"Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya."
(HR Imam Muslim).
Oleh. Astuti Rahayu Putri
NarasiPost.Com-Memasuki awal tahun, kasus covid malah semakin menjadi-jadi. Lonjakan kasus baru sampai tanggal 9 januari mencapai angka 10.617. (sumber: tribunnews.com/ 09-01-2021)
Mengerikan sekali. Bagaimana dunia mau pulih kembali, jika grafik terus saja meninggi seperti ini?
Lelah pastinya. Hampir satu tahun segala aktivitas jadi serba terbatas. Aktivitas yang biasa dilakukan di luar, kini sebisa mungkin dilakukan di rumah saja. Tentu, dari segi pelaksanaan tidak akan maksimal. Misalnya saja pembelajaran daring yang selama pandemi ini diterapkan. Tak sedikit keluhan dari orang tua, guru, maupun siswa pun berdatangan. Mulai dari keluhan paket data yang tak mencukupi, orang tua yang kewalahan untuk mengajari, sampai pada penjelasan yang sulit untuk dimengerti. Walhasil kegiatan belajar-mengajar pun jadi kacau-balau. Itu baru efek pandemi pada bidang pendidikan.
Belum lagi efek pada bidang perekonomian maupun kesehatan.
Di bidang perekonomian, ancaman resesi sudah di depan mata. Bagaimana tidak, jalur perekonomian banyak yang mandek akibat penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Sedangkan di bidang kesehatan, tak sedikit tenaga kesehatan yang ambruk karena kelelahan melawan covid. Bahkan mirisnya lagi, angka kematian tenaga kesehatan tertinggi se-Asia ada di Indonesia. Data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terdapat 504 tenaga kesehatan yang wafat akibat covid-19. (sumber: republika.co.id/02-01-2021)
Memang, kegelisahan masyarakat manapun pemerintah akan masa pandemi ini sudah sampai pada puncaknya. Tak heran vaksin covid-19 begitu ramai diperbincangkan karena diharapkan dapat mengatasi pandemi. Betul saja, dilansir dari cnbcindoneisa.com (11-12-2020) bahwa pemeritah memastikan telah memesan 155,5 juta vaksin covid-19 dari berbagai produsen di dunia. Walaupun vaksin-vaksin tersebut belum mengantongi emergency use authorization (EUA) di negara vaksin tersebut diproduksi. Tampaknya pemerintah begitu ambisius menggunakan senjata vaksin untuk melawan covid-19.
Namun, apakah cukup hanya mengandalkan vaksin untuk melawan covid-19 ? Nyatanya, vaksin bukanlah senjata andalan satu-satunya untuk perang melawan covid-19. Bisa kita lihat bahwa dari data pasien yang berhasil sembuh jauh bisa mengungguli angka kematian akibat covid-19. Ternyata melalui treatment pengobatan yang sesuai dan dibarengi dengan peningkatan daya tahan tubuh, pasien covid 19 dapat sembuh. Jadi melihat kondisi ini, penggunaan vaksin tampaknya belum menjadi kebutuhan yang mendesak yang harus ada saat ini juga. Akan tetapi, yang lebih mendesak adalah bagaimana pemerintah bisa fokus berupaya mengembalikan kehidupan yang normal. Dengan menekan jumlah kasus baru yang muncul.
Anehnya disini, pemerintah seakan tergesa-gesa membeli vaksin dari negara-negara tersebut. Di saat banyak ahli yang memberikan sinyal kehati-hatian akan penggunaan vaksin covid-19 yang belum teruji secara sempurna. Karena ini menyangkut keamanan dan keselamatan penerima vaksin, maka tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar untuk memastikan kelayakan dan keamanannya. Jangan sampai, ada kepentingan lain yang terselip sehingga vaksin begitu dipaksakan.
Sementara pemerintah sibuk mengeluarkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit untuk membeli vaksin dari negara lain.
Penerapan langkah krusial seperti upaya 3T tracking (pelacakan), tracing (penelusuran), dan testing (pengujian) malah terabaikan. Padahal pelaksanaan 3 T yang baik dapat memutus mata rantai covid-19 dengan cepat. Namun, lagi-lagi kendala biaya dan fasilitas selalu menjadi penghalang. Masih tingginya biaya alat tes sungguh membebani rakyat. Bahkan untuk memperoleh tes dengan akurasi yang tinggi, misalnya Swab tes, rakyat harus merogoh kocek hingga Rp. 900.000,- per kepala.
Bayangkan jika satu keluarga mau di tes. Tentu totalnya bisa sampai jutaan. Sungguh biaya yang sangat fantastis. Belum lagi nanti jika program vaksinasi dijalankan. Vaksin yang diimpor dari negara lain, tentu bukanlah murah.
Subsidi dari pemerintah pun menjadi jalan keluar yang semu. Bagaimana tidak, memang untuk saat ini pemerintah meringankan beban rakyat melalui subsidi. Namun ternyata, di luar sana mereka berutang kepada negara lain. Utang pun kian menggunung. Negeri ini pun jadi tersandung dalam jurang kapitalisme yang semakin dalam.
Berbicara mengenai mekanisme penangan wabah maupun pandemi, sistem Islam punya panduan yang terbaik. Dalam sistem Islam, ada beberapa langkah penanganan wabah atau pandemi sehingga efeknya tak berlarut-larut seperti sekarang ini.
Pertama, mendeteksi area-area yang terjangkit wabah dan sesegera mungkin menutup akses keluar masuk area tersebut. Rasulullah Saw bersabda:
"Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya."
(HR Imam Muslim).
Kedua, memisahkan yang sakit dan yang sehat dan segera melakukan isolasi bagi yang sakit.
Ketiga, mengobati yang sakit sampai benar-benar sembuh.
Bedanya dalam sistem Islam, pelaksanaan mekanisme tersebut dijalankan secara baik, tersistem dan terencana. Karena dalam penerapannya sangat jauh dari unsur kepentingan politik maupun pribadi. Semua murni demi memberikan pelayanan terbaik bagi umat. Karena sejatinya begitulah tugas seorang pemimpin dalam sistem Islam, yaitu melayani umat.
Melalui penerapan sistem Islam kita dapat menemukan jawaban terhadap segala permasalahan, termasuk masalah pandemi maupun wabah penyakit. Karena sistem Islam merupakan sistem kehidupan yang berlandaskan akidah Islam dan bersumber langsung dari Sang Khalik (pencipta), yaitu Allah Swt.
Wallahu alam bish shawab.[]