Klitih dan Pemuda, Pencarian Jati Diri Berujung Petaka

"Aktivitas klitih menjadi salah satu buah dari penerapan sekuler. Dimulai dari kerapuhan keluarga akan pemahaman Islam, ditambah lingkungan yang jauh dari nilai-nilai Islam, dan terakhir diperparah oleh negara yang menerapkan sekulerisme pada setiap aspek kehidupan."

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Lagi-lagi pemuda berada di tengah sorotan. Sayangnya, dekade ini bukan prestasi yang selalu ditorehkan pemuda. Namun, rapor merahlah yang sering mencolok menjadi sorotan. Kali ini, jagat twitter ramai dengan hashtag #YogyaTidakAman yang muncul pada 28 Desember 2021 lalu, tweet tersebut mengemuka sebab daerah kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono ini, kembali mencatat kekerasan yang dilakukan oleh remaja, atau yang akrab disebut klitih.

Ya, tak kurang dari 58 kasus klitih terjadi sepanjang 2021. Menurut cnnindonesia.com (30/12/21) kejadian klitih tahun 2021 meningkat enam kasus dibanding tahun 2020. Total 102 pelaku dari 40 kasus telah diproses secara hukum. Yang mengejutkan, 80 pelaku ditengarai berasal dari kalangan yang masih berstatus pelajar. Lantas yang menjadi pertanyaan besar, apakah yang mendasari tindakan remaja melakukan klitih? Bagaimanakah aturan negara ini menyikapinya? Adakah solusi Islam dalam menyelesaikan problem remaja tersebut?

Sejarah Klitih

Secara bahasa, klitih berasal dari bahasa Jawa yang berarti sebuah aktivitas menghabiskan waktu untuk mencari angin, atau keluyuran. Namun lambat laun, istilah klitih mengalami pergeseran menjadi aktivitas mengisi waktu luang dengan berbuat kejahatan di jalan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda.

Pada mulanya, klitih hanyalah sebuah kasus yang terjadi di antara para geng dari sekolah yang berbeda, melakukan perundungan dengan mengadang geng lain di jalanan. Klitih juga dapat dilakukan oleh pemuda untuk unjuk diri ketika ingin masuk dalam sebuah kelompok remaja atau geng. Namun dewasa ini, klitih tak hanya mengalami pergeseran dalam makna bahasa, dalam aktivitas pun juga terjadi pergeseran menuju ke arah yang semakin buruk.

Sebab pelaku sudah bukan pemuda antarsekolah lagi, namun pemuda pengangguran yang belum menemukan kepribadiannya juga turut serta dalam aksi klitih. Korbannya pun sudah bukan dari sesama remaja, tapi dari segala usia dan jenis kelamin. Klitih sendiri malah menjadi ajang perampokan pada sebagian kasus. Pelaku tak hanya melukai korban, namun juga mengambil barang berharga, bahkan nyawa.

Dilihat dari sejarahnya, Yogyakarta tak lagi asing dengan aksi kenakalan remaja. Pada tahun 1980-1990-an terdapat dua geng melegenda yang menguasai sebagian wilayah di Yogyakarta. QZRUH dan JOXZIN. QZRUH merupakan singkatan dari Q-ta Zuka Ribut Untuk Tawuran, sedang JOXZIN adalah kependekan dari Jozo Xhinting atau Pojox Benzin, juga Jogja Zindikat. Keduanya masing-masing mempunyai basis dan pendukung kuat.

Krisis Jati Diri

Dalam kasus klitih, peran pemuda menjadi dominan. Masalahnya, bukan dominan dalam kebaikan, namun dominan pada keburukan. Usia remaja adalah fase di mana remaja sedang menentukan arah kehidupannya. Dalam fase ini remaja akan membuka tabir pengasuhan dan lingkungan hidupnya selama ini.

Ketika masa kanak-kanak dan remaja tidak memperoleh pengasuhan berbasis kepribadian yang baik, juga lingkungan sebagai pendukung tumbuh kembang tidak kondusif, maka masa remaja menjadi langkah pertama bagi mereka menuju krisis jati diri. Mereka akan terus mencari sebuah titik yang mereka anggap sebagai 'tempat' yang nyaman untuk ditinggali.

Masalahnya, ketika pemuda yang mempunyai krisis jati diri dibiarkan mencari sendiri jati dirinya dan tidak ada pendampingan dari orang terdekat, maka hasilnya adalah tempat pertama yang mereka rasa sebagai tempat yang nyaman akan mereka perjuangkan. Tak peduli tempat itu adalah tempat yang benar atau bukan.

Apalagi dalam sistem demokrasi, yang sah menghalalkan segala aktivitas jika berteduh di bawah payung hak asasi manusia, remaja dapat terjerumus pada pergaulan buruk seperti geng jalanan, narkoba, juga pergaulan bebas. Terbukti, selama puluhan tahun geng-geng semacam ini tak pernah benar-benar dapat dihapus oleh pemerintah. Malah semakin hari, semakin menjamur.

Klitih Lahir dari Rahim Sekularisme

Kegagalan pemerintah dalam menghilangkan geng jalanan atau geng pemuda ini merupakan tanda nyata, jika peraturan yang diterapkan tidak mampu menjadi solusi jitu. Jika diperhatikan dengan seksama, pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) yang dianut oleh negara ini merupakan sumber terjadinya krisis jati diri pada remaja.

Kehidupan bebas yang didukung oleh aturan, mengantarkan remaja tak kenal agama. Padahal, agama merupakan fondasi dasar bagi terbentuknya kepribadian seseorang. Apalagi hal ini didukung oleh berbagai aturan dalam pendidikan dengan moderasi yang gamblang menunjukkan keberpihakannya pada budaya Barat.

Sekularisme yang menginginkan pemisahan agama dari kehidupan akan terus menciptakan gesekan dengan prinsip agama. Apalagi Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sebuah pandangan hidup yang harus diterapkan secara riil dalam kehidupan. Jelas akan bertentangan dengan sekularisme.

Aktivitas klitih menjadi salah satu buah dari penerapan sekuler. Dimulai dari kerapuhan keluarga akan pemahaman Islam, ditambah lingkungan yang jauh dari nilai-nilai Islam, dan terakhir diperparah oleh negara yang menerapkan sekularisme pada setiap aspek kehidupan. Akibatnya krisis jati diri marak terjadi, hingga pengasuhan keluarga dan pendidikan tidak lagi mampu membentuk kepribadian yang dapat mengenali baik dan buruk, aktivitas bermanfaat atau mudarat. Lantas bagaimana penerapan Islam dapat menuntaskan persoalan remaja?

Islam Menjawab Persoalan Remaja

Remaja adalah masa peralihan di mana secara fisik, emosi, dan psikologi beralih ke dalam bentuk yang lebih matang atau lazim disebut dewasa. Dalam masa peralihan ini, banyak godaan yang selalu ada di hadapan para remaja, misal hormon yang bergejolak, perasaan tertarik pada pada lawan jenis, serta butuhnya pengakuan akan eksistensi diri.

Di sisi lain, pemuda adalah aset bangsa, yang jika tumbuh dengan baik maka baiklah masa depan negara. Sebaliknya, buruknya pemuda menjadi alarm kejatuhan suatu bangsa. Islam pun sangat memperhatikan masalah remaja. Bahkan, remaja atau pemuda sering disebut secara spesifik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Misal, hadis dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw. bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang matimu.”(HR. Hakim)

Krisis jati diri harusnya dapat dihindari ketika aturan dalam masyarakat berhasil membentuk pribadi yang bermoral dan berkarakteristik khas. Dalam permasalahan krisis jati diri, tak bisa dipisahkan dari pengasuhan orang tua, masyarakat yang kondusif, dan aturan negara yang membentuk kepribadian Islam.

Maka untuk mencetak remaja yang berkualitas akan dimulai dari ranah domestik, yakni keluarga. Keluarga yang menanamkan akidah dari masa kanak-kanak akan membekas hingga mereka dewasa. Apalagi jika didukung oleh masyarakat yang juga memiliki nilai-nilai islami akan menjadi benteng kedua bagi remaja ketika mereka salah arah. Sebab, amar makruf nahi mungkar akan terus digaungkan jika masyarakat melihat kemaksiatan di depan matanya.

Ditambah kurikulum pendidikan yang berbasis pada akidah Islam dan pembentukan kepribadian Islam, semakin matanglah akidah dan akhlak yang ada dalam diri para remaja. Hal ini tentu akan sempurna jika negara menerapkan aturan Islam sebagai sistem kenegaraan. Tentu, generasi yang tercetak bukan lagi generasi miskin jati diri dan akhlak. Namun, menjadi generasi atau pemuda impian segala bangsa yang berkarakter dan berkepribadian Islam.

Hal ini dari sisi pencegahan. Dari sisi sanksi sendiri ketika sudah terlanjur terjadi yang demikian, negara akan menghukum para remaja sesuai dengan kejahatannya, ketika dirasa si remaja sudah berusia balig. Namun, jika kejahatannya dilakukan sebelum masa balignya, maka mereka akan dikenai ta’zir. Khalifah atau Qadlilah yang akan menentukan sanksi yang bersifat mendidik bagi anak tersebut. Allahu a’lam bis-showwab .[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Peran Mubaligah Melawan Moderasi Beragama
Next
Refleksi Kebangkitan: Wahai Generasi, Belajarlah Pada Senja!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram