"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan- kesalahanmu"
(QS. As Syura: 30)
Oleh. Sandhi Indrati,
(Perawat/Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok)
NarasiPost.Com-Awal 2021 Indonesia mengalami beragam musibah, baik berupa kecelakaan transportasi udara maupun bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Hampir di tiap pulau besar di Indonesia terjadi bencana berupa banjir, erupsi gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor serta angin kencang.
Untuk wilayah Pulau Sumatera, BPBD Sumatera Barat melaporkan, tiga daerah di Sumatera Barat dilanda banjir saat hujan deras yang disertai angin kencang dan petir sejak Senin 11 Januari 2021. Seperti yang diberitakan Liputan 6 (3/01/2021), Setidaknya 487 kepala keluarga serta sekitar 7.970 warga dievakuasi hingga mengungsi akibat meluapnya sungai Batang Pangian di Kabupaten Solok yang telah merendam tempat tinggal masyarakat.
Adapun pada pekan kedua Januari 2021, banjir terjadi di kota Martapura, ibukota Banjar, Kalimantan Selatan. Berdasarkan keterangan pemerintah daerah setempat, sebanyak 9 kecamatan di Kabupaten Banjar terdampak banjir serta telah memutus beberapa akses transportasi di wilayah tersebut. (Kompastv, 16 Januari 2021).
Musibah juga melanda sebagian wilayah di pulau Sulawesi. Gempa dengan magnitudo 6,2 SR mengguncang Kabupaten Majene, Sulawesi Barat pada Jumat 15 Januari 2021, yang getarannya turut dirasakan hingga Ibukota Provinsi Sulawesi Barat, yaitu Kabupaten Mamuju. Sebagaimana laporan Liputan 6, hingga Sabtu, 16 Januari 2021, pukul 12.00 WITA jumlah korban dunia akibat gempa Sulawesi Barat sebanyak 46 orang serta yang lainnya luka luka dikarenakan reruntuhan bangunan.
Para ahli berpendapat, banyaknya musibah yang saat ini terjadi karena Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas, dikelilingi samudera dan lautan serta banyaknya rangkaian gunung berapi (ring of fire), yang mengakibatkan mudahnya terjadi bencana alam.
Namun, bila kita cermati keadaan lingkungan Indonesia beberapa waktu terakhir ini, telah terjadi banyak perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, hutan Sumatera hilang sekitar 9 juta hektar. Sebagian besar dialihfungsikan untuk lahan perkebunan serta infrastruktur, baik kepemilikan negara ataupun swasta.
Lain lagi di Pulau Kalimantan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono menyatakan, faktor lain penyebab banjir yang terjadi di Kalimantan saat ini adalah karut-marutnya tata kelola lingkungan dan sumber daya alam di Pulau Kalimantan. Sejak beberapa tahun terakhir, Walhi mencatat terdapat 814 lubang milik 157 perusahaan tambang batu bara di Provinsi Kalimantan Selatan. (CNN Indonesia, 16-01-2021).
Sebagian besar perusahaan tambang tersebut dimiliki oleh perseorangan serta perusahaan swasta. Mereka hanya mencari keuntungan dan mengabaikan dampak setelahnya.
Berdasar hal di atas, bencana alam yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah murni faktor iklim atau alamiah semata, tapi manusia berperan serta dalam menghadirkan bencana alam. Betul sekali, musibah melanda, akibat ulah manusia.
Dialihfungsikannya hutan menjadi lahan perkebunan serta banyaknya perusahaan tambang yang mengabaikan reklamasi, menjadi sebagian penyebab kerusakan ekosistem alami. Daerah hulu yang berfungsi sebagai tangkapan air telah dirusak, sehingga daerah hilir kelebihan air dan menyebabkan banjir.
Semua itu terjadi karena di sistem kapitalis sekuler ini, tata kelola lingkungan tidak diperhatikan sama sekali, yang ada hanyalah bagaimana sumber daya alam bisa dikeruk demi menghasilkan pundi-pundi uang yang masuk ke kantong-kantong para pemilik modal yang notabene asing dan aseng.
Sangat jauh keadaannya di era khilafah. Di era khilafah, tata kelola lingkungan sangat diperhatikan sekali. Di antaranya pengelolaan sungai di era khilafah. Syekh Atha' Bin Khalil Abu Al- Rashtah (alumnus Teknik Sipil Universitas Cairo Mesir) menjelaskan, berdasar hadits Rasulullah, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang gembala, air dan api” (HR Abu Dawud).
Sungai adalah salah satu dalam tiga hal tersebut, yaitu air yang termasuk dalam kepemilikan umum (mulkiyah 'aammah). Dalam kepemilikan umum, individu tidak dapat menguasainya atau mengambil manfaat sendirian. Negara mempersilakan rakyat banyak untuk mengambil manfaat dari sungai, seperti untuk minum, keperluan rumah tangga, pakan ternak (yang dikenal dengan ash-shaffah), irigasi pertanian (yang dikenal dengan asy-syirb) serta untuk keperluan transportasi. Negara Khilafah biasa menata tepian sungai dan membersihkan sungai (yang dikenal dengan bakriy al-anhaar) sehingga masyarakat mengambil manfaat dari sungai- sungai.
Bila ternyata dalam pengelolaan sungai menggunakan kemajuan teknologi, seperti dalam pengaturan irigasi dan penghantaran air hingga ke rumah-rumah, serta sawah-sawah, maka negara khilafah dapat menarik biaya untuk penggunaan dan pemanfaatan kegiatan tersebut. Apabila terdapat keuntungan yang dihasilkan, maka akan dimasukkan ke baitul Maal (suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara) dalam pos pemasukan kepemilikan umum, bukan dimiliki oleh perseorangan ataupun swasta.
Maka, sudah saatnya kita merujuk pada tuntunan Islam yang telah dicontohkan oleh khilafah dalam urusan tata lingkungan dan sumber daya alam, baik dalam hal pengaturan kepemilikan serta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, sehingga akan diperoleh keberkahan dan semoga bisa menghindarkan negeri ini dari kemungkinan bencana alam. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah Asy-Syura ayat 30 yang artinya,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan- kesalahanmu).”[]