"Agenda moderasi yang dicanangkan Barat pun akhirnya semakin hari tampak semakin nyata berusaha untuk diwujudkan di negeri tempat _Baitullah ini berada. Padahal, tidak sedikit dari umat ini yang mulai memahami bahwa di balik agenda moderasi terdapat agenda untuk melemahkan Islam dan kaum muslimin, yang dalam pandangan Barat, selalu memiliki potensi untuk membawa bahaya bagi peradaban mereka."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)
NarasiPost.Com-Telah bersabda baginda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi, “Alangkah indahnya dirimu (Makkah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Makkah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini.” Hadis ini merupakan pengakuan Rasulullah saw. bahwa betapa cintanya beliau terhadap tanah kelahirannya itu, walaupun beliau sudah berhijrah ke Madinah. Rasa rindu terhadap Makkah pun kerap diungkapkan Rasulullah saw. dalam beberapa kesempatan. Yang semuanya menunjukkan satu hal yang sama, Makkah punya tempat yang spesial di hati baginda Rasulullah saw.
Itu ribuan tahun yang lalu.
Tanah kelahiran beliau kini kondisinya jauh berbeda dengan yang beliau rindukan. Arab Saudi, yang notabene menghimpun haramayn atau dua tanah suci bersejarah bagi Rasulullah saw. bukanlah negeri yang sama dengan yang dirindukan beliau. Tahun 2021 menunjukkan pemandangan yang kontras dengan sebelumnya. Di dalam negara yang benderanya bertuliskan kalimat tauhid itu, justru semakin semarak merayakan apa yang disebut sebagai hari kelahiran tuhan. Berbagai ornamen untuk perayaan Natal kian ramai terpampang di sudut-sudut toko.
Tak hanya itu, seperti yang dilansir dari Detik (22/12/2021) menjelang akhir tahun 2021 pun Arab Saudi dihebohkan dengan konser musik yang menghadirkan musisi internasional, dihadiri oleh para pencinta musik dari kalangan perempuan dan laki-laki, bercampur-baur di lokasi konser. Aurat perempuan yang terumbar juga menjadi hal mencolok yang terlihat. Diadakannya konser ini otomatis mematahkan stigma publik akan keketatan Saudi dalam urusan interaksi pria dan wanita, sebagaimana yang selalu mereka dapatkan bertahun-tahun yang lalu. Lalu pertanyaan retoriknya, akankah baginda Nabi saw. masih merindukan tanah kelahirannya itu hari ini?
Vision 2030 dan Wajah Tanah Suci Kini
Sejak kekuasaan Saudi dipegang oleh Raja Salman, terlebih lagi berbagai sektor strategis yang dipegang oleh putra mahkotanya, yakni Muhammad bin Salman, wajah Saudi berusaha untuk dirombak secara drastis. Mulai dari aspek politiknya, ekonomi, hingga sosial-pergaulan pun tak lupa untuk diubah. Secara politik, hal ini terlihat ketika Arab Saudi sudah tak ragu lagi menunjukkan hubungan kekerabatannya dengan Israel, negara yang secara nyata dan konsisten menjajah umat Islam di Palestina. Sedangkan dari segi ekonomi, Arab Saudi yang selama ini dikenal kaya akan sumber daya alam berupa minyak dan gas buminya, beberapa tahun terakhir justru tak mau menekankan pemasukan ekonominya dari sektor migas saja, melainkan dari real estate atau properti. Aspek sosial-pergaulan juga tampak lebih longgar, mulai dari perempuan yang diizinkan untuk keluar rumah tanpa mahramnya hingga konser yang di dalamnya terjadi ikhtilat atau campur baur diperbolehkan.
Semua ini tidak bisa dipisahkan dari penetapan apa yang disebut dengan Vision 2030 sejak masa pemerintahan Muhammad bin Salman. Menurut laman resmi proyek pemerintah Arab Saudi ini, Vision 2030 merupakan sebuah visi di mana Saudi hendak menguatkan posisinya yang strategis di dunia Islam dari sektor politik pemerintahan, investasi, ekonomi, pariwisata hingga energi dan ditargetkan terwujud pada tahun 2030. Visi yang berjargon “visi ambisius untuk bangsa yang ambisius” ini mendorong Saudi untuk melakukan perombakan kebijakan di banyak lini.
Dengan berporos pada investasi dan ekonomi, Saudi menetapkan berbagai regulasi yang bisa melancarkan ketercapaian tujuan visi ini. Tentu termasuk di dalamnya adalah “melunakkan” aturan-aturan yang selama ini membuat wajah Saudi terlihat begitu “Islam konservatif” di mata dunia internasional. Bak gayung bersambut, Vision 2030 sejalan dengan agenda global dengan diarusutamakannya moderasi di berbagai negeri kaum muslimin. Konsekuensi dari keikutsertaan Saudi dalam menyukseskan agenda ini adalah semakin pudarnya wajah “Islam” yang melekat pada tanah suci. Ibaratnya, menjadi moderat dan toleran bukanlah suatu masalah, selama memang hal tersebut bisa memberikan sumbangsih terhadap keberhasilan Vision 2030 yang sarat dengan kepentingan ekonomi ini.
Arab Saudi Moderat, Barat Jadi Kiblat
Kiblat memang umumnya dimaknai sebagai arah salat kaum muslimin seluruh dunia. Namun, makna Barat menjadi kiblat di sini tentu bukan artinya ke sanalah Saudi menghadapkan wajahnya ketika salat. Penguatan ekonomi dan investasi yang dibalut dengan kebijakan untuk menegakkan moderasi oleh Saudi memberikan tanda yang jelas, ke mana arah pemerintahan ini berjalan. Barat sebagai pihak yang secara nyata menggaungkan pentingnya melakukan moderasi agama, khususnya Islam, berusaha untuk menguatkan agendanya itu agar disetujui juga oleh negeri-negeri Islam.
Saudi pun sekitar sedekade terakhir ini semakin menunjukkan dekatnya hubungan yang terjalin antara mereka dengan Barat, Amerika Serikat secara spesifiknya. Agenda moderasi yang dicanangkan Barat pun akhirnya semakin hari tampak semakin nyata berusaha untuk diwujudkan di negeri tempat Baitullah ini berada. Padahal, tidak sedikit dari umat ini yang mulai memahami bahwa di balik agenda moderasi terdapat agenda untuk melemahkan Islam dan kaum muslimin, yang dalam pandangan Barat, selalu memiliki potensi untuk membawa bahaya bagi peradaban mereka.
Ide moderasi yang lahir dari rahim peradaban Barat harus semakin luas dipahami oleh umat. Jika disemai ke negeri-negeri Islam, terlebih ke tanah suci kaum muslimin, maka kehancuranlah yang akan dituai nantinya. Wacana moderasi tidak akan menjadikan Saudi atau kaum muslimin secara umumnya menjadi lebih baik-dalam perspektif Islam- karena implementasi agenda ini hanya akan membuat Barat senang saja. Dan ketika Barat senang dengan progress yang ditempuh kaum muslimin itu, maka kondisi umat ini semakin jauh dari kondisi idealnya sebagai khairu ummah atau umat terbaik.
Hal ini jelas terlihat ketika mereka yang disebut “khadim haramayn” atau penjaga 2 tanah suci malah bangga dengan perubahan yang didasari kepentingan duniawi belaka. Kebanggaan itu menjadi bukti bahwa Islam tidak menjadi qaidah fikriyah atau landasan berpikir penguasanya dan tentu akan melahirkan banyak sekali kerancuan dalam menjalankan pemerintahan. Kondisi Saudi hari ini juga menunjukkan bahwa meskipun kiblat umat Muhammad saw. ada di tanahnya, namun jika pengampu kuasanya tidak benar-benar menjalankan Islam secara benar dan menyeluruh dalam semua lini kehidupan, serta tidak menjadikan Islam sebagai landasan kehidupannya, termasuk urusan politik pemerintahan, maka Saudi jelas tidak dapat dikatakan sebagai representasi pemerintahan yang syar’i di dalam Islam. Hal tersebut juga semakin menyibak keberhasilan Barat dalam merongrong peradaban umat Islam, melalui tangan-tangan penguasa muslimnya sendiri. Wallahu a’lam bisshawwab.[]