurikulum di tahun 2024, maka setiap tingkat satuan pendidikan akan menerapkan kurikulum ini secara serentak di seluruh Indonesia.
Kurikulum ini juga dianggap sebagai cara untuk mengatasi learning loss, yaitu ketertinggalan pencapaian target pembelajaran, baik karena faktor pandemi, sarana dan prasarana sekolah, sosial-ekonomi, dan letak geografis wilayah masing-masing daerah. (Detiknews, 27/12/2021)
Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia bukan kali ini saja terjadi. Dalam dua dekade terakhir setidaknya sudah terjadi tiga kali pergantian kurikulum. Mulai dari Kurikulum 2004 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), dan Kurikulum 2013.
Kurikulum yang paling kontroversial adalah Kurikulum 2013. Di mana kurikulum ini tampak dipaksakan untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Padahal, kurikulum sebelumnya saja belum rampung untuk dievaluasi. Sementara kurikulum baru sudah harus dipakai.
Sejumlah masalah juga diutarakan oleh banyak pihak dari kalangan akademisi dan pendidikan mengenai ketidakmatangan Kurikulum 2013. Contohnya saja adanya peraturan tidak formal di sekolah-sekolah dasar bahwasanya calon siswa harus sudah memiliki keterampilan membaca dan berhitung sebelum duduk di bangku sekolah dasar. (Kompasiana, 20/1/2015)
Apalagi melihat soal-soal ujian semester dan latihan harian anak kelas satu sekolah dasar. Soal-soal yang diberikan menggunakan bahasa yang terlalu formal sehingga memaksa anak-anak untuk memakai logika formal normatif yang bukan konsumsi untuk anak-anak usia 5 sampai 7 tahun. Pihak perancang kurikulum dan para editor buku mata pelajaran seolah menutup mata bahwa yang mereka didik adalah anak-anak yang masih berada pada fase perkembangannya sebagai anak. Namun, sudah menempatkan anak-anak pada posisi seorang remaja yang sudah mulai berkembang logika normatifnya secara formal dalam memahami materi pelajaran dan soal-soal ujian yang diberikan.
Masalah-masalah ini saja belum tuntas untuk diselesaikan, sementara pemerintah melalui Kemendikbudristek sudah merancang untuk mengembangkan lagi kurikulum yang cacat ini sebagai kurikulum baru. Seolah inilah esensi permasalahan pendidikan. Padahal problematika pendidikan itu sangat kompleks.
Dengan kurikulum yang sudah berjalan saja, masih jauh dari frase keberhasilan mencetak generasi muda yang andal dalam bidang ilmu dan sosial. Minimnya prestasi akademik yang diraih para pelajar, berbanding terbalik dengan ‘prestasi amoral' yang tampak di permukaan. Bullying, seks bebas, narkotika, prostitusi hingga LGBT masih banyak menghiasi wajah-wajah pelajar Indonesia.
Masalah pendidikan juga bukan mengenai output pendidikan semata. Masalah-masalah internal seperti keterampilan guru dalam mengajar, sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah, hingga tentang kesejahteraan para tenaga pendidik masih menjadi pekerjaan rumah yang menggantung oleh pemerintah. Lalu bagaimana mungkin, hanya dengan mengubah kurikulum saja seolah masalah pendidikan akan teratasi?
Tak pelak, problematika pendidikan di Indonesia memang sudah menyentuh sisi sistemis. Artinya, akar dari carut marut pendidikan bukanlah soal teknis, melainkan sistem.
Sekularisasi dan liberalisasi yang menjamur di tempayan demokrasi adalah satu-satunya tersangka yang pantas ditunjuk sebagai sebab terjadinya semua masalah yang terjadi. Sekularisme yang diemban negara serta merta mengikutsertakan sekularisme dalam lini pendidikan. Pendidikan yang berbasis duniawi, dengan mengesampingkan basis ukhrawi terbukti hanya melahirkan generasi niradab dan pengemban hukum rimba dalam kehidupan sosialnya. Kasus pelajar aborsi, pelaku pembunuhan di bawah umur, ketergantungan narkoba, atau seks bebas seperti mahasiswi yang bunuh diri di makam sang ayah baru-baru ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi para pemangku kebijakan pendidikan, apakah ada yang salah dengan pola pendidikan yang dipakai? Apakah kualitas output pendidikan cukup dengan hanya mengganti kurikulum yang baru?
Demikianlah keadaannya sebuah pohon bila akarnya busuk maka hanya akan menumbuhkan kebusukan hingga ia mati oleh kebusukannya sendiri. Begitu pula halnya dengan sekularisme dan liberalisme yang tegak dalam pohon demokrasi. Mereka akan tumbang bersamaan seiring makin rusaknya kehidupan yang diakibatkan oleh pandangan kehidupan ini.
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia untuk mengalihkan pandangan kehidupannya yang rusak saat ini kepada pandangan hidup yang benar sekaligus menempatkan kembali kehidupan manusia pada posisinya yang mulia. Islam sebagai mabda sahih yang diridai keberadaannya oleh Allah Tuhan Semesta Alam terbukti mampu mengatur manusia dan mengantarkannya menuju puncak kejayaan dalam peradabannya.
Kurikulum pendidikan dalam Islam memiliki konsep yang khas. Pendidikan sendiri dipandang sebagai upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis untuk membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, menguasai pemikiran Islam yang andal, menguasai ilmu-ilmu terapan seperti IPTEK, dan memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian Islam (nafsiyah islamiyah) diberikan pada semua tingkat pendidikan sesuai dengan porsinya masing-masing. Di tingkat pendidikan untuk anak-anak, materi kepribadian Islam adalah materi dasar karena mereka akan menuju usia balig. Hal ini bertujuan agar setelah usia balig dan menjadi mukalaf (orang yang sudah terbebani hukum), mereka menyadari keterikatan setiap perbuatannya dengan syariat. Dengan begitu akan mencegah dan menghindari segala tindak kemaksiatan terhadap Allah Swt. Sehingga hal-hal kriminalitas dalam dunia pendidikan tidak akan terjadi sebagaimana kriminalitas yang terjadi dalam pendidikan sekularisme. Sedangkan tsaqafah (pemikiran) Islam juga diberikan pada tiap tingkat pendidikan sesuai dengan kemampuan dan daya serap para siswa.
Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam. Setiap mata pelajaran dan metode pembelajarannya disusun sesuai dengan akidah Islam. Konsekuensinya adalah porsi waktu pelajaran untuk tsaqafah lebih besar tetapi tetap disesuaikan dengan waktu bagi ilmu yang lain. Di tingkat Perguruan Tinggi, materi tentang kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh apabila para siswa sudah memahami Islam secara total. Materi kebudayaan asing yang dipelajari bukan untuk ditiru, tetapi untuk dibongkar cacat celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam tidak dipungut biaya sedikit pun, sebab menuntut ilmu bagi setiap muslim adalah wajib berdasarkan hadis Nabi saw., “Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan” (HR. Ibnu Abdil Barr). Berdasarkan dalil ini maka negara wajib memfasilitasi dan menyediakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kelangsungan pendidikan secara gratis tanpa dipungut biaya kepada rakyat. Sementara biaya yang digunakan negara untuk menunaikan kewajiban pelaksanaan pendidikan bersumber dari kas negara yaitu Baitul Mal.
Di Baghdad pada masa Khalifah Al-Muntahsir Billah, didirikan sebuah madrasah Al-Muntashiriah. Setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Biaya keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Begitu pula dengan Madrasah An-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Madrasah ini memiliki fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Demikianlah, Islam mengurus kebutuhan dasar manusia khususnya di bidang pendidikan. Tidak ada satu pun urusan kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam. Di sinilah uniknya Islam, perbedaannya tampak kentara dengan ideologi lainnya. Wajar bila kebangkitan Islam tidak dikehendaki oleh para pendengkinya. Karena secara fitrah, manusia mana pun baik muslim ataupun nonmuslim, aturan Islam sesuai dengan kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Maka merugilah manusia bila kehidupannya tak diatur oleh Islam. Apalagi bagi mereka yang menyandang status sebagai muslim yang akan mendapat kerugian dua kali lipat, di dunia dan akhirat. “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al -Maaidah : 50)
Wallahu a’lam bishowab.[]