"Kingdom of Saudi Arabia yang secara umum masih dipandang oleh khalayak sebagai representasi Islam, kaum muslimin, dan hukum syarak. Nyatanya semakin hari semakin liar dalam komprominya terhadap ide-ide Barat.
Oleh. Aghniarie
"NarasiPost.Com-Apakah saya di Arab Saudi?" Aljishi bertanya-tanya dengan keras di Boulevard. "Apakah ini mimpi?"
"Hanya beberapa tahun yang lalu, ini semua haram," kenang Aljishi.
Aljishi adalah satu di antara warga nonmuslim di Arab Saudi yang merasa takjub terhadap perubahan kebijakan negara Kingdom of Saudi Arabia ini, dalam kebebasan menjual pernak-pernik perayaan Natal. Pasalnya hal tersebut tidak pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tahun 2018, otoritas bea cukai Arab melarang masuknya pohon Natal ke Saudi. Namun, pada 2020 toko perlengkapan pesta di Riyadh berani memajang empat pohon Natal, hingga meletakan satu di depan jendela. (detiknews.com, 26/12/2021)
Kingdom of Saudi Arabia yang secara umum masih dipandang oleh khalayak sebagai representasi Islam, kaum muslimin, dan hukum syarak. Nyatanya semakin hari semakin liar dalam komprominya terhadap ide-ide Barat.
Seperti diberitakan oleh Arab News dan The Straits Times, M inggu (26/12/2021), di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Arab Saudi semakin melonggarkan aturan agama. Hal tersebut terjadi karena Putra Mahkota mempunyai visi untuk membawa Arab Saudi ke ranah yang lebih toleran dan moderat. Dengan tujuan untuk menarik investasi asing dan turis. Ini dijadikan agenda penting kerajaan yaitu tren kompromi, keterbukaan dan toleransi terhadap ide-ide Barat.
Toleransi terhadap hari raya Natal ini merupakan satu langkah yang harus ditempuh untuk visi yang sedang digalang Muhammad Bin Salman (MBS), pemegang kekuasaan di Saudi saat ini. Karena komitmennya adalah, "Kita tidak akan kembali pada masa-masa gelap 30 tahun silam yang telah merusak Timur Tengah. Kita akan segera mengatasi hal tersebut, sekuat-kuatnya dan saat ini juga. Arab Saudi akan mengukuhkan moderasi Islam. Arab Saudi akan terbuka pada semua agama dan semua negara." (detiknews.com, 16/04/2021)
Tentu apa yang dilakukan oleh negeri Arab sebagai representasi Islam, yang memberikan keluasan ruang publik untuk perayaan kekafiran adalah kesalahan fatal. Sesungguhnya ia telah masuk ke dalam jebakan Barat. Barat tidak akan pernah berhenti untuk melakukan berbagai pengasutan dan propaganda menyerang Islam. Tujuan besarnya adalah agar kaum muslim mengikuti arus yang sedang mereka bangun. Salah satunya adalah wacana toleransi dan moderasi ke seluruh negeri-negeri muslim agar nilai-nilai Islam mudah untuk direduksi dan distigmatisasi.
Toleransi dan Intoleransi dalam Pandangan Islam
Islam adalah agama dan aturan hidup yang menjunjung tinggi toleransi. Bentuk toleransi dalam Islam adalah dengan menjunjung tinggi keadilan kepada siapa pun, termasuk kepada nonmuslim. Islam sangat melarang dengan kerasnya, perbuatan zalim dan merampas hak-hak orang lain. Islam mengajarkan untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada seluruh pemeluk agama, dan bermuamalah dengan baik kepada mereka yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak mengusir dari negeri yang umat muslim tinggali.
Islam juga melarang membunuh kafir dzimmi, dalam sabdanya, Beliau saw. memperingatkan, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR an-Nasa’i).
Dalam sejarah keemasan peradaban Islam, praktik toleransi sangat nyata dapat dirasakan oleh semua komponen agama. Hal tersebut berlangsung selama ribuan tahun, mulai dari masa Rasulullah Muhammad saw. sampai kekhilafahan terakhir di Turki Ustmani. Tentu melekat erat dalam ingatan kita, betapa Rasulullah saw. pemberi teladan terbaik dalam toleransi. Hingga akhir hidupnya, setiap hari beliau menyuapi pengemis buta di sudut pasar, padahal Ia seorang Yahudi. Juga Rasulullah menjenguk seseorang yang sakit, padahal sepanjang sehat orang tersebut selalu mencela, meludahi hingga melemparkan kotoran unta saat Rasul salat.
Rasulullah saw. pemimpin Madinah, memimpin dengan syariat Allah Swt. memperoleh kegemilangan. Beragam agama dan kepercayaan di Madinah mampu hidup rukun dan damai. Semua mendapatkan haknya sebagai warga negara, keamanan, keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan atas jiwa, harta dan kehormatannya. Mereka juga bebas melakukan peribadatannya sesuai dengan agama masing-masing namun dalam lingkup wilayah tempat kediaman mereka.
Para khalifah yang menggantikan beliau juga meneladani sikap toleransi junjungannya, Rasulullah saw. Lihatlah, Saat pembebasan Yerussalem Palestina, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., beliau memberi jaminan warga Yerussalem akan tetap memeluk agamanya. Khalifah Umar tidak pernah memaksa mereka untuk memeluk Islam. Beliau juga tidak menghalangi mereka dalam beribadah sesuai keyakinannya.
Demikian pula sikap tenggang rasa terpatri agung saat Muhammad al-Fatih sukses membebaskan Konstantinopel. Kala itu wajah-wajah umat Kristiani pucat pasi. Tubuh mereka gemetar ketakutan di pojok gereja. Faktanya, Tak ada satu pun umat Kristiani Konstantinopel yang dianiaya atau terluka. Muhammad Al-Fatih membebaskan mereka tanpa syarat. Bahkan tidak ada yang dipaksa untuk masuk Islam. Inilah fakta sejarah yang tidak terelakkan hingga kapan pun. Bahkan intelektual Barat mengakui kerukunan umat beragama dan toleransi sepanjang Kekhilafahan Islam.
Toleransi Berbeda dengan Sinkretisme
Toleransi bukanlah sinkretisme. Sinkretisme merupakan pencampuradukan aliran, paham atau keyakinan keagamaan. Ini dilarang dalam Islam. Seperti, perayaan Natal bersama, ucapan selamat Natal, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama, pemakaian simbol-simbol agama lain, dan lain-lain. Semua itu bukan toleransi, tapi pencampuradukkan ajaran agama. Namun sayangnya, hal ini sering dijadikan patokan untuk mengukur sejauh mana toleransi dalam kehidupan beragama. Itu semua merupakan refleksi dari paham pluralisme dan dalam Islam itu semua haram. MUI pun telah mengeluarkan fatwanya pada tahun 2005, tentang keharaman pluralisme.
Pluralisme adalah paham yang menyatakan semua agama benar. Pluralisme tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Ide tersebut bertentangan dengan QS Ali Imran ayat 19, yang menyatakan bahwa agama yang Allah Swt. ridai hanyalah Islam. Rasulullah saw. juga tegas tidak pernah mau berkompromi dengan narasi ‘toleransi’ semacam ini. Seperti dulu pada fase dakwah di Makkah, suatu hari tokoh-tokoh kafir Quraisy menemui Nabi saw. Mereka menawarkan ‘toleransi’ dengan berkata, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, 20/225).
Lalu, turunlah surat al-Kafirun yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini (QS al-Kafirun [109]: 1-6).
Karena sejatinya, agama Islam adalah agama paling hak disisi Allah Swt. Dalam Qur'an surat az-Zumar: 7, Allah Swt tidak meridai kekafiran bagi hambanya. Maka, jika Allah Swt. murka dan tidak meridai pada kekafiran seseorang. Kita pun wajib tidak boleh meridai kekafiran mereka. Karena, rida terhadap kekafiran orang lain berarti meridai apa yang Allah murkai dan tidak diridai. Jelas ini haram.
Kepentingan Barat di Balik Narasi Intoleransi
Para pemimpin negeri muslim tidak boleh terkecoh oleh propaganda Barat. Narasi toleransi dan intoleransi yang diblow up kepada umat Islam adalah upaya Barat untuk melemahkan akidah dan keterikatan terhadap hukum ssyarak. Barat merasa jengah karena muslim yang terikat hukum syarak, sangat mengganggu kepentingan ekonomi mereka. Itulah pengakuan Mike Pompeo, Menlu AS, dalam KTT Kebebasan Beragama di Washington DC, di hadapan para pendukung kebebasan beragama dari 80 negara (24/7/2018).
Hal yang wajarjika AS akan terus mendikte negara mana pun, dan mencari orang-orang yang bisa dijadikan penguasa boneka yang bisa dikendalikan termasuk dalam urusan kehidupan beragama umat Islam. Terutama bagi negara yang memiliki posisi geostrategis dan kekayaan alam yang bisa menguntungkan bagi AS. Tentu termasuk Indonesia dan Arab Saudi.
Wallahu 'alam bishshawab[]