Bukan watak seorang pemimpin dalam Islam jika memerintah secara tirani dengan cara membungkam suara kritis dengan hal demikian. Namun sayangnya di sistem demokrasi kapitalis sekuler malah menjadikan aktivitas dakwah sebagai kambing hitam
Oleh. Suci Hati, S.M
(Aktivis Muslimah Medan)
NarasiPost.Com-Dilansir dari laman Tirto.id – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan akan mengaktifkan 'polisi siber' untuk menindak pelanggaran hukum khususnya penyebaran hoaks, kriminal ataupun berita provokasi. "Kalau ada orang mengancam-ancam jam 8 pagi, jam 10 sudah ditangkap, bisa kok sekarang. Kata Mahfud dalam Webinar KAHMI, Senin (28/12/2020) lalu.
Menurut Rivanle Anandar kebijakan polisi siber yang akan diterapkan pada 2021 akan membuat kebebasan berekspresi semakin terbatas. Orang-orang akan enggan berkomentar tentang kebijakan negara, karena kalau mengkritisi negara itu kerap dituduh melawan negara atau distigma menjadi kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu ada kajian matang untuk membuat indikator mengenai pernyataan yang salah atau benar di media sosial demi menjamin keadilan serta hak asasi warga dalam berpendapat. (CNNIndonesia, 29/12/2020)
Kebijakan Menko Polhukam agar diberlakukannya polisi siber untuk mengawasi aktivitas sosmed dapat disebabkan terjadi karena hubungan antara penguasa dengan rakyat tidaklah terjalin harmonis. Adanya polisi siber ini tidak memiliki arah yang jelas dan akan menjadi penyalahgunaan wewenang kekuasaan dengan represif. Rakyat dibuat takut untuk memberikan pendapat mengenai pemerintahan. Jelas hal ini bukan menjadi solusi persoalan dalam menangani hoaks.
Adanya polisi siber bukanlah solusi dalam Islam, sebab Islam memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar yang sangat dianjurkan untuk mengoreksi kebijakan penguasa. Karena kontrol masyarakat lah yang akan menjaga setiap kebijakan pemerintah agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, masyarakat dalam Islam mengharuskan setiap dirinya terlibat dalam aktivitas politik. Aktivitas politik adalah tugas kaum Muslimin yang menjadi prioritas utama untuk mengurus kepentingan rakyat (umat) yang dapat dilakukan secara individu, kelompok, partai, dan negara dalam upaya menyampaikan dakwah Islam. Sehingga umat akan terlatih untuk berusaha mengikuti perkembangan peristiwa dan berita secara berkesinambungan untuk dapat memahami setiap peristiwa politik.
Selaras dengan sabda nabi yakni “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran (al-haqq) di hadapan seorang penguasa yang zalim. (HR. Abu. Daud)
Maka dengan menentang segala kebijakan penguasa yang zalim dan menyerukan kebaikan merupakan bagian dari aktivitas politik yang berarti mengurusi umat. Jadi sudah selayaknya masyarakat bersifat kritis terhadap penguasa yang dianggap telah besebrangan dari Islam.
Adapun seorang pemimpin haruslah berlapang dada dalam menerima nasehat yang datang dari rakyat yang dipimpinnya sebagai bentuk koreksi untuk melakukan suatu perbaikan. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,
"Agama adalah nasehat."
(HR. Muslim)
Oleh karena itu, bukan watak seorang pemimpin dalam Islam jika memerintah secara tirani dengan cara membungkam suara kritis dengan hal demikian. Namun sayangnya di sistem demokrasi kapitalis sekuler malah menjadikan aktivitas dakwah sebagai kambing hitam. Dan dianggap provokator buruk/ujaran kebencian apabila kebaikan yang disampaikan bersebrangan dengan pemerintah. Realitanya penguasa telah menggunakan kekuasaanya untuk mengkriminalisasi ulama, perlakuan tidak adil terhadap ormas-ormas Islam, serta aktivis Islam yang kritis membela kepentingaan rakyat dengan mudah dijerat ke ranah hukum, yakni pemenjaraan.
Jauh berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan Islam secara Kaffah. Diam terhadap kezaliman bukan kultur Islam. Maka negara akan mendorong nasihat, kritik dan penjagaan rakyat terhadap kepemimipinan berdasarkan syariat dan memfasilitasi umat untuk melakukkan koreksi terhadap penguasa. Aspirasi umat dapat disalurkan melalui Majelis Umat, atau Majelis Wilayah yang akan menampung keluh kesah masyarakat secara langsung ataupun melalui media sosial yang tidak bertentangan dengan Islam. Atau bisa mengadukan kepada Mahkamah Mazhalim yakni lembaga yang memiliki wewenang untuk menegur ataupun memberhentikan Khalifah apabila terdapat pelanggaran hukum syara' yang dilakukan khalifah.
Dengan adanya ruang kepada masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, maka negara akan berjalan ideal sesuai dengan syariat Islam dan akan tercipta kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Wallahu'alam.[]