Arah pendidikan yang berubah di masa pandemi ini, membuat sebagian generasi Z mengalami kejenuhan dan penat dalam mengikuti proses belajar.
Oleh. Firda Umayah, S.Pd (Praktisi Pendidikan)
NarasiPost.Com-Di tengah maraknya pandemi COVID-19, Indonesia saat ini ternyata sedang mengalami Bonus Demografi. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase penduduk usia produktif dibandingkan penduduk usia nonproduktif (14 tahun dan 65 tahun ke atas). Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020, proporsi penduduk usia produktif meningkat menjadi 70,72 persen. Sebelumnya, pada 1971 proporsi penduduk usia produktif mencapai 53,39 persen (ayobandung.com/25/01/2021).
Dalam melihat pertumbuhan proporsi penduduk, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan populasi dalam enam generasi, yaitu Post Gen Z, Gen Z, Milenial, Generasi X (Gen X), Baby Boomer, dan Pre-Boomer. Post Gen Z lahir pada 2013 dan seterusnya (kini berusia maksimal 7 tahun). Sedangkan Gen Z lahir pada 1997-2012 (saat ini berusia 8-23 tahun), Millenial lahir pada 1981-1996 (24-39 tahun), Gen X lahir pada 1965-1980 (40-55 tahun), Baby Boomer lahir pada 1946-1964 (56-74 tahun), dan Pre-Boomer lahir sebelum 1945 (75 tahun ke atas).
Besarnya jumlah proporsi generasi Z sebanyak 27,94 persen dari total populasi dan generasi milenial sebanyak 25,87 persen dari total populasi Indonesia, dianggap BPS termasuk dalam usia produktif yang dapat menjadi peluang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.(voi.id/24/01/2021)
Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani optimistis Indonesia akan memperoleh manfaat maksimal dari bonus demografi ini asalkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun dengan pendapatan per kapita US$ 12 ribu. Rosan Roeslani menjelaskan, mengoptimalkan pemanfaatan bonus demografi sangat bergantung pada seberapa besar angka pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. (investor.id/25/01/2021)
Jika dilihat dari faktor usia, generasi Z dan generasi millenial memiliki beban yang lebih besar dalam menghadapi masa bonus demografi. Namun, jika dilihat ke belakang, pembinaan yang sebelumnya diberikan kepada kedua generasi ini, khususnya generasi Z bisa dikatakan inkonsisten dan cenderung berubah-ubah. Dalam aspek pendidikan beberapa angkatan generasi Z telah mengalami beberapa penyesuaian lantaran kurikulum pendidikan yang sering berubah. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006, hingga Kurikulum 2013 (K-2013).
Belum lagi pada masa pandemi, generasi harus menghadapi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang tak sedikit membuat generasi mengalami stress dan depresi lantaran tugas dan beban yang banyak. Akhirnya banyak kalangan generasi Z yang justru memanfaatkan masa daring (dalam jaringan) untuk sekedar mencari kesenangan melalui gadget.
Dalam aspek kelulusan pendidikan pun, generasi Z juga harus menyesuaikan diri dengan beberapa kali perubahan. Mulai dari perubahan Ujian Nasional (UN) menjadi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Hingga kini kelulusan ditetapkan melalui Asasmen Kompetensi Mininum (AKM).
Arah pendidikan yang berubah di masa pandemi ini, membuat sebagian generasi Z mengalami kejenuhan dan penat dalam mengikuti proses belajar. Tak hanya itu, efek penggunaan gadget yang berlebihan untuk hal-hal negatif seperti game online bahkan mungkin mengakses konten pornografi yang membuat kecanduan juga telah merusak jiwa dan kesehatan sebagian generasi. Jika terus seperti ini, akankah generasi Z mampu menghadapi masa bonus demografi dengan harapan dapat memajukan pertumbuhan ekonomi?
Sayangnya, di negara yang mengemban ideologi kapitalisme ini, peran negara lebih banyak sebagai regulator yang menjembatani antara pengusaha dengan rakyatnya. Contohnya dalam sistem pendidikan, ada program Bangkit (Bangun Kualitas Manusia Indonesia) yang bekerja sama dengan para korporasi di kalangan pendidikan perguruan tinggi. Juga program "Link And Match" atau vokasi pendidikan dan dunia industri di kalangan SMK dianggap sebagai bagian dari upaya mengarahkan potensi unggul generasi untuk mengabdi kepada korporasi.
Sehingga jika hal ini terus dibiarkan, negara tak mampu melindungi dan melihat lebih tajam terhadap kebutuhan generasi. Negara juga tak mampu mengarahkan generasi untuk membangun bangsa dengan potensi yang mereka miliki. Padahal, kualitas generasi muda sangat menentukan kualitas peradaban bangsa. Sudah seharusnya negara kembali kepada fungsi utamanya yaitu sebagai pengarah, pelindung dan pengurus rakyat dengan mengerahkan segala daya dan upaya. Jangan biarkan potensi unggul generasi hanya dimanfaatkan para kapitalis dan korporasi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.[]