"Kebebasan berpendapat yang dijamin oleh demokrasi juga mengambil andil dari penyebab maraknya penistaan terhadap Islam. Sayangnya demokrasi tidak memiliki ukuran yang pasti untuk menyaring pendapat mana saja yang boleh atau tidak untuk diungkapkan."
Oleh. Ita Harmi
( Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Bagai jamur di musim hujan, kasus penistaan terhadap Islam kian marak terjadi dan dengan gampangnya dilakukan oleh siapa saja. Seperti kasus yang viral belakangan ini, Ferdinand Hutahean, seorang mantan politisi Partai Demokrat yang pernah mengunggah foto tak senonohnya di media sosial. Ia kembali mengguncang jagat media sosial lewat cuitan di utas milik pribadinya. Frase "Allahmu lemah" menjadi delik untuk penetapan Ferdinand sebagai tersangka pelaku penistaan agama.
Saat ini, Ferdinand sendiri sudah menjadi tahanan di rutan Mabes Polri untuk menjalani penyidikan. Ia dijerat dengan tuduhan membuat keonaran yang terdapat pada pasal 14 ayat 1 dan 2 KUHP Undang-Undang No 1 tahun 1946, dan juga pasal 45 ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 dengan ancaman 10 tahun seluruhnya. Demikian keterangan yang diberikan oleh Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan. (Detiknews, 11/1/2022)
Walaupun cuitan yang diunggah oleh mantan politisi Partai Demokrat ini disebut sebagai pemicu keonaran, tetapi kasus ini mengarah pada kasus penistaan agama pada hakikatnya. Penistaan terhadap Islam memang sering berulang kali terjadi di Indonesia. Miris, negara dengan mayoritas penduduk muslim, justru sering mengalami penistaan terhadap Islam. Siapa pun, di mana pun, dan bagaimanapun dengan gampang dan mudahnya bisa melecehkan Islam sesuka hatinya, bahkan tanpa ragu dan tanpa dosa.
Sebelum Ferdinand, penistaan terhadap Islam yang dilakukan oleh Joseph Paul Zhang di layar Zoom, yang merupakan seorang WNI keturunan Cina. Sayangnya sanksi hukuman terhadap Zhang tidak dipastikan dengan jelas. Sementara kasus penistaan paling membahana adalah kasus cawagub Ahok yang saat itu sedang melaksanakan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada tahun 2016 silam. Ia menyebut bahwasanya umat Islam diperdaya oleh ayat 50 di surat Al Maidah agar tidak memilih dirinya sebagai pemimpin yang notabene adalah nonmuslim.
Ironis, pelaku penistaan terhadap Islam bukan hanya dari kalangan nonmuslim, justru dari kalangan muslim sendiri juga tak kalah banyak. Sebut saja Ade Armando, Denny Siregar, Permadi Arya alias Abu Janda, Muhammad Kece, bahkan yang bergelar "Buya" atau Ustaz juga menjadi pelaku penistaan. Nama Buya Syakur belakangan menjadi viral dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa Islam bukanlah agama yang sempurna dan tidak akan pernah bisa sempurna. Bagaimana bisa muslim melecehkan agamanya sendiri?
Yang menyakitkan dari kasus penistaan kali ini adalah terdapatnya sejumlah pembelaan terhadap pelaku penistaan. Tak tanggung-tanggung, yang menjadi pembelanya adalah Menteri Agama sendiri. Menag Yaqut dalam laman Kemenag mengimbau agar muslim Indonesia tetap bersabar dan tidak terburu-buru dalam menghakimi pelaku. (7/1/2022)
Ditambah lagi dengan pembelaan dari politikus PDIP, Kapitra Ampera, yang juga mengimbau hal serupa, bahkan meminta kepada umat muslim Indonesia untuk memaafkan Ferdinand. Hal ini karena dipicu adanya pengakuan dari pihak pelaku bahwa dia sebenarnya sudah masuk Islam. Karena itu, menurut Kapitra, Ferdinand layak untuk mendapatkan bimbingan bahkan juga layak mendapatkan zakat. (Jpnn, 10/1/2022)
Indonesia memang negara dengan mayoritas penduduknya muslim. Namun, tidak serta merta menjadikannya negara dengan nuansa yang islami. Pandangan hidup yang menjauhkan agama dari kehidupan menjadi pondasi dari pilar-pilar kebangsaan. Sekularisme tak ayal membuat agama terpenjara hanya di sudut-sudut masjid. Peran agama dalam kehidupan sehari-hari dikucilkan sedemikian rupa, hingga para penganut Islam sendiri sudah banyak yang tak mengenal lagi agama mereka. Muslim hidup layaknya kehidupan nonmuslim, yang membedakannya hanyalah salat, itu pun kalau mereka masih ingat untuk mendirikan salat.
Keadaan tersebut juga didukung dengan adanya hak asasi manusia yang diusung oleh demokrasi. Sementara demokrasi sendiri adalah sistem ketatanegaraan yang disandang oleh bangsa ini. Atas nama HAM, demokrasi menjamin kebebasan manusia untuk berekspresi mengungkapkan pendapatnya. Seperti dua sisi mata pisau, bila kebebasan dimaksudkan pada hal-hal yang positif, tentu akan membawa kebaikan. Namun, berbahaya bila kebebasan berujung pada tindakan negatif, maka yang akan terjadi hanyalah keonaran dan perselisihan. Inilah alasan kenapa demokrasi merupakan sistem hipokrit yang sama sekali tidak layak berperan untuk mengatur sebuah negara.
Di samping itu lemahnya sanksi hukum terhadap para pelaku penista agama membuat mereka tidak jera untuk terus mengulangi tindakan penistaan. Lemahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku adalah bukti dari kegagalan negara memberantas tumbuh dan berkembangnya para penista agama. Untuk kasus setingkat Ahok saja hanya divonis dua tahun penjara. Itu pun sudah dipotong masa tahanan saat penyidikan. Belum lagi banyaknya jenis potongan masa tahanan (remisi) yang diberlakukan pemerintah. Maka tak pelak, sanksi hukum yang ada justru mandul terhadap pencegahan kasus serupa.
Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang tepat untuk menangani kasus-kasus penistaan agar para pelaku menjadi jera untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Tak ayal, akar masalah dari terjadinya penistaan adalah jauhnya fungsi agama dalam kehidupan. Agama kehilangan peran dalam mengurus segala bentuk kehidupan manusia. Oleh karenanya, kesalihan individu merupakan sebuah keniscayaan. Keringnya ruh tentang kesadaran hubungan dengan penciptanya, yakni Allah Swt. telah mengakibatkan seseorang hidup dalam pola liar tanpa aturan, cenderung semaunya tanpa memperhatikan halal haram perbuatannya. Mengikuti kembali aturan yang Allah berikan adalah kunci utama untuk memutus lingkaran setan sekularisme.
Kesalihan individu juga tentu tak hanya bergantung pada kesadaran individu itu sendiri akan kontak batinnya dengan Tuhannya. Namun, faktor keluarga dan lingkungan juga turut mewarnai kepribadian seseorang. Karenanya kontrol masyarakat juga sangat diperlukan untuk membentuk karakter salih dan salihah di tengah umat, yaitu dengan cara amar makruf nahi mungkar.
Kebebasan berpendapat yang dijamin oleh demokrasi juga mengambil andil dari penyebab maraknya penistaan terhadap Islam. Sayangnya demokrasi tidak memiliki ukuran yang pasti untuk menyaring pendapat mana saja yang boleh atau tidak untuk diungkapkan. Oleh sebab itu, terbukti demokrasi memang tidak layak untuk mengatur urusan kehidupan manusia. Mengganti demokrasi yang absurd dengan sistem Islam yang sahih adalah satu-satunya cara yang bisa membumihanguskan para penista.
Islam sebagai agama yang sempurna, dimana kesempurnaannya dijamin langsung oleh penciptanya melalui Kalamullah di dalam Al- Qur'an adalah jawaban dari ketidaksudahan segala masalah yang sedang terjadi.
Sifat hukum Islam memiliki dua dimensi yang sangat agung. Pertama, zawajir, yakni sebagai pencegah. Yaitu mencegah pelaku yang lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Eksekusi hukum cambuk bagi para pezina dilakukan di lapangan terbuka bertujuan untuk menampakkan konsekuensi hukum terhadap masyarakat bila mereka berbuat hal yang sama.
Sifat hukum Islam yang kedua adalah jawabir, yaitu menghapus. Jika pelaku sudah menerima sanksi hukuman di dunia, maka atas kehendak Allah kesalahannya tidak akan dihisab lagi di akhirat kelak. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi saw. tentang seorang muslimah yang mengaku telah berzina, dan meminta agar dirinya dijatuhi hukuman. "Sungguh ia telah bertaubat seandainya dibagi antara 70 penduduk Madinah, sungguh akan mencukupi mereka semuanya". (HR. Muslim)
Lantas bagaimana Islam menghukum penista agama? Kasus seperti ini perlu dipastikan terlebih dahuku siapa pelakunya. Bila pihak kafir, maka berlakulah perang bagi mereka. Contohnya, negara Perancis yang terang-terangan menghina Nabi melalui Charlie Hebdo-nya. Sementara bila pelakunya adalah kafir dzimmi dimana hak warga negaranya ada dalam Islam, maka hukumannya adalah hukuman mati. Bila pelakunya muslim, maka hukumannya tetap hukuman mati. Namun, sebelum menjatuhkan vonis mati, pelaku berhak untuk dinasihati dan diingatkan terlebih dahulu. Bila menolak, maka dengan perbuatannya tersebut telah membuatnya murtad. Maka, hukum orang murtad juga berlaku padanya. Hal ini sesuai dengan ayat ke 12, 65, dan 66 pada surat At Taubah.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, ayat yang terkandung dalam surat At Taubah tersebut menetapkan hukuman mati terhadap penista Nabi saw. dan agamanya, serta menyebut Islam dengan nada melecehkan. Karenanya, Allah memerintahkan untuk memerangi para kafir yang menista. Sementara Ibnu Taimiyah dalam Al Majmu' fatawa mengatakan, "jika orang yang menista Islam adalah muslim maka ia wajib dihukum bunuh sesuai ijma' shahabat, karena ia telah menjadi orang kafir murtad, dan ia lebih buruk dari kafir asli." Beliau juga berkata bahwa mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran.
Demikian Islam menghukum para penista. Kira-kira adakah orang yang menginginkan untuk menjadi Ferdinand selanjutnya? Inilah yang dimaksud dengan hukum yang sempurna, tujuan dan maksud hukumannya jelas membawa efek jera.
Hanya saja, eksekutor resmi untuk pelaksanaan hukuman tersebut hanya ada pada negara, bukan kelompok apalagi individu. Karena itulah, keberadaan sebuah negara menjadi keniscayaan untuk diwujudkan. Negara demokrasi tentunya tidak akan mau dan tidak akan pernah menerapkan hukum Islam, sebab dua ideologi bertolak belakang secara ide dan metode. Hanya Islam yang mampu diharapkan untuk menyelesaikan segala permasalahan kehidupan.
Wallahu a'lam bishowab.