"Empat pilar kebebasan (kepemilikan, berpendapat, beragama dan bertingkah laku) yang menjadi asas demokrasi justru menjadi malapetaka, menjadi bom waktu bagi pengembannya. Kebebasan tanpa batas dan dilindungi negara hanya akan terus mengasah taring kekuasaan atas para elit kapital untuk berkuasa dengan menindas pihak lain, pihak yang lebih lemah atas dalil kebebasan."
Oleh. Muthi Nidaul Fitriyah
NarasiPost.Com-The Sick Man of Europe (orang sakit dari Eropa) pertama kali dilontarkan oleh Tsar Nocholas I di Rusia dalam obrolannya dengan seorang utusan Inggris pada tahun 1853 M adalah untuk menjuluki Turki Utsmani yang secara massif mengalami kekalahan dan kemunduran hingga akhirnya keruntuhan. The Sick Man of Asean juga pernah disematkan kepada masa keruntuhan Dinasti Qing. Julukan khas untuk negara besar, negara adidaya yang tengah berangsur-angsur menemui ajalnya.
Pandemi Corona, dengan segala konstelasinya telah berhasil memukul mundur perekonomian dunia, memberikan kode akan hadirnya The New Sick Man. Tanda lainnya yang tak kalah heboh mengguncang dunia adalah kerusuhan di pelantikan presiden baru Amerika Joe Biden, dipicu oleh lawan politik saat pilpres, Donal Trump.
Saat itu (6/1/21), bertepatan dengan sidang gabungan oleh Kongres Amerika yang akan mengesahkan presiden terpilih, Biden, dalam Pilpres 2020, massa pendukung Trump tiba-tiba muncul berunjuk rasa. Bukan sekadar unjuk rasa biasa, mereka menyerbu masuk hingga melakukan pemecahan kaca jendela. Dari kisruh itu dinyatakan empat orang tewas. (inet.detik.com, 07/01/202)
Penyataan-pernyataan Trump di media yang mengatakan bahwa lawan politiknya telah melakukan kecurangan dalam pemilu terus dipropagandakan, hingga terbentuklah polarisasi di tengah masyarakatnya, hampir tidak akan bisa diselesaikan dengan persatuan.
Peristiwa ini, berhasil mengundang reaksi para tokoh dunia, mengungkapkan kekecewaannya. Mike Pompeo sebagai Menteri Luar Negeri AS menganggap peristiwa Capitol Hill ini bukanlah sesuatu yang benar. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson menyebut kejadian ini adalah peristiwa yang sangat memalukan. Hal yang sama dikatakan Simon Coveney. Menlu Irlandia ini menganggap peristiwa ini menyerang demokrasi. Presiden Prancis Emmanuel Macron pun angkat bicara. Ia mengungkapkan serangan ini tidak mencerminkan Amerika. Masih banyak tokoh yang berpendapat sama.(Beritasatu, 07/01/2021)
Saat Amerika diposisikan sebagai teladan dunia, digaung-gaung sebagai pelopor ulung penerapan demokrasi, nyatanya bergerak meruntuhkan kemurnian demokrasi itu sendiri. Namun, benarkah peristiwa yang menimpa Amerika adalah penghinaan terhadap demokrasi atau justru itulah wajah asli demokrasi?
Sejak awal demokrasi memiliki tujuan menjadikan kekuatan rakyat sebagai pengganti kekuatan tirani. Rakyat yang bebas, memiliki kekuasaan individu untuk mewujudkan kebahagiaannnya.
Kritik para Filusuf Yunani atas Demokrasi
Demokrasi adalah sistem yang sudah sangat tua. Konsep demokrasi lahir di Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup antara abad ke 4-6 SM. Demokrasi yang dipraktikkan waktu itu adalah demokrasi langsung. Bahkan di tempat kemunculannya, demokrasi telah mendapat kritikan langsung dari para filusuf Yunani kala itu. (wikipedia.org)
Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy, pemerintahan segerombolan orang, yang rentan akan anarkisme. Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka yang menjadi alasan mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya.
Dalam bukunya The Republic, Plato mengatakan, “mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan orang-orang sana boleh melakukan apa yang mereka sukai.” Negara benar-benar akan rusak oleh penguasa korup, karena demokrasi terlalu mendewakan kebebasan berupa anarki dan memunculkan tirani. (merdeka.com, 07/04/2014)
Hari ini begitu nyata bisa kita saksikan di balik kekacauan pilpres di Amerika, banyak yang menilai bahwa kesalahan besar telah dilakukan oleh Trump yang tidak menghargai dan mengakui terpilihnya Biden yang dihasilkan secara demokrasi. Akan tetapi atas nama kebebasan, pihak Trump memandang pernyataan-pernyataannya di media yang menjadi pemicu polarisasi dan demonstrasi yang kacau adalah bagian dari kebebasan yang menjadi asas demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat dan kebebasan berprilaku.
Bahkan jika kita amati secara teliti satu-persatu, kasus-kasus kemanusiaan yang menimpa komunitas Rohingya di Myanmar, komunitas Uighur di Cina, rasisme di Amerika, perang yang tak berkesudahan di Timur tengah, dekadensi moral, hedonisme, pergaulan bebas, ketimpangan sosial, krisis kesejahteraan, keadilan politik dan lain sebagainya adalah cipta karya superpower Amerika atas dunia dengan demokrasinya yang rusak.
Maka, sangat jelas bahwa kekacauan terjadi tidak semata penghianatan yang dilakukan para pengemban demokrasi akan tetapi kecatatan demokrasi itu sendiri sejak awal kemunculannya.
Empat pilar kebebasan (kepemilikan, berpendapat, beragama dan bertingkah laku) yang menjadi asas demokrasi justru menjadi malapetaka, menjadi bom waktu bagi pengembannya. Kebebasan tanpa batas dan dilindungi negara hanya akan terus mengasah taring kekuasaan atas para elit kapital untuk berkuasa dengan menindas pihak lain, pihak yang lebih lemah atas dalil kebebasan.
Solusi Dekonstruksi Sistem Demokrasi
The new sick man sangat pantas disematkan untuk Amerika dengan demokrasinya. Kerusakan ini sangat perlu kita pahami dan sadari, sebelum kekacauan yang semakin besar menimpa kita, masa depan kita bahkan akhirat kita. Kita memiliki peran dan berhak untuk menentukan perubahan kehidupan yang lebih baik di masa depan yang penuh keadilan dan kesejahteraan.
Bukan hanya ganti rezim akan tetapi campakan sistem demokrasi ini dan ganti dengan sistem lain yang menjamin keselamatan, keadilan dan kesejahteraan, yang secara ide dasar, asas maupun dari segi tata laksana sesuai dengan fitrah manusia, tanpa kontradiksi apalagi jika memliki riwayat atau bukti kongkrit pernah diterapkan dalam sejarah kehidupan manusia.
Sejauh ini belum ada yang mampu menandingi peradaban yang dibangun oleh Islam. Demokrasi adalah sistem yang lahir dari akal manusia, tatkala manusia dihadapkan dengan permasalahan yang menimpanya, aturan-aturan baru dibuat dan didiskusikan di antara manusia dengan berbagai kepentingannya.
Islam adalah aturan hidup yang sempurna, memuat seluruh solusi atas segala permasalahan manusia, baik permasalahan politik, sosial, budaya atau permasalahan manusia lainnya. Aturan Islam akan selalu relevan sepanjang masa hingga hari kiamat. Sebab Islam adalah aturan yang diturunkan oleh Tuhan semesta alam pencita manusia, kehidupan dan alam semesta ini. Sebagaimana dalam buku Demokrasi Sistem Kufur karya Syekh Abdul Qadim Zalum, hukum untuk mengatur kehidupan manusia tidak boleh lahir dari manusia akan tetapi harus dari Allah Swt.
Terkait kebebasan, hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku tersebut. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram baginya melakukan perbuatan yang diharamkan Allah. Islam memerintahkan Muslim berakhlak mulia dan terpuji, juga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai yang mulia.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (darihukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendak, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
(TQS. Al Maidah ayat 49-50)
Wallahu alam bi showab.[]