Perpres RAN PE ini adalah salah satu agenda politik belah bambu yang merupakan kepanjangan tangan dari agenda besar War On Terorism yang digencarkan dunia Barat, khususnya Amerika Serikat pasca peristiwa 11 September 2001
Oleh. Putri Bunda Harisa
NarasiPost.Com-Awal tahun 2021 negeri ini kembali dikejutkan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan dan ekstrimisme yang mengarah kepada terorisme. Tepatnya pada tanggal 6 Januari 2021 Perpres No 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE), ditandatangani oleh Presiden Jokowi.
Tentu saja, dikeluarkannya Perpres tersebut mengundang berbagai pertanyaan. Tindakan kekerasan dan ekstrimisme seperti apa yang membuat gundah penguasa, lantas seakan merasa perlu untuk mengambil tindakan pencegahan dengan diterbitkannya Perpres? Sementara masih banyak hal lain yang seharusnya menjadi fokus penguasa negeri ini yang menuntut untuk segera diselesaikan, seperti penanganan akan penyelesaian pandemi Covid-19, solusi bagi kemiskinan yang kian menjulang angkanya, atau penanggulangan bencana yang terus menerus menimpa negeri ini.
Waspada Upaya Pecah Belah Umat
Jika kita mendalami lebih jauh mengenai Perpres RAN PE, maka tampak program-program yang dilahirkannya mengarah kepada upaya memecah belah masyarakat. Bagaimana tidak? Salah satu program yang digulirkan adalah melatih masyarakat agar mampu melaporkan kepada pihak berwajib jika mendapati pihak-pihak yang terduga melakukan tindak kekerasan dan ekstrimisme yang mengarah kepada terorisme.
Dengan dalih menjaga keamanan nasional, maka pemerintah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan upaya pencegahan tindak kekerasan dan ekstrimisme yang mengarah kepada terorisme.
Jadi, jangan heran jika beberapa waktu ke depan anak-anak kita akan disuguhkan dengan materi-materi pelajaran tentang pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme yang mengarah kepada terorisme. Kemudian materi ajarannya akan disusun oleh para ahli dari Kemendikbud yang bekerja sama dengan BNPT dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), serta menggandeng para tokoh masyarakat guna menyukseskan setiap program yang tertuang dalam Perpres tersebut.
Namun yang dikhawatirkan para pegiat HAM adalah adanya makna ambigu mengenai definisi tindakan ekstrimisme itu sendiri, yang kemudian akan menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. dan berpotensi terjadi sikap saling mencurigai, adu domba dan terlebih memecahbelah kedamaian di tengah-tengah masyarakat.
Sementara, pemerintah sendiri dalam situsnya jdih.setkab.go.id mengatakan bahwa di Indonesia beberapa faktor kunci yang dapat diidentifikasi sebagai latar belakang tumbuh dan berkembangnya ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, antaralain adalah (1) besarnya potensi konflik komunal berlatar belakang sentimen primordial dan keagamaan; (2) kesenjangan ekonomi; (3) perbedaan pandangan politik; (4) perlakuan yang tidak adil; serta (5) intoleransi dalam kehidupan beragama.
Tentu saja, saat melihat faktor kunci yang dijabarkan pemerintah dalam Perpres RAN PE tersebut mayoritas mengarah kepada aktivitas umat Islam. Karena selama ini yang mendapat tuduhan pelaku sentimen keagamaan, dan intoleransi dalam kehidupan beragama adalah umat Islam yang gigih dalam menjalankan ajaran Islamnya. Atau mereka yang tidak sejalan dengan pandangan politik maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat juga diseret sebagai pelaku tindak kekerasan dan ekstrimisme yang mengarah kepada tindak terorisme. Terlebih lagi kita semua menyadari bahwa isu terorisme dan radikalisme kini sangat nyata disematkan kepada umat Islam dan ajaran Islamnya.
Sungguh, Perpres RAN PE ini adalah salah satu agenda politik belah bambu yang merupakan kepanjangan tangan dari agenda besar War On Terorism yang digencarkan dunia Barat, khususnya Amerika Serikat pasca peristiwa 11 September 2001 lalu. Bagaimanapun para pengusung ideologi kapitalisme tidak akan rela membiarkan kaum Muslimin kembali kepada fitrahnya, yaitu menegakkan aturan-aturan Islam dalam kehidupannya. Sehingga, mereka akan terus berupaya untuk menghadang kebangkitan Islam dan kaum Muslimin.
Maka, bagi mereka yang menjalankan ajaran-ajaran agamanya, misalnya saja tidak ikut merayakan hari besar agama lain, maupun tidak mengucapkan hari besar agama lain, atau mendakwahkan tentang ajaran Islam berupa jihad dan khilafah, akan sangat mungkin disematkan sebagai pelaku ekstrimisme yang mengarah kepada tindak terorisme. Tentu saja lagi-lagi umat Islam yang ditunjuk sebagai biang munculnya konflik keagamaan dan tindakan intoleransi dalam beragama. Padahal apa yang umat Islam lakukan adalah sebagai bentuk ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya.
Dan, tentu saja ini akan berakibat buruk bagi masa depan Islam dan kaum Muslim. Karena akan memunculkan ketakutan di tengah-tengah mereka saat akan mempelajari Islam secara kaffah (menyeluruh), ketakutan akan dicurigai sebagai pribadi yang tergolong ke dalam penerapan Perpres RAN PE tersebut. Sehingga pada akhirnya akan menjurus kepada upaya pendangkalan ajaran-ajaran Islam bahkan akan berakibat kepada tidak dipelajarinya ajaran-ajaran Islam yang berpotensi menimbulkan intoleransi dalam beragama menurut versi barat, seperti materi ajaran Islam tentang akidah, jihad, dan khilafah. Astaghfirullah!
Sistem Islam Menghadirkan Pemimpin yang Menjaga Kesatuan Warga Negaranya
Khalifah adalah pemimpin bagi kaum Muslimin yang senantiasa menjaga amanah dalam menjalankan syariah Islam. Beliau selalu menjaga keharmonisan dan kedamaian warga negaranya. Islam sangat melarang aktivitas mencurigai, memata-matai, adu domba bahkan upaya memecah belah umat. Baik warga negara yang beragama Islam maupun yang statusnya sebagai kafir dzimmi (kafir yang tunduk dalam naungan Khilafah Islam), mereka haram untuk dicurigai dan dimata-matai.
Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surat Al-Hujurat: 12
, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat: 12)
Bahkan para ulama memberikan katagori dosa besar terkait aktivitas mencurigai atau memata-matai. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw yang dituturkan oleh Abu Hurairoh ra:
“Jauhilah oleh kalian prasangka. Sungguh prasangka itu berita yang paling dusta. Janganlah kalian melakukan tahassus, tajassus, saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian bersaudara, wahai para hamba Allah” (HR. Al-Bukhari)
Maka, tentu saja di dalam Khilafah Islam tidak ada aktivitas mencurigai yang berujung pada upaya adu domba dan memecah belah umat. Sehingga disahkannya RAN PE tersebut adalah kebijakan yang bertentangan dengan Islam karena berpotensi memunculkan aktivitas yang diharamkan, yakni melakukan tajassus terhadap warganya, terlebih menaruh curiga kepada sesama Muslim.
Pasalnya, umat Islam yang selalu menjadi sasaran, sementara kelompok separatis yang jelas-jelas berupaya memisahkan diri dari negeri ini dan membuat teror ditengah masyarakat hanya didiamkan. Walhasil, dengan melihat kondisi kaum Muslimin yang terus menerus menjadi pesakitan akibat bercokolnya ideologi kapitalisme, semakin membuka mata hati kita bahwa umat Islam butuh kesatuan dengan hadirnya Sang Khalifah yang kelak dapat melepaskan kemalangan yang terus menerus menimpa kaum Muslimin di negeri ini maupun kaum Muslimin di seluruh dunia. Wallahu’alam bi Shawwab[]
Photo : Google Source
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]