Perasaan di mana hati mulai hampa, walaupun berjuta emas bertebaran di mana-mana. Kemewahan harta seakan menjadi saksi bisu dari jiwa dan hati yang mulai kosong dan tanpa arah tujuan yang jelas. Inikah yang dimaksud dengan kaya? Inikah yang dimaksud dengan kehidupan yang jaya?
Oleh: Tri Rejeki
NarasiPost.com - Hidup yang mungkin terlihat sempurna, semua yang dipakai terlihat sangat menyilaukan mata, mulai dari baju, tas, kacamata, sampai jam tangan, semuanya adalah barang-barang branded dan juga modis yang begitu mahal harganya, dibeli dari mal-mal ternama, bahkan dibeli dari impor luar negara, namun, mengapa diri merasa seolah ada yang hilang dan hidup ini tidak bermakna? Karena semua barang mewah yang apabila sudah waktunya rusak maka akan hilang dalam kejapan mata, akan musnah uang berjumlah jutaan rupiah, yang tertinggal hanyalah penyesalan saja.
Diri yang seolah kehilangan arah, mulai merasa gundah, memiliki harta yang luar biasa banyaknya, seolah merasa tiada artinya jika suatu saat harus pulang kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala Sang Maha Pencipta.
Perasaan di mana hati mulai hampa, walaupun berjuta emas bertebaran di mana-mana. Kemewahan harta seakan menjadi saksi bisu dari jiwa dan hati yang mulai kosong dan tanpa arah tujuan yang jelas. Inikah yang dimaksud dengan kaya? Inikah yang dimaksud dengan kehidupan yang jaya? Iya, mungkin hal itu disebut sebagai kaya dalam bentuk harta, tapi di sisi lain, itu disebut sebagai kemiskinan, karena hilangnya iman yang entah kemana. Waktu yang begitu berharga hanya dihabiskan untuk menumpuk rupiah demi rupiah, dan membeli barang-barang mewah. Kehidupan hanya berputar dengan tidur, kerja lembur cari uang, dan tidur lagi. Bukankah seharusnya kita merasa ada sesuatu hal yang aneh dengan itu? Bukankah jika semua itu terjadi terus menerus, diri akan merasa lelah? Tentu saja jawabannya iya, diri ini merasa terlalu lelah, sampai rasanya tidak mau melakukan hal-hal yang lain lagi selain kerja, karena kerja saja sudah sangat melelahkan baik fisik maupun pikiran, padahal di akhir bulan yang didapatkan hanyalah setumpuk kertas, yang akan digunakan untuk membeli barang-barang yang diinginkan, termasuk barang-barang mewah, yang belum tentu berfaedah.
Sahabat muslimah, apakah pernah merasakan seperti itu? jika iya, maka cobalah koreksi lagi jadwal sehari-hari kita, berapa persenkah waktu yang digunakan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala? Berapa persenkah waktu yang digunakan untuk bekerja? Apakah kita sudah meniatkan setiap pekerjaan yang dilakukan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala? Jika belum, maka sangatlah wajar jika kita masih merasa cukup dalam harta, tapi miskin dalam jiwa, karena jika semua yang kita lakukan di dunia ini hanya untuk mencari harta semata tanpa mencari rida Allah Subhanahu Wa Ta'aala, maka semakin lama, iman akan semakin menipis, Na'udzubillahimindzalik.
Tetapi, jika kita melakukan setiap pekerjaan dengan niat mencari rida Allah Subhanahu Wa Ta'aala, maka Insya Allah semua pekerjaan kita, akan dimudahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'aala, semua pekerjaan yang kita lakukan akan lebih berarti, mengapa hal ini bisa terjadi? karena jika bekerja dengan mencari rida Allah Subhanahu Wa Ta'aala, maka Insya Allah, Allah Subhanahu Wa Ta'aala akan selalu bersama kita dalam pekerjaan apapun.
Selain itu, akan lebih baik jika setelah berhasil dalam pekerjaan kita, dan kita mendapatkan rezeki berupa upah, maka sisihkanlah 10% dari hasil gaji untuk sedekah, karena dengan begitu maka pekerjaan dan harta kita akan semakin berkah. Lagipula, bila harta terus ditumpuk-tumpuk tanpa bersedekah, maka harta itu akan semakin membuat kita gundah, misalkan jika kaya raya, dan rumah kita sangat mewah, maka tidurpun tidak akan nyenyak, karena merasa takut barang-barang kita ada yang mencurinya saat tidur, namun, jika kita menyedekahkan sebagiannya dan kita pasrahkan semuanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala, maka kita akan semakin tenang dan jiwapun tidak akan merasa gelisah.
Sahabat muslimah, ingatlah kisah Mushab bin Umair Radhiallahu 'Anhu. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yang memiliki wajah tertampan di Kota Makkah pada masanya dan bahkan beliau juga menjadi pemuda terkaya di Kota Mekkah pada zamannya. Namun, apakah beliau hidup bermewah-mewah dengan hartanya? Tidak, bahkan setelah beliau masuk Islam, beliau benar-benar meninggalkan semua hartanya, dan mengabdikan dirinya hanya untuk Islam, tetapi beliau tidak pernah merasa menyesal, justru dengan beliau masuk Islam dan meninggalkan semua hartanya, beliau lalu memperdalam ilmu agama Islam dan Al-Qur'an dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam, sehingga beliau lebih mengetahui tujuan hidupnya yaitu untuk berjuang berdakwah bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Sahabat Muslimah, dari kisah Mushab bin Umair Radhiallahu 'Anhu, dapat dipetik hikmah, bahwa harta bukanlah segalanya, untuk apa terlalu banyak harta, tetapi jiwa terasa hampa?
Jadi sahabat muslimah, bekerja dan mencari rejeki itu boleh, tapi jangan sampai melupakan yang memberi rejeki ya, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'aala, justru kita harus senantiasa meniatkan setiap pekerjaan kita untuk beribadah dan mencari rida Allah Subhanahu Wa Ta'aala, karena, kita sebagai manusia sesungguhnya diciptakan bukan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tetapi kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala, jiwa kita akan selalu diisi oleh iman dan takwa, sehingga jiwa tidak akan pernah merasa kosong, dan bahkan dengan ketaatan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala, maka jiwa kita tidak akan terasa sempit dan hidup akan semakin berarti, karena kita tahu bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'aala akan selalu bersama kita di manapun kita berada.