"Pendidikan adalah kebutuhan primer masyarakat yang wajib terpenuhi. Negara harus menjadi barisan pertama yang memenuhinya secara sempurna bagi setiap individu. Karena tugas menunaikannya adalah bukan saja bagian dari pemenuhan kebutuhan pemerataan pendidikan semata. Namun, bagian dari bentuk perintah Allah sebagai kewajiban melaksanakan _ri'ayah su'unil ummah, yaitu memikirkan, mengelola semua urusan dan nasib umat (rakyat)."
Oleh. Dira Fikri
NarasiPost.Com-Pandemi Covid-19 telah mengubah sebagian besar sistem tatanan dunia saat ini. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan kita. Sejak awal tahun 2020 lalu, Indonesia juga tidak lepas dari badai pandemi yang membuat pembelajaran kita sebagian besar beralih ke media daring (online). Pengurangan pembelajaran tatap muka harus dijalani, demi kemaslahatan yang lebih besar, melindungi nyawa manusia.
Kerugian belajar (learning loss) juga terjadi. Meski sebelum pandemi kerugian belajar juga telah kita alami akibat kesenjangan pendidikan antarwilayah dan kelompok sosio-ekonomi. Menurut Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek RI, ada kesenjangan di wilayah timur dan barat Indonesia dalam hasil belajar literasi dan numerasi siswa. Bahkan siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar, seperti buku teks cenderung tertinggal lebih jauh daripada yang memilikinya. Belum lagi faktor internal keluarga seperti ibu siswa yang tidak bisa membaca akan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Sebelum pandemi, data PISA menunjukkan bahwa sekolah yang melayani siswa dari keluarga miskin secara rata-rata tertinggal 3 sampai 4 tahun pelajaran dibanding yang melayani siswa dari kelas sosial-ekonomi atas. Dan bisa dipastikan akan meningkat angka kesenjangannya akibat pandemi. Hal ini belum ditambah dari aspek emosional dan spiritual yang merupakan aspek penting dalam pembelajaran.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyiapkan kurikulum prototype sebagai kebijakan pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19. Karena bersifat pemulihan, materi dari kurikulum 2013 akan dikurangi dan dipilih materi yang esensial. Guru didorong untuk berinovasi pada pembelajaran dan fokus kepada siswa berdasarkan konteks, kebutuhan, dan potensi yang beragam.
Akses dan kualitas adalah dua aspek penting yang memengaruhi ketimpangan pendidikan. Sedang ketimpangan pendidikan adalah merupakan permasalahan sistemik. Dan jika dibiarkan akan menjadi permasalahan sosial politik yang serius.
Ketimpangan pendidikan tidak lepas dari hasil ketimpangan masyarakat. Jurang antara si kaya dan si miskin sangat berkorelasi dengan hasil belajar dan prestasi akademik siswa. Akses fasilitas belajar bagi siswa juga berdampak pada kualitas hasil pembelajaran. Meski dalam beberapa kasus kita temui banyak guru-guru inspiratif yang tergerak untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran di ruang keterbatasan fasilitas pembelajaran. Namun hal ini tetap menjadi permasalahan pemerataan pendidikan yang berkualitas.
Ketimpangan ini adalah hasil dari penerapan kapitalisme di negeri ini. Kebebasan kepemilikan yang menjadi salah satu ide dasarnya telah menjadikan negara hanya berperan sebagai regulator semata. Penyelenggaraan pendidikan diserahkan ke publik, otonomi dan tentu pemilik modal menjadi penguasanya. Pendidikan yang dikelola seperti layaknya bisnis yang berorientasi materi dan keuntungan. Layaknya barang mahal yang tidak mampu dijangkau secara merata oleh masyarakat, membuktikan jaminan pendidikan masih jauh dari kata berhasil.
Mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkeadilan adalah salah satu amanat dan cita-cita bangsa ini. Maka kapitalisme yang menjadi sumber penghambat pemerataan pendidikan yang berkeadilan harus dibuang. Karena pendidikan hanya akan jadi komoditas jual beli. Selama peradigma seperti ini masih berjalan di negeri ini, maka pemerataan pendidikan hanya akan menjadi angan-angan.
Sedang dalam sistem Islam berbeda. Pendidikan adalah kebutuhan primer masyarakat yang wajib terpenuhi. Negara harus menjadi barisan pertama yang memenuhinya secara sempurna bagi setiap individu. Karena tugas menunaikannya adalah bukan saja bagian dari pemenuhan kebutuhan pemerataan pendidikan semata. Namun, bagian dari bentuk perintah Allah sebagai kewajiban melaksanakan ri'ayah su'unil ummah, yaitu memikirkan, mengelola semua urusan dan nasib umat (rakyat).
Hal ini tidak akan pernah bisa terwujud jika hanya menegakkan Islam di dalam wilayah individu muslim saja. Karena sistem Islam membutuhkan penerapan Islam kaffah (keseluruhan) dalam setiap aspek kehidupan. Meski hari ini kita harus menghadapi berbagai tantangan di tengah era kehidupan kapitalistik yang telah mengakar. Namun, keyakinan akan kebenaran Islam dan kesungguhan aktivitas dakwah Islam yang akan membawa rahmat, tak terkecuali di dunia pendidikan, harus kita lalui.
Sejarah telah bicara, bagaimana Islam pernah menjadi mercusuar dunia dalam bidang pendidikan. Ilmuwan muslim dengan penemuan-penemuannya telah tercatat dengan tinta emas. Selama berabad-abad lamanya, Islam telah memberikan sumbangsih besar dalam dunia pendidikan yang bahkan saat ini kita masih saksikan jejaknya. Hal ini tentu menjadi renungan bagi kita di tengah dunia pendidikan yang rapuh dan jauh dari kata bermutu serta merata.
Wallahu’alam.[]