Eijkman-BRIN Dilebur, Tata Kelola Riset dan Saintek di Alam Kapitalisme Labil!

"Labilnya pengaturan tata kelola ekosistem riset di negeri ini sungguh dikarenakan adanya paradigma kapitalistik sekuler. Prinsip sekuler telah menjauhkan agama dari pengaturan tata kehidupan dan bernegara. Bermunculanlah pribadi-pribadi pemimpin negeri yang _hubb ad-dunya (cinta dunia), mengedepankan hawa nafsu dalam meraih semua yang diinginkan."

Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

NarasiPost.Com-Kemajuan sains salah satunya ditentukan oleh seberapa baik kultur riset didukung dan berjalan dalam sebuah negara. Apa yang terjadi jika ekosistem riset di negeri ini masih sangat labil? Dengan dalih pengaturan pelembagaan, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman yang telah menjalani beragam proses riset selama beberapa dekade kini dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Maka, wajarlah jika polemik pun mencuat karenanya.

Sebagaimana diberitakan salah satunya oleh detik.com (3/1/2022) bahwa peleburan tim Waspada Covid-19 (Wascov) LBM Eijkman ke BRIN telah menuai pro kontra. Beberapa di antaranya mempertanyakan terkait independensi Eijkman. Terlebih saat publik berharap bahwa dari lembaga tersebutlah akan muncul inovasi-inovasi penyelesaian kasus pandemi. Ada juga yang menyayangkan keberadaan lembaga riset yang dahulu pernah diperjuangkan dengan segenap daya upaya oleh B.J. Habibie dan Sangkot Marzuki dari kondisi mati surinya lantas menjadi Lembaga Biologi Molekuler yang diperhitungkan dunia luar. Lembaga ini mampu sprint mengejar ketertinggalan riset khususnya di bidang genomic. Hingga akhirnya membesar dan memiliki laboratorium khusus riset malaria, demam berdarah, genetika sel darah, penyakit akibat gaya hidup, bahkan dalam sejarahnya perdana bagi laboratorium dalam negeri mampu mengidentifikasi tersangka kasus bom bunuh diri di Bali tahun 2004. Sungguh pencapaian luar biasa dan sangat disayangkan jika akuisisi tersebut justru akan meredupkan nasib riset di tanah air.

Labilnya Tata Kelola Ekosistem Riset Saintek

Perlu diketahui bahwa kronologis peleburan tersebut berawal dari UU Ciptaker No.11 Pasal 121 Tahun 2020. Isinya memberi kewenangan luas pada BRIN untuk menjalankan; melakukan proses pengembangan, pengkajian, dan penerapan; serta menjalankan invensi dan inovasi yang terintegrasi. Ketiadaan perincian pada pasal tersebut dibersamai dengan adanya open legal policy (kebijakan hukum terbuka) di Pasal 48 Ayat 3-nya. Beleidnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Riset dan Inovasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan presiden.” Jadilah di tahun 2021 presiden mengeluarkan Perpres No.78 sebagai pengaturan lebih lanjut terkait beragam aspek BRIN termasuk di dalamnya peleburan lembaga-lembaga riset, LBM Eijkman salah satunya.

Peleburan Eijkman dan badan riset lainnya menampakkan bahwa pengaturan tata kelola ekosistem riset sains di negeri ini masih sangat labil. Di satu sisi konon katanya berkeinginan menjadikan citra bangsa naik dengan mendukung gerak lembaga ristek, namun di sisi lainnya mengerangkeng tata kelola pelaksanaan riset. Hal itu untuk menjamin arah penelitian tetap on the track mengikuti kepentingan rezim. Buktinya, komando Dewan Pengarah BRIN diserahkan pada ketua umum salah satu partai besar, sekaligus Ketua BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Padahal sosoknya tak pernah dikenal sebagai periset, atau mempunyai track record bidang ristek. Alih-alih akan mengarahkan pada kemajuan teknokrasi, yang ada sangat mungkin arah ristek ditunggangi kepentingan politik tertentu.

Ditambah adanya problem anggaran yang sangat akut. Negara merasa urgent mengambil langkah strategis dalam rangka pemangkasan anggaran di setiap lembaga pemerintahan. Tak heran, itung-itungan anggaran bagi pelaksanaan riset di berbagai lembaga diperhatikan demikian ketatnya. Tak peduli jikapun harus “mengorbankan” demikian banyak periset potensial juga tenaga administrasi di lembaga riset. Mereka terpental dari ekosistem riset hanya karena statusnya non-ASN. Adapun empat opsi mekanisme perekrutan tenaga honorer periset dan nonperiset di LBM Eijkman dibuat sedemikian rupa sekadar untuk memperlihatkan pada publik bahwa mereka fair.

Dalam kasus peleburan Eijkman saja, 113 pegawai honorer dan PPNPN (Pegawai Pemerintah Non-Pegawai Negeri), 71 di antaranya peneliti, terancam dirumahkan. Sungguh disayangkan, potensi yang ada pada insan-insan yang telah mendedikasikan dirinya selama ini bagi kemajuan riset dalam negeri.

Padahal akuisisi lembaga penelitian, lebih jauh dapat memengaruhi pada terkatung-katungnya nasib riset yang tengah berjalan. Khusus LBM Eijkman yang dalam beberapa tahun terakhir demikian konsen sebagai pelaksana Wascov-19. Ia telah menghasilkan beragam inovasi yang begitu bermanfaat bagi masyarakat. Dan terakhir sedang mengembangkan vaksin Merah Putih yang digadang-gadang akan dilempar ke masyarakat tahun 2022 sebagai vaksin booster. Kasus peleburan Eijkman pun memunculkan kekhawatiran banyak pihak akan mengakibatkan terhambatnya laju penyelesaian vaksin tersebut.

Ini semua sungguh mengindikasikan rendahnya perhatian negara terhadap riset dan periset. Butuh diingat bahwa ada risiko besar menunggu di hadapan jika bidang riset tak mendapat porsi perhatian yang cukup. Mulai dari ketergantungan negara pada pihak korporat/swasta, terlebih asing terkait kebutuhan rakyat akan hasil inovasi. Kasus vaksin Covid-19 salah satunya.

Ketika disadari bahwa riset itu butuh didukung pembiayaan yang tak sedikit, negara pun memutar otak dengan membuka mekanisme “kerja sama” dengan pihak industri. Bahkan demi memuluskannya dibuatlah taktik insentif super deduction tax (pengurangan pajak super) bagi perusahaan hingga 300 persen.

Negara pun menjadi tak mandiri, berdampak intervensi dari para pelaku korporat raksasa dalam pengurusan hajat rakyat. Bahkan ancaman atas kedaulatan bangsa pun tinggal menunggu waktu. Sungguh megarisiko yang butuh untuk dipikirkan akar persoalan dan solusi mendasar dan menyeluruhnya.

Riset dan Saintek di Alam Kapitalisme Sekuler: “Dunia Minded” Plus Minim Anggaran

Labilnya pengaturan tata kelola ekosistem riset di negeri ini sungguh dikarenakan adanya paradigma kapitalistik sekuler. Prinsip sekuler telah menjauhkan agama dari pengaturan tata kehidupan dan bernegara. Bermunculanlah pribadi-pribadi pemimpin negeri yang hubb ad-dunya (cinta dunia), mengedepankan hawa nafsu dalam meraih semua yang diinginkan. Jabatan dan harta pun menjadi sesuatu yang terus dikejar, tanpa pertimbangan halal haram. Ketika ada di tampuk kekuasaan, semua langkah akan ditempuh demi mengamankan posisi. Apa pun yang dapat menghambat ambisi kekuasaan akan ditekan bahkan disingkirkan. Dengan berlindung dan mengatasnamakan Pancasila, lawan politik dan pihak-pihak yang dianggap berseberangan akan diberangus atau dihambat, sehingga arah riset pun tak boleh keluar dari prinsip tersebut. Sangat “dunia minded”.

Sistem kapitalisme yang dianut telah meliberalkan tata kepemilikan sumber daya alam. Harta kekayaan alam yang melimpah nyatanya tak mampu dinikmati oleh semua kalangan rakyat, melainkan hanya oleh segelintir pengusaha kaya lokal dan transnasional. Terbataslah anggaran untuk menjalankan keberlangsungan negara dan pembangunan. Itu pun diperas dari rakyat melalui sektor pajak. Jika masih kurang, utang luar negeri berbasis ribalah yang menjadi opsi. Astagfirullah, bagaimana akan berkah?

Keterbatasan anggaran “mengharuskan” negara memutar otak, membagi-baginya demikian ketat. Peleburan banyak lembaga riset pun menjadi salah satu jurus pengetatan anggaran oleh negara.

Islam Mendukung Penuh Kemajuan Riset dan Saintek

Jika dalam sistem Kapitalisme sekuler, riset dan saintek sangat “dunia minded” dan terbentur anggaran, tidaklah demikian dengan Islam. Sebagai sistem kehidupan, Islam bersifat ideologis. Aturannya menyentuh setiap aspek kehidupan, mulai dari urusan pribadi, bermasyarakat hingga bernegara. Kebenaran dan keampuhannya dalam menyelesaikan problematika kehidupan pasti adanya. Itu karena ia berasal dari Zat yang Maha Pencipta dan telah diterapkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan diteruskan oleh Khalifah-Khalifah sepeninggalnya.

Islam sebagai ideologi telah membuktikan kepada dunia, ketika diterapkan dalam bingkai pemerintahan yang sah, kemajuan aktivitas riset, sains dan teknologi demikian cemerlang. Diawali dari aspek motif, Islam mendudukkannya dalam posisi yang demikian mulia dan agung. Semua berlandaskan pada ruh idrak shilah billah. Aktivitas pengembangan riset dan saintek pun diniatkan karena adanya kesadaran bahwa Allah memerintahkan setiap diri untuk bermanfaat bagi lingkungan dan sesama (hadis riwayat Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). Penguasa juga termotivasi memberi dukungan terbaik atas terlaksananya ekosistem riset.

Hasilnya kita bisa mendapati di bentangan sejarah peradaban Islam yang sangat panjang, lahirlah para ilmuwan muslim polymath. Ada Abu Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-Kindi, Jabir ibn Hayan, Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, al-Farabi, Abu Ali al-Hussain ibn Abdullah ibn Sina, ibn Rusyd dan masih banyak yang lainnya. Luar biasanya, selain mereka piawai dalam urusan sains, dalam waktu bersamaan mereka pun adalah sosok-sosok ulama yang faqih fiddin (paham urusan agama).

Kitab-kitab sains, juga teknologi hasil pengembangan riset ilmuwan muslim di beragam bidang dihasilkan dan sangat bermanfaat bagi umat. Bahkan mereka menjadi rujukan ilmuwan dunia sesudahnya. Masyarakat dunia pun banyak mengambil manfaat produk sainteknya. Dukungan penuh dari negara pada riset dan saintek menunjukkan betapa pemerintahan Islam selain memiliki political will yang baik juga sistem ekonomi dan keuangan yang mapan. Ini disebabkan prinsip kepemilikan dalam Islam sangat jelas. Pengaturannya memastikan harta kekayaan umum dan negara tak akan pernah beralih ke tangan korporat. Negara pun memiliki sumber pendanaan melimpah dalam pengurusan setiap hajat rakyat.

Kesimpulannya bahwa dalam sistem pemerintahan Islam yang khas dinamakan Daulah Khilafah Islam ‘ala Minhaj an-Nubuwwah tak akan didapati labilnya tata kelola ekosistem riset dan saintek sebagaimana biasa terjadi di alam kapitalisme sekuler. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Yuliyati Sambas Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Cuitan Nista Dibela, Kenapa Bisa?
Next
Kurikulum Prototipe Bersifat Opsional, Negara Lepas Tangan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram