Gedung Capitol Membara: Bukti Nyata Kerusakan Sistem Demokrasi

"Selayaknya kita berpikir bahwa dunia butuh tatanan kehidupan baru. Sebuah sistem yang bisa menciptakan sistem keamanan yang solid dan kesejahteraan yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan primer masyarakatnya."

Oleh. Ummu Syam
(Aktivis Muslimah Majalengka)

NarasiPost.Com-Pada 7 November 2020 lalu, Biden-Harris keluar sebagai pemenang dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Amerika Serikat. Biden-Harris unggul atas rivalnya Trump-Pence dengan hasil akhir mendapatkan 279 suara elektoral atau sama dengan 81.283.098 suara. Suara ini dinyatakan sebagai suara terbanyak dalam sejarah pemilu Amerika Serikat.

Namun, Trump belum mau mengakui kekalahannya. Ia terus melakukan tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu. Gugatan demi gugatan pun dilayangkan oleh tim kampanye Trump di beberapa negara bagian terutama di negara bagian yang selisih suaranya tipis. Seperti Pennsylvania, Michigan, Nevada, Georgia dan Arizona.

Gugatan-gugatan tersebut bermacam-macam. Tim kampanye Trump melakukan sekitar lebih dari 12 gugatan, beberapa diantaranya adalah tuntutan penghitungan ulang, penghentian proses hitungan suara, minimnya akses untuk pemantau pemilu, aturan batas waktu penerimaan surat suara, hingga tuduhan adanya pemilih tidak sah. Meskipun begitu, sejumlah pengamat melihat hasil Pilpres tidak akan berubah meskipun tim kampanye Trump melakukan banyak gugatan.

Selain dengan melakukan gugatan, usaha Trump lain yaitu dengan menelepon pejabat pemilu negara bagian Georgia untuk membatalkan kekalahannya. Meskipun pada faktanya tiga penghitungan ulang suara terpisah di Georgia menunjukkan Joe Biden sebagai pemenangnya. Namun, Trump menolak hasil suara itu.

"Saya hanya ingin mencari 11.780 suara, lebih dari yang kami dapat. Karena kami menang di negara bagian ini", ujar Trump di telepon.

Melalui akun twitter pribadinya Trump membuat sebuah pernyataan bahwa, "Sekertaris Daerah Georgia tak bersedia jawab kecurangan pemilu". Tak dinyana, cuitannya tersebut mendapatkan balasan dari Sekertaris Brad Raffensperger, "Itu tidak benar".

Pada 5 Januari, 12 lebih gugatan Trump ditolak oleh pengadilan. Hal tersebut yang membuat sejumlah anggota Kongres AS dari Partai Republik berencana menolak sertifikasi jumlah suara untuk Joe Biden pada keesokan harinya (6/1).

6 Januari, Gedung Capitol membara. Para pendukung Trump menerobos masuk ke dalam gedung di saat Kongres AS sedang mengesahkan presiden terpilih, Joe Biden. Karena hal itu proses pengesahan dihentikan sementara. Polisi pun akhirnya menembakan gas air mata saat para penerobos masuk menduduki gedung kongres tersebut. Dilaporkan bahwa seorang perempuan tewas tertembak dan beberapa orang dilarikan ke rumah sakit.

Kerusuhan yang terjadi di Gedung Capitol pun memantik reaksi para pemimpin dunia dan diplomat. Mereka mengecam kerusuhan yang dilakukan oleh para pendukung Trump.

"Ketidakpatuhan hukum dan kerusuhan -di sini dan di seluruh dunia- akan selalu tidak diterima," cuit Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di twitter. (Berita Satu, 7/11/2021 dikutip 13/1/2021)

Insiden ini adalah hal yang paling memalukan bagi Amerika Serikat, mengingat Amerika Serikat adalah negara pengusung sistem demokrasi yang terkenal dengan slogannya, "The government of the people, by the people and for the people". Di samping itu, Amerika Serikat pun selama ini menjadi rujukan berbagai negara dalam praktik berdemokrasi.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama terjadi kerusuhan pada pemilihan Presiden Amerika Serikat. Pada tahun 2000 silam, Al Gore bersitegang dengan George W Bush hanya karena selisih 500 suara di negara bagian Florida. Hasil perhitungan suara pun diulang. Setelah melalui proses hukum yang panjang bahkan sampai ke Mahkamah Agung, akhirnya Bush lah yang dinobatkan sebagai Presiden Amerika Serikat.

Jika diamati, insiden ini sebenarnya adalah akibat dari penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Karena faktanya, sistem Demokrasi tidak bisa menciptakan lingkungan yang demokratis, inklusif dan bersatu. Bersamaan dengan itu Amerika Serikat telah kehilangan otoritas dan moralnya.

Pergantian presiden di Amerika Serikat yang disertai dengan kerusuhan ini mengingatkan kita akan kerusuhan, manipulasi proses politik dan penindasan politik Islam yang telah berlangsung di dunia Islam selama hampir satu abad, dengan dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Inikah karma bagi Amerika Serikat?

Inilah wajah asli sistem demokrasi. Selalu diwarnai dengan kerusuhan dan penindasan. Sama seperti sejarah terbentuknya sistem demokrasi, dimana di Eropa kala itu fanatisme agama dan sosial merebak. Raja mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi, apa yang diperintahkan oleh raja adalah bersumber dari Tuhan.

Akibatnya, raja bersikap sewenang-wenang, melakukan kezaliman kepada rakyatnya. Selayaknya seorang tuan menguasai budaknya. Dari situlah para pemikir dan filosof Barat bermusyawarah akan pentingnya menciptakan sebuah sistem baru untuk mengatur rakyat yang dinilai lebih 'merakyat', tercetuslah sistem demokrasi yang berarti kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dari kejadian ini, kita bisa melihat betapa kacau dan rancunya sistem demokrasi. Kampanye dijadikan sebagai ajang untuk menebar janji-janji, biayanya pun teramat mahal. Maka, tak aneh jika di dalam sistem demokrasi pintu korupsi terbuka lebar. Gaji para wakil rakyat selama menjabat pun rasanya tidak cukup untuk mengembalikan modal kampanye yang notabene disuntikkan oleh para pengusaha.

Setelah mereka terpilih, janji-janji itu tak satu pun ditunaikan. Yang ada adalah mereka mencekik rakyatnya sendiri dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap para kapitalis.

Kebebasan berperilaku, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan beragama senantiasa menghiasi wajah dari sistem ini. Padahal hal tersebut tidak berlaku di dalam Islam. Maka, jangan heran jika menghina Nabi Muhammad Saw dianggap sebagai kebebasan berekspresi.

Dari sini, selayaknya kita berpikir bahwa dunia butuh tatanan kehidupan baru. Sebuah sistem yang bisa menciptakan sistem keamanan yang solid dan kesejahteraan yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan primer masyarakatnya.

Sistem itu adalah syariat Islam dalam naungan Daulah Islam. Sistem yang berjalan di atas metode kenabian ini telah membuktikan masa kegemilangannya salama 14 abad lamanya. Sistem yang jika diterapkan secara menyeluruh menjadikannya rahmat bagi seluruh alam.

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
(QS. Al-Anbiya (21) : 107)

Sudah saatnya, kita mencampakkan demokrasi dan segala kebohongannya. Masa depan kita dan generasi kita ada pada sistem Islam, bukan yang lain.Wallahu a'lam bish-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ummu Syam Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Transportasi ala Kapitalis, Jaminan Keamanan Dipertaruhkan?
Next
Banjir Melanda Akibat Keserakahan Manusia, Rakyat Jadi Korban
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram