"Inilah realitas hukum dalam demokrasi, dimana sistem hidupnya diserahkan kepada manusia untuk membuatnya. Tolak ukur kemanfaatan adalah hal yang lazim digunakan untuk menetapkan baik buruk dan benar salahnya aturan. Padahal antarmanusia pasti berbeda dalam memandang manfaat segala sesuatu."
Oleh. Dwi Indah Lestari
NarasiPost.Com-Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Begitulah realitas hukum yang dapat disaksikan dalam sistem demokrasi. Sistem buatan manusia ini tidak akan mampu memberikan keadilan yang hakiki. Hanya karena bersikap kooperatif, menurut, dan tidak membantah, para pengendara mobil mewah yang melakukan konvoi di jalan tol Andara, Jakarta Selatan, tidak mendapat sanksi, meski telah menimbulkan kemacetan dan mengganggu pengguna jalan lainnya. Diberitakan bahwa petugas kepolisian hanya melakukan teguran dan peringatan saja kepada rombongan tersebut. Padahal aksi itu jelas telah melanggar aturan berlalu lintas.(cnnindonesia.com, 24 Januari 2022)
Anomali hukum seringkali dijumpai dalam berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Perlakuan hukum kerap berat sebelah dan tidak memenuhi rasa keadilan. Saat kalangan rakyat yang terbelit kasus, hukum diterapkan setajam mungkin. Bahkan tak segan menjatuhkan sanksi seberat-beratnya. Namun, berbeda kala yang terjerat hukum adalah penguasa atau kalangan atas. Hukum bisa dilobi-lobi supaya meringankan bahkan bebas dari ganjaran.
Masih lekat dalam ingatan, kasus Nenek Minah yang dijatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari, hanya karena mencuri 3 buah kakao. Padahal sang Nenek telah mengembalikan buah senilai Rp3000 yang diambilnya itu dan meminta maaf. Namun, proses hukum tetap berjalan dan dengan cepat memutuskan sanksi yang harus dijalani nenek berusia 65 tahun itu.
Sementara kasus pelanggaran aturan lainnya yang dilakukan oleh publik figur, tokoh, pejabat dan keluarganya, justru sering mendapat pemakluman. Contohnya vonis ringan kepada mantan jaksa Pinangki yang jelas melakukan tindak pidana penyuapan. Beberapa alasan yang meringankan di antaranya karena ia mengaku bersalah, menyesali perbuatannya dan ikhlas dipecat sebagai jaksa. Coba bandingkan kedua kasus tersebut. Tampak sekali bagaimana tebang pilihnya hukum yang diterapkan atas keduanya. Sama-sama tindak pidana. Namun saat menimpa rakyat kecil, diterapkan apa adanya. Sementara jika melibatkan pejabat, hukum bisa ditawar-tawar. Alasan kemanusiaan hanya berlaku untuk kalangan atas saja.
Inilah realitas hukum dalam demokrasi, dimana sistem hidupnya diserahkan kepada manusia untuk membuatnya. Tolak ukur kemanfaatan adalah hal yang lazim digunakan untuk menetapkan baik buruk dan benar salahnya aturan. Padahal antarmanusia pasti berbeda dalam memandang manfaat segala sesuatu. Jadi, aturan hidup akhirnya tergantung siapa yang menjadi penguasa. Tentunya siapa pun itu pasti akan membuat aturan yang menguntungkan diri dan koleganya.
Hukum bisa ditarik ulur sesuai kepentingan yang dimainkan. Bahkan sanksi yang sudah ditetapkan pun dapat dinego dengan menyajikan berbagai alasan-alasan untuk meringankan. Kalau perlu aturannya diubah seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja yang meski telah diputuskan MA inkonstitusional, namun tidak dibatalkan. Malah masih memberikan ruang untuk diperbaiki dan tetap berlaku. Kalau sudah begini, sulit sepertinya bagi rakyat untuk bisa mendapatkan keadilan hukum. Penguasa dapat seenaknya melakukan anomali aturan, melalui berbagai celah hukum yang memang sengaja diciptakan dalam sistem demokrasi. Tumpulnya hukum pada kalangan atas akan terus terjadi dan drama ketidakadilan akan selalu menjadi tontonan rakyat.
Kembali pada Hukum Allah Saja
Mengharapkan keadilan hukum dari aturan buatan manusia, ibarat pungguk merindukan bulan. Maka, sudah saatnya umat berpaling dari sistem ini dan kembali pada hukum Allah saja. Sebab siapa lagi yang lebih mampu memberikan keadilan hakiki selain Allah Swt, pencipta manusia, kehidupan, dan alam semesta.
Berbeda dengan demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan manusia, maka sistem Islam hanya menyandarkan segala aturannya pada akidah Islam saja. Dengan begitu, apa saja yang Allah perintahkan, itulah yang dijalankan. Sementara semua yang dilarang-Nya wajib untuk ditinggalkan. Seluruh hukum syariat harus bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah, melalui ijtihad dari para mujtahid.
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka.” (QS. Al Maidah: 49)
Keadilan dalam sistem Islam dapat disaksikan dalam sejarah penerapannya di masa kekhilafahan Islam pernah tegak. Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, misalnya, pernah terjadi persengketaan antara Amr bin ‘Ash selaku wali di Mesir dengan seorang Yahudi yang tanahnya diambil untuk pembangunan masjid. Amirul mukminin pun mengirimkan peringatan pada sang wali, hingga akhirnya tanah itu pun dikembalikan. Begitu pula saat terjadi kasus pencurian yang melibatkan seorang wanita dari kalangan terpandang Bani Makzhum. Keluarga wanita itu pun meminta bantuan sahabat Usamah bin Zain untuk membujuk Nabi saw agar memberikan sanksi yang ringan. Lalu Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR.Bukhari)
Demikianlah gambaran keadilan dalam sistem Islam. Aturannya bersifat tetap, tidak dapat diubah sesuai kepentingan apa pun. Kebenarannya pun mutlak karena sistem ini berasal dari Allah Swt. Hukum syariat berlaku untuk semua kalangan, baik rakyat maupun pejabat. Maka, sudah seharusnya umat kembali kepada hukum Allah saja, agar keadilan dan ketenangan hidup yang hakiki terwujud. Wallahu’alam bisshowab.[]