Maka menjadi guru yang istimewa, bukan hanya mencukupkan diri di sekolah, tapi juga menerjunkan dirinya di dalam pergulatan dakwah melawan kezaliman sistem yang mengangkangi sistem pendidikan saat ini.
Oleh. Puspita Ningtiyas
(Kontributor NarasiPost.Com dan Praktisi Pendidikan )
NarasiPost.Com-“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Begitulah kata mutiara yang terdengar klasik tapi relevan dengan keadaan guru di zaman ini. Profesi menjadi guru, kini tidak banyak diminati karena ternyata “tanda jasa” yang didapatkan tidak sepadan dengan tugas “pahlawan” yang diembannya.
Ditambah lagi, guru di hari ini terpaksa harus menghadapi degradasi moral akibat suasana sekularisme yang terlanjur merasuk ke dalam tubuh pendidikan hingga ke denyut nadinya. Pemberitaan di media masa seperti, ada anak didik yang membacok gurunya karena ditegur saat tidak pakai sepatu ke sekolah, ada yang sampai tega memukul gurunya karena tidak terima ditegur saat membuat masalah dengan teman sekelasnya, ada juga kasus lain yang serupa seperti seorang murid yang melaporkan gurunya ke polisi karena tuduhan remeh yang harusnya tidak dituduhkannya kepada guru yang mendidiknya. Dengan kondisi yang tidak normal seperti hari ini, seorang guru dituntut menjadi guru yang istimewa, bukan guru biasa seperti kebanyakan guru yang sekadar datang ke sekolah dan pulang setelah jam pelajaran usai.
Guru yang istimewa setidaknya mempunyai beberapa peran yang harus dilakukan saat mendidik anak-anaknya di sekolah. Di antaranya:
Pertama, memastikan apa yang disampaikannya tidak bertentangan dengan akidah Islam. TIdak boleh ada materi pelajaran atau praktik yang menyimpang dari akidah Islam atau mencederai akidah, semisal praktik larung sesajen atau adat istiadat lain yang tidak ada dalam Islam.
“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Kedua, memiliki tujuan pengajaran untuk membentuk kepribadian Islam pada diri peserta didiknya. Kepribadian terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang selaras. Menjadikan peserta didik memiliki pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan Islam menjadi tanggung jawab guru di sekolah. Pengaruh lingkungan yang mengagungkan sekularisme menjadi tantangan tersendiri yang cukup menekan batin. Tapi bagi guru istimewa, dia akan berusaha dengan berbagai cara demi menyelamatkan generasi yang ada di depan mata, yaitu anak-anak didiknya di sekolah.
Ketiga, turut membentuk kesadaran untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Perubahan yang berlandaskan kesadaran tersebut hanya bisa dilakukan dengan aktivitas dakwah. Maka seorang guru harus sekaligus seorang pengemban dakwah yang peduli dengan generasi dan mampu memberikan solusi Islam di atas persoalan yang menimpa generasi saat ini. Guru istimewa akan mengejar kemuliaan menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Furqan ayat [25]: 74)
Peran guru sungguhlah berat karena itulah seorang guru harus membekali dirinya dengan pembinaan Islam yang mendasar dan menyeluruh. Pembinaan yang mendasar berarti pembinaan yang berlandaskan akidah Islam, adapun pembinaan Islam yang menyeluruh berarti senantiasa mengikatkan diri dengan ideologi Islam yang mencakup semua aspek kehidupan. Menempa dirinya terus menerus di dalam kawah candradimuka Islam, agar nantinya siap menjadi guru istimewa sesuai tuntutan zaman untuk melakukan perubahan.
Dunia pendidikan sekarang ternyata tidak lebih peka terhadap peran besar seorang guru dibandingkan dunia pendidikan pada masa silam. Islam sebagai sebuah peradaban telah menuliskan dengan tinta emas penghargaan agung kepada guru atas perannya. Seperti pada masa Umar Bin Khattab yang menggaji guru 15 dinar setara dengan 33 juta per bulan. Tentu sistem penggajian ini tidak memandang apakah guru honorer, ASN, sudah bersertifikasi atau belum. Semata-mata karena guru adalah sosok istimewa apalagi perannya juga menjadi ujung tombak pendidikan generasi. Tak ayal Sayyidina Ali r.a. pernah berkata, Ana ‘abdu man ‘allamani walaw harfan wahidan, yang maknanya “Aku adalah hamba bagi siapa pun yang mengajariku walaupun hanya satu huruf.” Selain itu kita mengenal Syekh Habib Umar Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf yang menggubah lagu yang berjudul “Man Ana”. Penggalan awalnya berbunyi, Man ana man ana, man ana laulakum, yang artinya “Siapakah diriku siapakah diriku, siapakah aku kalau tiada bimbingan kalian (guru)”. Baris pertama sudah cukup memerlihatkan betapa besar jasa para guru. Tanpa mereka, kita bukan siapa-siapa.
Mulianya peran guru dan penghargaan yang harusnya diberikan atas jasanya, menjadi penghubung zaman ini dengan zaman keemasan Islam. Tidak hanya pada masa Umar Bin Khattab, tapi di masa kekhilafahan penerusnya, guru begitu dimuliakan dan dibalas dengan melampaui batas kelayakan. Seperti pada masa Sultan Sulaiman Al-Qonuni yang membayar karya tulis dengan bongkahan emas seberat tebal lembaran karyanya. Di masa lain tak kalah spektakuler yang dilakukan oleh para khalifah dalam menghargai ilmu dan pembawanya dalam hal ini seorang guru.
Fakta sejarah jugalah yang menjadi benang merah bahwa kita butuh perjuangan mengembalikan kehidupan Islam. Maka menjadi guru yang istimewa, bukan hanya mencukupkan diri di sekolah, tapi juga menerjunkan dirinya di dalam pergulatan dakwah melawan kezaliman sistem yang mengangkangi sistem pendidikan saat ini. Bukan hanya guru di sekolah tapi juga menjadi guru kehidupan bagi murid-muridnya. Sekaligus bersama-sama melakukan perubahan menuju penerapan Islam dalam kehidupan.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Al-Imran 104)
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Guru Istimewa keberadaannya menjadi urgen saat ini. Di tengah fakta kerusaakan generasi dan masyarakat secara umum. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga mendakwahkan Islam sebagai akidah dan syariat. Sebagai fondasi dan solusi atas problem kehidupan. Berat memang. Apalagi di tengah kehidupan yang menerapkan sistem sekuler- kapitalisme.
Berat memang kalau mau jadi guru istimewa yang tidak hanya datang dan mentransfer ilmunya. Tapi harus menjadi guru dalam kehidupan sebagai pengemban dakwah. Tugas paripurna ini akan terlaksana jika Islam dijadikan solusi. Kalau saat ini problem pendidikan sangat memprihatinkan, jadi semakin berat ya tugas guru.
Kurikulum pun menentukan kualitas anak didik, sekarang sekulerisme pijakannya maka guru sangat lemah tak berdaya membentuk kepribadian muridnya, karena tak didukung sistem yang ada.
Masyaallah, guru istimewa adalah guru di sekolah sekaligus guru kehidupan bagi murid-muridnya. Dan hal itu akan terwujud saat kita kembali pada kehidupan Islam. Barokallah Mbak