"Maraknya kasus kekerasan membuat seakan RUU PKS ini menjadi satu-satunya solusi untuk memberantas kekerasan seksual. Padahal, di dalam materi RUU PKS ini ada beberapa poin yang bertentangan dengan nilai-nilai agama"
Oleh. Nila Sari Yani (Mahasiswi)
NarasiPost.Com-Kasus kekerasan seksual semakin marak terjadi, berbagai upaya pencegahan pun dilakukan. Salah satunya dalam bidang pendidikan, seperti di Universitas Brawijaya yang menerbitkan peraturan rektor nomor 70 tahun 2020, demi melindungi seluruh civitas akademika dari kekerasan seksual dan perundungan. Berbagai aturan telah ditetapkan, untuk mencegahnya namun masih saja korban kekerasan seksual terus meningkat.
Tak ketinggalan, kalangan pegiat perempuan pun mendesak untuk segera disahkannya RUU PKS, karena undang-undang ini diopinikan akan menyelesaikan kekerasan seksual yang terjadi.
Rancangan Undang-Undang Kekerasan seksual (RUU PKS) ini pun dikatakan kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021 dan kabar ini disambut baik oleh Komnas perempuan. Karena RUU PKS ini telah lama diusulkan dan akhirnya bisa kembali lagi, setelah 8 tahun ditunda pengesahannya sejak tahun 2012.
Theresia yang merupakan salah satu Komisioner perempuan, mengatakan pihaknya akan terus mengawasi DPR dalam proses pembahasan RUU PKS. Ia berharap agar DPR RI dapat terus membahas dan menetapkan RUU ini menjadi RUU inisiatif sama seperti RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga. (news.detik.com)
Sebelumnya RUU PKS ini pernah tidak disetujui oleh pihak DPR karena salah satunya banyak materi yang bersinggungan dengan poin-poin yang ada di RUU KUHP. Namun, maraknya kasus kekerasan membuat seakan RUU PKS ini menjadi satu-satunya solusi untuk memberantas kekerasan seksual. Padahal, di dalam materi RUU PKS ini ada beberapa poin yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Euis Sunarti, ada tiga hal yang patut disorot dari RUU-PKS. Pertama, yaitu RUU ini seolah melegalkan pelacuran karena tidak mengatur larangan perzinahan. Kedua, RUU-PKS terdapat diskriminasi gender karena naskah akademik RUU PKS tidak menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak laki-laki sebagai dasar.
Ketiga, RUU-PKS seperti tidak memikirkan dampak terhadap hubungan keluarga. Prof. Euis menyebut, apabila RUU PKS ini disahkan, seorang anak yang tidak terima diminta menutup aurat bisa menuntut orang tuanya karena merasa telah dipaksa untuk menutup aurat. (detiknews.com, 14/02/2019)
Di dalam RUU ini semua akan dinillai sebagai kejahatan, jika ada unsur pemaksaan. Walaupun itu diperbolehkan di dalam agama Islam. Namun jika itu atas dasar suka sama suka meski berzina. maka tidak akan masuk ke dalam hukum pidana. walau, itu termasuk ke dalam dosa besar. Jadi, RUU ini hanya mengatur mengenai kekerasan seksual berupa paksaan, tapi tidak mengatur mengenai penyimpangan seksual. Mau apapun itu penyimpangan seksual, RUU ini tidak mengaturnya, baik berupa LGBT, perselingkuhan, maupun perzinahan dan lain-lain. Karena jika dilakukan atas dasar suka sama suka, maka tidak akan ditindakpidanakan.
Dengan demikian, hal ini pastinya sangat bertolak belakang dengan Islam, yang mengharamkan zina dan LGBT. Bagaimana mungkin aturan untuk menghapus kekerasan seksual, malah menjadi ladang untuk kemaksiatan merajalela. Ini hanya akan membuat semakin rusaknya cara berpikir umat, dan hanya akan semakin menjauhkan umat dari syariah Islam.
Maka dengan begitu, hendaknya kita berpikir mau bagaimanapun aturannya, ketika sekulerisme (sebuah ide yang memisahkan agama dari kehidupan) masih eksis di tengah kaum Muslimin, maka kekerasan seksual tidak akan pernah terselesaikan. Lihat saja UU inipun nampak tidak akan mampu menyelesaikan masalah kekerasan dengan tuntas, bahkan berpotensi akan menambah masalah baru dengan dibiarkannya penyimpangan-penyimpangan seksual terjadi. Karena sekulerisme inilah yang menjadi akar dari permasalahannya.
Di dalam Islam, tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Semua masalah yang ada di dunia ini dapat diselesaikan dengan Islam termasuk untuk kekerasan seksual. Karena Islam memiliki solusi yang bersifat mencegah (preventif) maupun (kuratif) penanggulangannya.
Yaitu dimulai dari bagaimana Islam mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan baik di ranah kehidupan publik (sosial) ataupun kehidupan khusus. Adanya pemisahan antara laki-laki dan perempuan kecuali dalam koridor syara, yaitu: bidang muamalah, pendidikan dan kesehatan. Ini dilakukan agar tidak terjadinya interaksi secara berlebihan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian menutup aurat, agar tidak mendorong syahwat para lelaki yang bisa menyebabkan pelecehan seksual.
Islam juga menjadikan keluarga dan masyarakat sebagai elemen pengingat, yakni dengan adanya amar ma’ruf nahi mungkar, maka akan terpacu untuk mengingatkan atau menasihati orang di sekitar jika terjadi kesalahan perilaku dan pergaulan. Selain itu, Islam juga memiliki sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Dimana hukum ini memberikan efek jera kepada si pelaku, sekaligus menjadi penggunggur dosanya. Dan tentu saja semua hukuman itu akan membuat orang jera dan takut untuk melakukannya lagi atau bahkan mendekatinnya.
Demikianlah, sedikit gambaran luar biasanya Islam mengatur dan menjaga pergaulan masyarakatnya. Hal ini hanya akan kita rasakan tatkala syariat Islam diterapkan secara keseluruhan dalam lini kehidupan. Yang nantinya akan mewujudukan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera atas rahmat Allah Swt. Wallahu’alam Bisshawab.[]
Photo : Google Source