Bagaimana Nasib Riset dan Para Peneliti di Negeri Ini?

"Oleh karena itu, wajar jika banyak terjadi fenomena brain drain, yaitu ketika banyak para ilmuwan, peneliti, dan intelektual yang hengkang dari negerinya sendiri untuk menetap di luar negeri."

Oleh. Annisa Fauziah, S.Si.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Di tengah euforia penyambutan tahun baru 2022, ternyata rakyat di negeri ini harus menerima pil pahit, yaitu pemberhentian 113 pegawai honorer Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman. Adapun 71 di antaranya adalah staf peneliti. Hal ini merupakan imbas dari peleburan LBM Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) per 1 September 2021 (Tempo.co, 2/2/22).

Meskipun nama lembaga ini tidak cukup familer di tengah masyarakat umum, tetapi kontribusinya untuk perkembangan riset tidak perlu diragukan lagi. LBM Eijkman dianggap sebagai pintu gerbang utama untuk membawa teknologi biomolekuler terbaru ke Indonesia. Lembaga ini juga terlibat dalam jaringan penelitian dan penelitian global tentang HIV Aids, flu burung (H5N1), SARS1, dan SARSCOV2, yang menjadi penyebab Covid-19 hingga saat ini (cnnindonesia.com, 1/1/22).

Sungguh ironis, peleburan ini justru terjadi di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum usai. Apalagi LBM Eijkman memiliki rekam jejak untuk terlibat langsung dalam penanganan pandemi. Dengan berbagai prestasi tersebut, tentu masyarakat bertanya-tanya, bagaimana nasib para pegawai tersebut?

Menurut mantan Kepala LBM Eijkman, Amin Soebandrio, sejak beberapa bulan terakhir, banyak peneliti non-PNS yang berupaya mencari ‘rumah baru’, yaitu memilih mencari pekerjaan di swasta. Sebab, para peneliti ini meragukan jenjang kariernya jika menjadi pegawai pemerintah.

Dilansir dari jawapos.com (4/1/22), Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro merekomendasikan tidak perlu melakukan peleburan LBM Eijkman ke BRIN. Sebab, ia mengungkapkan kekhawatiran para peneliti akan pergi ke lembaga lain atau memilih berkarier di luar negeri. Dengan demikian, apakah peleburan LBM Eijkman ke BRIN merupakan langkah yang tepat?

Fakta Riset dan Nasib Para Peneliti dalam Sistem Kapitalisme

Respons masyarakat terhadap diberhentikannya para staf honorer dan peneliti dari LBM Eijkman bisa saja didorong oleh faktor empati. Namun, kita pun perlu melihat dengan sudut pandang lebih luas lagi, sebenarnya ada tujuan apa di balik proses peleburan lembaga riset ini?

Hal yang patut diketahui bahwasanya LBM Eijkman bukanlah satu-satunya lembaga riset yang dilebur kepada BRIN. Lembaga lain yang sudah melebur ke dalam BRIN, yaitu Lapan, LIPI, Batan, dan BPPT. Hal ini merujuk kepada pasal 65 Perpres 78 Tahun 2021 mengenai peralihan berbagai lembaga penelitian dan pengembangan negara ke dalam BRIN (cnnindonesia.com, 1/1/22).

Dengan kebijakan seperti ini, apakah bisa memperbaiki kondisi riset di Indonesia? Lantas, ada kepentingan apa di balik peleburan berbagai lembaga penelitian itu ke dalam BRIN? Berbicara tentang iklim riset di negeri ini memang perlu banyak hal yang dibenahi. Bukan hanya sekadar berganti nama, justru esensinya adalah tentang apa yang menjadi dasar bangunannya serta kejelasan visi dan misi di dalamnya.

Visi dan misi yang tidak jelas akan mengakibatkan pengabaian kebutuhan riset serta berdampak pada minimnya dana yang dialokasikan untuk riset. Hal ini akan berimbas pula pada pembacaan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, tidak sedikit hasil riset yang hanya berakhir pada publikasi ilmiah, tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.

Oleh karena itu, wajar jika banyak terjadi fenomena brain drain, yaitu ketika banyak para ilmuwan, peneliti, dan intelektual yang hengkang dari negerinya sendiri untuk menetap di luar negeri. Alasannya memang beragam, tetapi salah satu faktor utamanya, yaitu jenjang karier dan kesejahteraan yang lebih menjanjikan di negara baru yang dipilih.

Sungguh miris, hasil karya para SDM unggul dan generasi terbaik di negeri justru dinikmati oleh negara lain. Anggaran dana yang terbatas di dunia riset menyebabkan ruang gerak para peneliti menjadi terbatas dalam mengembangkan berbagai karyanya. Hal ini seharusnya bisa menjadi refleksi bagi para pemangku kebijakan, bagaimana nasib peneliti dan riset di negeri ini?

Menurut ketua BRIN, Laksana Tri Handoko, terdapat tiga input dari riset dan inovasi, yaitu SDM unggul, infrastruktur, dan anggaran. Menurutnya, keberadaan BRIN diharapkan dapat memberi dampak ekonomi secara langsung dari proses riset dilakukan, yaitu dengan membuat sektor iptek menjadi tujuan investasi yang menarik dan dapat menjadi roda penggerak ekonomi (Republika.co.id, 20/5/2021).

Hal tersebut tentu akan semakin mengeksploitasi penelitian yang sesuai pasar dan industri sehingga mudah mencari modal dari swasta yang memiliki kepentingan. Dengan kondisi ini, apakah pemerintah akan lepas tangan dari tanggung jawabnya untuk menopang anggaran riset? Oleh karena itu, hal ini semakin menegaskan bahwa pemerintah hanya bertindak sebatas regulator antara pihak swasta dan rakyat.

Fenomena ini wajar terjadi karena Knowledge Based Economy (KBE) yang ada dalam sistem kapitalisme telah menjadikan ilmu sebagai faktor produksi. Artinya, ilmu dan riset diposisikan sebagai jasa yang harus dikomersialisasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, bagaimana independensi lembaga riset di negeri ini?

Sistem Islam sebagai Pencetak Ilmuwan Pembangun Peradaban

Jika sistem kapitalisme menjadikan riset berbasis kepentingan ekonomi maka sistem Islam menjadikan riset sebagai sarana untuk menjaga kemaslahatan umat. Artinya, riset bukan diarahkan untuk tujuan ekonomi dan investasi, tetapi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan umat. Lalu, bagaimana tata kelola riset di dalam sistem Islam?

Pertama, negara memiliki visi misi utama untuk memajukan peradaban Islam serta menjadi problem solver terhadap segala permasalahan umat. Kedua, negara memegang kendali penuh dalam pengaturan dan penentuan kurikulum pendidikan dan riset yang berbasis pada ideologi Islam. Ketiga, negara harus memastikan agar riset bebas dari kepentingan korporasi. Keempat, negara akan membangun perguruan tinggi lengkap dengan pusat-pusat penelitian, laboratorium, perpustakaan dan sarana lain sesuai kebutuhan serta memberikan gaji yang layak bagi para guru, dosen, dan peneliti.

Semua gambaran ini dibangun di atas fondasi yang kokoh, yaitu akidah Islam. Visi politik Islam dalam bidang riset ini menunjukkan bahwasanya sistem Islam memiliki misi besar untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Khilafah akan memiliki visi politik yang independen yang hanya berdasarkan pada Islam, termasuk dalam pengaturan risetnya yang tidak akan dikompromikan dengan korporasi.

Di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 141, Allah Swt. berfirman: “…Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”

Oleh karena itu, negara yang berideologi Islam tidak akan menggantungkan pendanaan riset kepada investasi swasta apalagi asing. Sebab, negara memiliki tata kelola terkait pemasukan dan pengeluaran negara berdasarkan syariat Islam, yaitu dikelola oleh Baitul Mal.

Selain itu, berbagai riset yang dilakukan tidak terlepas dari visi besar untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah serta menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh dunia. Sebaliknya, visi kapitalisme justru menjadikan riset sebagai salah satu alat untuk melakukan penjajahan demi meraup keuntungan materi.

Sistem Islam juga berhasil melahirkan para peneliti dan ilmuwan yang tidak sekadar mumpuni dalam bidang sains dan teknologi, tetapi juga memiliki ketakwaan dan kepribadian Islam yang kokoh. Semua itu tak terlepas dari output sistem pendidikan Islam yang memang dirancang untuk membentuk manusia bertakwa yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) secara utuh, yakni pola pikir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah Islam.

Pendidikan juga diarahkan untuk menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli dalam jumlah berlimpah di setiap bidang kehidupan yang merupakan sumber manfaat bagi umat, melayani masyarakat, dan membangun peradaban yang cemerlang. Gambaran kemajuan Islam dalam ilmu pengetahuan menunjukkan identitas umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah).

Khatimah

Peleburan LBM Eijkman serta berbagai lembaga riset lain ke dalam BRIN menjadi sebuah refleksi bahwasanya di dalam sistem kapitalisme kepentingan riset akan senantiasa dikompromikan dengan kepentingan korporasi. Hal ini semakin mengokohkan liberalisasi di dunia riset. Oleh karena itu, sudah saatnya kita tinggalkan sistem kapitalisme sekuler dan kembali menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam berbagai lini kehidupan. Sebab, hanya dengan ideologi Islam kita bisa membangun peradaban yang mulia.
[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Annisa Fauziah, S.Si. Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Taman Pintar yang Selalu Dirindukan
Next
Dokumen Digital, Ajang Bisnis di Sistem Kapitalis
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram